WAWANCARA EKSKLUSIF

Prof Gayus Lumbuun: Prabowo Silakan Dilantik, Gibran Tidak, Seri I

Gayus menilai masih ada lembaga-lembaga di luar MK yang bisa mengadili dari proses tahapan Pemilu. Hal itu disampaikannya saat sesi wawancara khusus

Editor: Duanto AS
Tribunnews.com/Reynas Abdila
Ketua Tim Hukum PDIP Prof Gayus Lumbuun (kanan) dan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra (kiri), di Gedung Tribun, Palmerah, Jakarta, Senin (6/5). 

Kami mengambil langkah ini, sehingga kami tidak mencampuri masalah hasil pemilunya yaitu oleh MK, itu final banding, semua orang harus menghormati, kami juga menghormati putusannya itu.

Kemudian kami juga tidak mempersoalkan tahapan-tahapan pemilu yang disiarkan harus melalui bawaslu.

Tetapi kami, bawaslu kemudian PTUN, lanjutannya. Tapi kami lebih fokus kepada adanya pelanggaran hukum oleh penyelenggara.

Itu bentuknya apa, Prof? Pelanggaran hukum atau perbuatan pelanggaran hukum itu apa di antaranya?

Banyak sekali, tapi di antaranya satu yang harus saya menyampaikan adalah ketika ada putusan MK yang diputuskan oleh MK, dikenal dengan nomor 90 tahun 2023. Ini jelas sekali melanggar ketentuan, norma hukum yang berlaku.

Dan itu diputuskan juga oleh MKMK yang mengadili, menyatakan bahwa ada pelanggaran oleh KPU, oleh hakim ketika itu.

Bahkan pimpinan atau ketua majelis itu dikena sansi untuk pemberhentian sebagai ketua. Tidak boleh ikut menangani atau mengadili perkara yang berjalan selanjutnya. Nah, itu yang utama.

KPU menerima itu dengan utuh. Tidak menentui undang-undang, di mana di antara Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undangan, di pasal 10 ayat 1 dan 2 itu jelas menegaskan kalau ada perubahan-perubahan undang-undang harus melalui DPR yang tentunya disitu akan ada pendapat umum. Masalah diberi kesempatan itu kalau dibahas itu.

Ini tidak langsung ditetapkan.

Yang paling fatal adalah ditetapkan serta merta diberlakukan.

Semua akses hukum menentukan semua proses yang baru terhadap proses hukum yang berjalan ada perubahan hukumnya tidak berlaku surut. Harus nanti tahun depan pemilu depan baru bisa digunakan.

Maksudnya, menurut norma hukum harusnya keputusan itu berlaku kemudian, ya?

Kalau pun itu dilakukan, ternyata KPU tidak melakukan itu.

Kalau pun melakukan tetap tidak untuk tahun ini, tahun yang sedang berjalan ini tetapi tahun berikutnya.

Dua hal ini menjadi kefatalan bagi sebuah perbuatan penyelenggara negara yang bernama KPU yang perlu saya minta kepastian atau keadilan dari PTUN.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved