Human Interest Story

Siapakah Juliana Sarjana Pertama dari Suku Anak Dalam Jambi, Menangis Saat Pindah ke Kota 

Penampilan Juliana saat ini tidak berbeda dengan kaum perempuan pada umumnya. Dia sudah cukup lama tinggal di Kota Jambi, dan baru saja lulus dari

Penulis: Nurlailis | Editor: Duanto AS
Istimewa
Juliana (20) perempuan Suku Anak Dalam dai Kecamatan Pelepat, Bungo, Jambi. Dia merupakan sarjana pertama dari Suku Anak Dalam. 

TRIBUNJAMBI.COM - Kabar menggembirakan, telah lahir sarjana pertama dari Suku Anak Dalam di Jambi.

Namanya Juliana. Penampilan sederhana dan tenang. Kesan itulah yang muncul saat pertama muncul saat bertemu perempuan Suku Anak Dalam (SAD) ini.

Penampilan Juliana saat ini tidak berbeda dengan kaum perempuan pada umumnya. Dia sudah cukup lama tinggal di Kota Jambi, dan baru saja lulus dari jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi. 

Juliana telah menyelesaikan gelar sarjana (S-1) dan wisuda pada Senin (23/12/2024) lalu.

Tiga bulan sebelumnya, September 2024, perempuan berhijab itu telah melalui sidang skripsi di depan dosen penguji.

Sebelas tahun silam, dia tinggal di kawasan hutan. Juliana berasal dari komunitas Orang Rimba rombongan Tumenggung Hari.

Orang Rimba merupakan komunitas masyarakat yang bermukim di dalam hutan di Provinsi Jambi. Mereka tinggal secara berkelompok. Tiap kelompok dipimpin oleh satu tumenggung. 

Sebagian besar SAD tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, sebagian kecil di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, dan kini juga tersebar hutan-hutan sekunder sepanjang jalur lintas Sumatera wilayah Jambi.

Masih ingat jelas, senyum terlukis di bibirnya saat menerima kedatangan Tribun Jambi, Senin (21/11/2022). 

Juli, demikian biasa dipanggil, pagi itu menggunakan kemeja putih lengan panjang, dipadu bawahan hijau, serta penutup kepala berupa jilbab pink. Saat bicara, volume suaranya terdengar relatif kecil.

Juliana merupakan perempuan pertama dari komunitas Orang Rimba yang sampai ke bangku kuliah. 

“Saya sekarang sudah semester V, jurusan kehutanan,” katanya kala itu. 

Upaya mendapatkan gelar sarjana sudah setengah jalan. Anak kedua dari empat bersaudara ini bertekad menuntaskan perjuangannya.

Diakuinya, tak mudah untuk mencapai mimpi menjadi sarjana ini. Tantangannya banyak, termasuk larangan dari komunitas sendiri. 

Sejak SMP, Juli sudah diminta keluarga tidak melanjutkan sekolah, lebih baik menikah. 

Dia tetap merasa beruntung, karena orang tuanya tidak ikut memintanya setop melanjutkan pendidikan, namun juga tidak mendukung penuh upayanya mencapai cita-cita.

“Sampai sekarang orang tua tidak melarang saya untuk kuliah. Teman sebaya saya sudah hampir semuanya menikah,” ungkapnya kala itu dengan nada suara tenang.

Belum ada yang tercatat perempuan dari komunitasnya sampai ke tahap pencapaian ini. 

Untuk laki-laki sudah beberapa orang yang kuliah, atau pernah kuliah. 

Orang Rimba pertama yang mengenyam bangku kuliah adalah laki-laki yang bernama Besudut, menempuh pendidikan di Universitas Jambi.

10 Tahun Hidup Menetap

Sebuah gapura bercat biru yang warnanya sudah tidak cerah lagi, menyambut setiap orang yang masuk kompleks permukiman yang dibangun pemerintah, di Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. Jaraknya sekitar 260 kilometer dari Kota Jambi.

Untuk bisa sampai ke tempat ini, harus melewati jalan tanah dari desa sebelumnya. Di sisi kanan dan kiri jalan terbentang perkebunan kelapa sawit. 

Juliana, Sarjana Perempuan Pertama dari Suku Anak Dalam
Juliana, Sarjana Perempuan Pertama dari Suku Anak Dalam (Istimewa)

Setelah melewati gapura itu, langsung terhampar 60 rumah ukuran tipe 36. Rumah di sana dibangun berjajar mengikuti jalan.

