Suku Anak Dalam Tewas di Tebo

Seorang Suku Anak Dalam di Tebo Tewas di Tangan Sekuriti Perusahaan, KKI WARSI Mengutuk Keras

Tindak kekerasan yang berakibat hilangnya warga Suku Anak Dalam, mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk KKI Warsi.

Penulis: asto s | Editor: asto s
Capture Video Istimewa
WARGA SUKU ANAK DALAM di Desa Betung Bedarah Timur, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi tewas akibat keributan dengan sekuriti PT Tambora, perusahaan perkebunan sawit. 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Peristiwa berdarah terjadi di Desa Betung Bedarah Timur, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. 

Seorang warga Suku Anak Dalam (SAD) tewas dalam keributan dengan sekuriti PT Tambora, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Tebo.

Peristiwa itu terjadi pada Selasa (30/4/2025), tepatnya di sekitar Jerambah Sungai Kemang.

Tindak kekerasan yang berakibat hilangnya warga Suku Anak Dalam, mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Lembaga yang concern isu lingkungan dan masyarakat adat, KKI Warsi mengecam keras tindakan kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa salah satu anggota Orang Rimba di wilayah akibat bentrok berdarah di areal perkebunan kelapa sawit di wilayah Tabir Kabupaten Tebo

Insiden ini terjadi Selasa, 29 April 2025 sekitar pukul 15.00 WIB. 

Saat itu delapan Orang Rimba mengambil brondol-buah sawit yang jatuh dari pohon. 

Namun, nahas, saat akan meninggalkan lokasi mereka diadang sekelompok orang dan terjadi penganiayaan dan menyebabkan satu orang rimba meninggal dunia, tiga orang terluka dan tiga sepeda motor hangus terbakar. 

Orang Rimba mengambil brondolan sawit di areal perkebunan yang didirikan di dalam wilayah jelajah mereka. 

Baca juga: Awal Mula Tewasnya SAD di Tebo Jambi Usai Berseteru dengan Security PT Sawit, Dipicu Brondolan Sawit

Peralihan ruang jelajah menjadi perkebunan kelapa sawit telah menjadikan suku yang hidup di dalam hutan ini mengalami marginalisasi dan kehilangan ruang hidup. 

Ini yang mendorong mereka sesekali melakukan kegiatan yang disebut membrondol- mengumpulkan butiran  buah sawit yang terlepas dari tandanya.  

Robert Aritonang, Anthropolog dari KKI Warsi.
Robert Aritonang, Anthropolog dari KKI Warsi.

"Peristiwa ini sangat memilukan dan mencederai rasa keadilan. Kami menuntut pertanggungjawaban penuh atas tindakan kekerasan yang terjadi. Penghilangan nyawa manusia, apalagi terhadap masyarakat adat yang sedang berjuang mempertahankan hidup, tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun," tegas Robert Aritonang Antropolog KKI Warsi.

Konflik yang terjadi ini merupakan dampak lanjutan terhadap pembiaran dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat yang sejak dulu ada di wilayah itu. 

Dalam kondisi keterdesakan ekonomi, pendidikan yang tidak memadai  dan hilangnya sumber pangan dari hutan, mengambil brondolan sawit menjadi salah satu cara bertahan hidup bagi sebagian Orang Rimba

“Harus ada solusi yang konkret terhadap persoalan ini, sehingga Orang Rimba punya ruang untuk melanjutkan kehidupan mereka,”kata Robert. 

Robert menyerukan untuk menghentikan tindakan kekerasan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. 

“Kami menyerukan pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas peristiwa ini secara transparan dan adil serta membawa pelaku ke jalur hukum,”kata Robert.

Selain itu juga penting bagi pemerintah daerah dan pusat untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik tenurial antara perusahaan dan masyarakat adat serta memberikan pengakuan dan perlindungan hukum atas wilayah kelola Orang Rimba

“Perusahaan untuk bertanggung jawab secara moral dan hukum atas hilangnya nyawa serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap cara-cara pengamanan yang digunakan. Kekerasan bukan jalan penyelesaian. Pengakuan hak masyarakat adat dan penyelesaian konflik agraria adalah langkah utama untuk menciptakan keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia,” kata Robert. 

Hal senada di sampaikan oleh Depati Gentar, yang juga paman salah satu korban luka. 

Gentar menyebutkan Orang Rimba mengambil brondol bukan untuk mencari kaya, tetapi hanya untuk menyambung hidup karena sumber daya alam hutan yang menjadi sumber kehidupan Orang Rimba semakin tipis. 

Baca juga: Suami Istri Diseruduk dan Digigit Babi Hutan saat Sedang Mandi Bareng di Sungai

Sebelum perstiwa ini terjadi, Gentar menjalaskan sudah ada pembicaraan antara Orang Rimba dan perusahaan. 

“Kami Orang Rimba diminta diberi kesempatan untuk mengambil brondol, istilahnya kami bantu perusahaan untuk mengambil buah yang jatuh dari pohonnya, kemudian sebagai imabalannya perusahaan bersedia membeli brondol tersebut, kami berharap ini menjadi solusi, supaya perusahaan bisa berjalan dan kami Orang Rimba juga bisa hidup," kata Gentar. 

Namun hasil pertemuan dengan perusahaan yang di gelar sekitar 2 bulan lalu ini tidak kunjung mencapai kata sepakat, sampai akhirnya timbul penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan korban luka.  

Gentar mengatakan Orang Rimba butuh hidup, ketika hutannya beralih menjadi perkebunan, kenapa perusahaan tidak mau memberikan sedikit ruang untuk Orang Rimba menyambung hidup dari mengambil brondol. 

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved