Ulah Razman Nasution Ciderai Marwah Advokad, Peradi: Semakin Tak Berintegritas
Ulah dari pengacara Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo dinilai menciderai marwah Advokad dan membuat semakin tidak berintegritas.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Ulah dari pengacara Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo dinilai menciderai marwah Advokad dan membuat semakin tidak berintegritas.
Tak berintegritasnya profesi itu disampaikan Ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Adardam Achyar.
Dia menyoroti perihal krisis moralitas dan integritas yang semakin melanda profesi advokat di Indonesia. Serta, merosotnya integitas di lingkungan hukum.
Hal ini dikatakannya menyusul sanksi etik berupa pemberhentian tetap terhadap advokat Razman Nasution yang dinilai mencerminkan persoalan yang lebih luas dalam dunia hukum.
"Advokat semakin tidak berintegritas. Rendahnya penghormatan masyarakat, terutama dari kalangan advokat sendiri terhadap lembaga peradilan, tidak lepas dari merosotnya moralitas dan integritas di lingkungan hukum itu sendiri," ujar Adardam di Jakarta, Minggu (16/2/2025).
Menurut dia, situasi ini merupakan puncak gunung es dari kebijakan Mahkamah Agung (MA), khususnya setelah terbitnya Surat Keputusan MA Nomor 073 yang dinilai bertentangan dengan prinsip "single bar" dalam Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Advokat.
SK tersebut memungkinkan siapa saja yang diajukan oleh organisasi advokat untuk disumpah, tanpa standar pendidikan, ujian, dan pengawasan yang jelas.
"Dengan adanya SK MA Nomor 073, menjadi advokat kini sangat mudah. Tidak jelas kapan mereka menyelesaikan pendidikan hukum, kapan menjalani magang, dan bagaimana kualitasnya,” kata Adardam.
Baca juga: Razman dan Firdaus Terancam Jatuh Miskin Usai Sumpah Advokat Dicabut, Hotman Paris: Bertobat Kalian
Baca juga: Nyali Razman Nasution Akhirnya Ciut, Akui Kalah dan Minta Maaf: Manusia Tempat Khilaf dan Dosa
“Peradi memiliki kewenangan penuh dalam pengangkatan, pengawasan, serta penindakan advokat sesuai dengan mekanisme Undang-Undang," ujarnya lagi.
Adardam juga menyoroti soal lemahnya pengawasan terhadap advokat yang bukan anggota Peradi.
Dalam sistem saat ini, Peradi tidak memiliki wewenang untuk mengawasi advokat di luar organisasinya. Sementara MA juga tidak memiliki kewenangan untuk menindak mereka.
"Mahkamah Agung memberikan kesempatan kepada organisasi advokat lain untuk mengangkat advokat, tetapi tidak ada kejelasan mengenai siapa yang akan mengawasi mereka,” katanya.
“Akibatnya, pelanggaran kode etik semakin marak tanpa ada penindakan yang tegas," ujar Adardam lagi.
Dia juga menyoroti ketidakkonsistenan MA dalam menindaklanjuti sanksi etik yang dijatuhkan oleh Peradi.
Putusan Dewan Kehormatan Peradi yang sudah berkekuatan hukum tetap seharusnya diteruskan ke jajaran peradilan agar advokat yang diberhentikan tidak dapat lagi beracara.
Namun, menurut Adardam, MA kerap mengabaikan kewajiban tersebut. "Orang yang sudah dikenai sanksi pemberhentian sementara atau tetap oleh Peradi masih bisa beracara di pengadilan karena Mahkamah Agung tidak meneruskan informasi ini ke jajaran di bawahnya,” katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.