Konstruksi bangunan itu pada awalnya menggunakan dinding dari bahan glass reinforced concrete (GRC). Belakangan banyak yang sudah mengganti GRC dengan papan, agar tidak kepanasan. 

Di permukiman itulah dua rombongan Orang Rimba dimukimkan satu dekade lalu, yakni dari kelompok Tumenggung Badai dan Tumenggung Hari. 

Orangtua Juliana juga tinggal di permukiman itu. Sebelumnya, mereka tinggal di dalam kawasan hutan yang tidak jauh dari dusun itu. 

Mereka mencari nafkah dengan cara berburu dan meramu hasil hutan. 

Tempat tinggalnya berupa pondok yang tidak berdinding, atapnya dari jerami, yang mereka sebut dengan istilah Sudung. 

Bila ada yang meninggal dunia di kelompok itu, semuanya akan pindah sementara ke tempat lain, disebut dengan melangun.

Saat masih tinggal di dalam hutan, Juli dan teman-temannya memperoleh pendidikan nonformal, difasilitasi Pudi Sumatera. 

Mereka saat itu diajari membaca, menulis, dan berhitung. 

Juli, saat masih tinggal di hutan, dipanggil dengan nama Guak Kecik. 

Adapun nama Juliana, diberikan oleh gurunya semasa SD, yang akhirnya menjadi identitas kependudukannya hingga saat ini.

Diakui Juliana, pemikirannya mulai terbuka hingga memiliki cita-cita yang tak lagi sama dengan anak sebayanya, sejak menjalani sekolah formal. 

Dia melihat cara orang lain menjalani kehidupan, yang tak sama lagi dengan pengalaman empirisnya di dalam hutan. 

Namun, mau menjalani profesi apa di kemudian hari, saat itu belum dia bayangkan.

Tapi tak mudah baginya menjalani pendidikan hingga ke level ini. 

Dia mengalami kesulitan untuk bisa bergaul dengan orang di luar komunitas Orang Rimba. 

"Kami selalu merasa malu karena tidak biasa bergaul dengan orang lain. Kami menganggap orang luar lebih hebat dari kami," ungkapnya. 

Hingga kini, ucapnya, perasaan rendah diri itu masih juga berbekas di dalam dirinya.

Juli menjalani pendidikan SD, SMP, dan SMK di Pelepat, Kabupaten Bungo. 

Pada saat SD, dia hanya bisa bergaul dengan sesamanya dari komunitas, demikian juga ketika SMP. Sebab, saat itu masih ada beberapa dari komunitasnya yang satu sekolah dengannya. 

Namun, ketika SMK, dia harus berjuang adaptasi, mendapatkan teman baru, tidak ada lagi teman perempuan sesama Orang Rimba di SMK.

Kesetaraan Gender

Juliana memiliki mimpi hadirnya kesetaraan gender di dalam kelompoknya. Dia berjuang untuk bisa selesaikan pendidikan di perguruan tinggi demi mimpi itu. 

Kelak, ketika dia berhasil menjadi sarjana, lalu punya pekerjaan yang bagus, orang tua dari komunitas Orang Rimba tidak lagi melarang anak perempuannya untuk kuliah, atau mengejar cita-citanya di daerah lain.

Pergeseran pola pikir Orang Rimba sudah banyak terjadi. 

Dulu anak-anak, termasuk pria, dilarang sekolah. Seiring waktu dan pendampingan yang dilakukan banyak NGO secara intensif, kini telah berubah. 

Beberapa orang yang menjalani profesi baru, ada yang sudah menjadi polisi dan tentara. Tapi itu baru berlaku untuk kaum pria. Sementara perempuan, baru dibolehkan sebatas sekolah.

“Kalau laki-laki sekarang lebih bebas. Kalau perempuan belum terlalu,” ungkap Juliana

Hal ini yang jadi keresahannya. 

Bahkan ketika mau kuliah ke Kota Jambi, dia tidak berani mengutarakan secara langsung kepada orang tua. 

Juli sangat takut orang tuanya marah besar dan rencana kuliah gagal.

“Waktu itu Bu Dewi yang datang ke rumah, meminta izin kepada orang tua saya. Akhirnya diberikan izin, karena percaya ada yang akan menjaga selama jauh dari keluarga,” terangnya. Setelah dapatkan izin kuliah, hatinya begitu senang, sekaligus juga gundah karena akan menjalani lingkungan baru.

