Tiga Kunci Kemenangan Capres 2024

Karena Pemilihan Umum Presiden  (pilpres) secara langsung sudah dilaksanakan 4 kali, pola dan tipologi pasangan sudah menjadi fakta empirik.

|
Editor: Deddy Rachmawan
TRIBUN JAMBI/IST
Antony Z Abidin bersama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla 

Oleh Antony Z Abidin

Karena Pemilihan Umum Presiden  (pilpres) secara langsung sudah dilaksanakan 4 kali, pola dan tipologi pasangan sudah menjadi fakta empirik. Dapat menjadi acuan untuk memperkirakan pasangan mana yang bakal jadi pemenang pada Pilpres 14 Februari 2024 mendatang.

Dua faktor kunci kemenangan pada pemilihan presiden  2004 dan 2014 adalah profil tipologi calon presiden dan “faktor JK”. Khusus Pilpres 2024, ditambah 1 faktor kunci atau variabel baru, yaitu “cawe-cawe”  atau  endorsement Presiden Joko Widodo.

Namun penentu utamanya adalah tipologi sang calon preidennya sendiri. Untuk memahami variabel tipologi tersebut, dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan sederhana  berikut ini.

Mengapa Megawawati Soekarnoputri (MS), dua kali nyapres, dua kali kalah? Mengapa Prabowo Subianto (PS) juga punya nasib yang sama? Dua kali ikut pemilihan presiden dan sekali berpasangan dengan MS sebagai calon wakil presiden, juga kalah?

Pilpres 2004,  untuk pertama kalinya rakyat Indonesia  memilih presidennya secara langsung. Pilpres yang digelar pada 5 Juli 2004 ini diikuti 5 pasang calon. Sebanyak 122.293.844 (79,76 persen dari suara terdaftar) rakyat menggunakan hak pilihnya. Mereka memilih secara langsung, bebas dan rahasia di bilik-bilik tertutup pemilihan.

Presiden Megawati  (petahana)  berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Menko Polkam, yang dipecat Megawati  12 Maret 2004, 4 bulan sebelum berlangsungnya Pilpres.

Megawati berpasangan dengan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. Pada putaran kedua dikalahkan pasangan SBY-Jusuf Kalla, telak: 60,3 persen berbanding 39,38%.

Mengapa presiden inkamben, anak proklamator dan presiden pertama RI, ketua umum partai papan atas PDIP dikalahkan “anak buahnya”,  SBY, anak pama (perwira pertama) TNI?

Penyebabnya setidak-tidaknya ada 2 faktor. Pertama faktor gap tipologi, kedua salah memilih wakil presiden. Seharusnya, Megawati menerima lamaran JK. Karena lamarannya ditolak, akhirnya JK berpindah ke SBY yang memang berharap untuk berpasangan dengan JK, seperti yang disampaikannya kepada saya di rumahnya medio Mei lalu.

Megawati dan juga Prabowo, yang menjadi pasangannya pada Pemilu 2009, berasal dari kalangan atas, tipologi A.  Sejak kecil hingga remaja, Mega hidup dan dibesarkan dalam lingkungan istana kepresidenan.

Demikian juga Prabowo, kakek serta ayahnya adalah tokoh nasional, proses sosialisasinya jauh dari rakyat; sejak kecil hingga remaja ia sekolah di berbagai negara di luar negeri. Proses tersebut membentuk watak pribadi (basic character) atau sistem kepribadian yang umumnya berjarak dengan rakyat biasa, mayoritas pemilih.

Sebaliknya, SBY dan Jokowi, sistem kepribadiannya dekat dengan rakyat. Masa kecil SBY sebagai anak dari pama TNI berpangkat peltu (pembantu letnan satu) pada masa pensiunnya, tentulah sangat dekat dengan kehidupan rakyat pada umumnya.

Demikian pula Jokowi, proses sosialiasinya sangat dekat dengan kalangan rakyat biasa, yang  umumnya hidup pas-pasan atau bahkan miskin. Blusukan dan gorong-gorong, dua kata yang melekat pada citra Jokowi sebelum mencalonkan dirinya pada Pilpres 2014.

Dia tampil sebagai pemenang pada Pemilu 2014. Cawapresnya, untuk ronde pertama pilpresnya sama dengan SBY (2004), lagi-lagi Jusuf Kalla.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved