Polemik Di Balik Gelar Adat Melayu Jambi dan Perlunya Pemahaman ke Publik
Sejak dibentuk pertama kali pada 1975 hingga 2022, LAM Provinsi Jambi telah menganugerahi gelar adat sebanyak 101.
Sejak dibentuk pertama kali pada 1975 hingga 2022, Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi telah menganugerahi gelar adat sebanyak 101.
Jumlah tersebut jelas bertambah seiring gelar adat baru yang diberikan kepada belasan tokoh di penghujung Desember 2023 hingga awal Januari 2024. Keseluruhan gelar itu terdiri dari beberapa tingkatan yaitu utama, madya, dan pratama, plus karang setio bagi isteri penerima gelar adat. Selain itu, pemberian gelar adat buat pengurus LAM Jambi.
Baca juga: Ketua DPRD Jambi Edi Purwanto Hadiri Rapat Kerja LAM Provinsi Jambi
Nama-nama besar tokoh di negeri ini yang mendapat gelar dari LAM Provinsi Jambi, untuk menyebut contoh, yaitu Maharajo Ir. Soekarno (April 1962), Soesilo Bambang Yudhoyono bergelar Maharojo Notonegoro (September 2011), dan penerima gelar adat tingkatan utama yaitu Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Ketua Mahkamah Agung HM Syarifuddin.
Merujuk Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM Provinsi Jambi, khususnya Pasal 9 butir 3 huruf (e) yaitu disebutkan bahwa LAM Jambi tingkat Provinsi berwenang memberikan penghargaan kepada tokoh dan pelaku yang berprestasi sekaligus peduli dalam bidang pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi. Di situ jelas hanya untuk bidang pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi. Bukan untuk bidang lainnya.
Namun, di luar yang dimaksud pasal 9 di atas, LAM Jambi sesuai tingkatannya dapat memberi gelar adat kepada tokoh yang patut dan layak, sesuai dengan jasa-jasanya terhadap masyarakat dan pembangunan daerah Jambi, yaitu sebagaimana termaktub pada Pasal 5 Ayat 3. Itu pun kriteria penerima gelar diatur lebih lanjut di dalam AD/ART LAM Jambi.
Saya memaknai positif pelbagai respon publik atas penganugerahan gelar adat yang diinisiasi oleh LAM Provinsi Jambi, sejauh itu disampaikan secara elegan.
Setidaknya, momentum ini menjadi pintu masuk bagi masyarakat secara luas untuk mengakrabi LAM Jambi yang sudah berdiri di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah selama 49 tahun (1975-2024). Sulit dimungkiri, kian ke sini LAM Jambi seolah terasing dari lapangan kulturalnya.
Apa sebab? Paling banter LAM Jambi sayup-sayup disebut warga Jambi bila berurusan dengan resepsi pernikahan dan penganugerahan gelar adat. Bahkan, muncul anggapan LAM Jambi sekadar gerbong berisikan pensiunan pejabat serta para pendukung atau tim sukses rezim Gubernur terpilih pasca suksesi kepala daerah per lima tahun sekali.
Memang, di bawah komando HBA, LAM Jambi telah melaksanakan beberapa program, sebut saja seperti penetapan Hari Adat Melayu Jambi, napak tilas ke situs/makam-makam bersejarah, seminar, diklat penulisan buku muatan lokal, dukungan atas pelaksanaan restorative justice, tetapi itu nyatanya belum bisa mengembalikan dukungan secara penuh dari masyarakat sebagai bagian utama dalam upaya melestarikan adat Melayu Jambi.
Dengan demikian, pengurus LAM Jambi masih harus bekerja keras seraya menghindari program dan kegiatan seremonial berbungkus adat dan budaya. (*)
Jumardi Putra*
*Penulis adalah pecinta sejarah dan budaya Jambi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.