Perempuan yang disebutnya adalah Dewi Yunita Widiarti, CEO Pundi Sumatera, NGO yang mendampingi rombongan Tumenggung Hari.

Juliana belum pernah sebelumnya menetap di kota, dan tak pernah juga jauh dari orang tua. 

Selama dua minggu awal tinggal di Kota Jambi, dia selalu menangis. 

“Sedih jauh dari orang tua. Saat itu tiap hari saya menangis,” ucapnya. 

Juliana, Mijak, Tumenggung Ngalo dan Mluring duduk sejajar dengan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas, Junaedi bercerita dalam seminar menggali inklusivitas komunitas adat
Juliana, Mijak, Tumenggung Ngalo dan Mluring duduk sejajar dengan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas, Junaedi bercerita dalam seminar menggali inklusivitas komunitas adat (Tribunjambi.com)

Tapi, dia juga tak ingin perjuangannya berhenti di tengah jalan, sehingga keputusannya adalah menguatkan diri untuk mampu menetap dengan suasana di perkotaan.

“Kalau saya gagal, adik-adik saya nanti tidak akan berani kuliah. Perempuan dari kelompok kami juga akan selalu takut kuliah. Situasinya tidak akan pernah berubah. Saya ingin membuktikan perempuan SAD juga bisa kuliah, bisa tinggal di luar, bisa bersaing dengan orang lain,” tuturnya.

Pada Orang Rimba, ucapnya, orang tua akan melihat sebuah contoh dari kelompok sendiri. Bila ada yang bisa jadi polisi, yang lain juga akan percaya anaknya bisa jadi polisi. 

“Kalau ada perempuan yang bisa kuliah seperti saya, mudah-mudahan adik-adik saya dari komunitas kami juga didukung untuk bisa seperti saya,” Juliana berharap.

Dia melihat sejumlah perempuan dari komunitas Orang Rimba yang kini masih sekolah, juga punya keinginan untuk kuliah. 

“Ada yang ingin kuliah, mau jadi bidan,” ungkapnya. 

Selain dukungan dari orang tua, tantangan lain yang akan dihadapi adalah soal pembiayaan. 

Sulit bagi mereka untuk bisa kuliah dengan pembiayaan dari orang tua sendiri, tanpa ada bantuan dari pihak lain.

Dewi Yunita Widiarti, CEO Pundi Sumatera, NGO yang mendampingi rombongan Tumenggung Hari mengatakan, banyak faktor yang membuat perempuan komunitas Orang Rimba, disebut juga Suku Anak Dalam (SAD) dan Komunitas Adat Terpencil (KAT) kesulitan mengenyam pendidikan tinggi.

Di antara faktor penghambatnya adalah tradisi dalam SAD, yang masih menempatkan perempuan hanya mengurusi internal keluarga mulai dari urusan dapur, kasur, dan sumur. 

Orang Rimba punya prinsip, urusan mencari nafkah terletak pada laki-laki. 

“Ada juga ketakutan bagi mereka, bila anak perempuan kuliah, takut tidak pulang lagi ke kelompoknya akibat pengaruh luar,” ungkap Dewi.

Hidup menetap di sebuah peemukiman, akan membuat Orang Rimba seperti dirinya lebih mudah untuk mengakses pendidikan formal. 

Kelompok mereka mau hidup menetap, karena masih dekat dengan sumber penghidupannya. 

Kelompok Tumenggung Hari masih dekat aksesnya berburu dan mencari hasil hutan non kayu seperti damar dan rotan. Mereka juga punya lahan pertanian.

“Memukimkan Orang Rimba memang tidak bisa memisahkan mereka dari sumber penghidupannya. Tak bisa hanya memberikan pemukiman, tanpa ada sumber kehidupan yang bisa mereka jangkau,” kata Dewi.

Pihaknya berupaya memberi keterampilan baru ke kelompok dampingannya, supaya bisa punya penghasilan tambahan untuk keluarga, di luar dari hasil berburu dan meramu. Di antaranya keterampilan membuat ikan asap dan kerajinan anyaman tikar, yang diproduksi oleh kaum perempuan.

Dewi bercerita kala itu menemui langsung orang tua Juliana, Samsul dan Benang. 

Dia meminta izin supaya Juliana diperbolehkan tinggal di Kota Jambi, untuk tujuan kuliah. 

Kepada pasangan suami istri itu, dia berikan pemahaman pentingnya mengenyam pendidikan tinggi, termasuk untuk kaum perempuan.

“Sempat ada kekhawatiran pada mereka, karena Juliana ini anak perempuan. Kami berusaha untuk meyakinkan mereka, sehingga mau melepaskannya untuk kuliah di Kota Jambi. Syaratnya Juliana ini harus tinggal dengan kami, supaya mereka yakin anaknya tidak dibawa lari,” tutur Dewi.

Bagi Pundi Sumatera, bila Juliana bisa berhasil menyelesaikan pendidikannya, maka akan jadi role model bagi Orang Rimba, terutama kalangan perempuan. 

Contoh konkret dianggap mampu mempercepat proses menuju kesetaraan gender di suku tersebut.

“Anak laki-laki belakangan ini sudah dibebaskan sekolah, termasuk kuliah, juga menjalani profesi seperti polisi dan tentara. Jumlahnya memang belum banyak. Perempuan juga kita harapkan nanti bisa mendapatkan perlakuan yang sama. Orang Rimba selalu butuh contoh. Juliana kami dampingi, agar nanti perempuan dari komunitasnya meniru langkahnya,” ungkapnya.

Upaya lain yang juga dilakukan adalah membuat kegiatan ekonomi bagi perempuan di kelompok yang didampingi. 

Misalnya di dusun yang ditempati orang tua Juliana, dilatih dan didampingi untuk membuat ikan asap dan anyaman tikar. 

Produksinya kini sudah mulai berjalan, dan juga sudah dipasarkan.

Ada dua tujuan utama dari pengaktifan ekonomi perempuan secara berkelompok ini. 

Pertama, perempuan terutama ibu-ibu di kalangan Orang Rimba memiliki penghasilan tambahan. 

Kedua, memunculkan kesadaran tentang peran perempuan dalam keluarga, yang ternyata masih bisa lebih besar dibandingkan yang selama ini mereka jalani.

Sementara berdasarkan data KKI Warsi, pada 2018, jumlah Orang Rimba yang ada di Jambi sebanyak 5.235 jiwa. 

Populasi yang masih tinggi di dalam hutan sebanyak 40 persen, yang kini di dalam areal konsesi perusahaan, baik kebun sawit maupun hutan tanaman industri 50 persen, dan yang telah bermukim di pedesaan sebanyak 10 persen.

Manager Komunikasi KKI Warsi, Sukma Reni mengatakan, persoalan yang dihadapi Orang Rimba berdasarkan tempat tinggalnya sangat berbeda. 

Mereka yang tinggal di kawasan masih berhutan bagus, ungkapnya, relatif memiliki sumber pangan yang mudah di didapat, tapi jauh mengakses pendidikan formal .

Sedangkan yang kini di desa maupun areal konsesi, menghadapi persoalan lebih beragam, mulai dari pangan hingga gesekan dengan perusahaan dan masyarakat yang sering terjadi. 

“Persoalan Orang Rimba makin beragam, mulai dari pola hidup, pendidikan, sumber pangan, sumber penghasilan, dan masih banyak lagi bila dibedah satu per satu,” ungkapnya.

Saat ini, Orang Rimba sudah semakin mendorong anaknya untuk sekolah, terutama bagi anak laki-laki. Sebab, sudah muncul kesadaran di kalangan komunitas, bahwa masa depan anak mereka tak bisa lagi mengandalkan hasil hutan.

“Di luar pendidikan formal, penting untuk memberikan life skill bagi mereka, untuk secara bertahap bisa menopang kehidupannya. Mereka bisa diajari untuk membuat kerajinan, tapi harus dibantu juga untuk pemasaran. Peran semua pihak penting pada konteks ini, termasuk pemerintah. Juga segera untuk meminimalisir konflik antara Orang Rimba dengan kelompok di luarnya,” tutur Sukma Reni. 

Baca juga: Kiky Saputri Syok HP Suaminya Ada Kontak Cewek seksi, Padahal Lagi Hamil: Nomor Caddy

Baca juga: Sempat Tuduh Polisi Pukul Pelaku Asusila, Tiktoker Jambi Ini Sampaikan Surat Terbuka ke Presiden

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved