Tak Sampai ke Makkah Cuma Sampai Singapura, Jadilah Haji Singapura
jemaah tersebut akan dibungkus dari luar dengan kain layar putih bersih, diikat denga rapat pada kepala dan kakinya beberapa kepingan baja dan timah
Penulis: Deddy Rachmawan | Editor: Deddy Rachmawan
TRIBUNJAMBI.COM – Tantangan perjalanan ibadah haji dari tanah air hingga ke Makkah pada zaman kolonial sangat berat.
Kapal masih menjadi moda transportasi utama. Perjalanan laut dengan ancaman ombak, badai membuat perjalanan spiritual itu penuh tantangan.
Selama perjalanan laut, tak jarang ada Jemaah yang meninggal. Buku Berhaji di Masa Kolonial yang ditulis oleh DR M Dien Majid menggambarkan bagaimana sulitnya berhaji di zaman Belanda.
“Dalam perjalanan menuju Makkah banyak pengalaman yang ditemukan Jemaah. Ombak samudera yang besar dan hembusan angin kencang mengakibatkan kapal karam. Ada penumpang yang meninggal, cidera karena terhempas atau terhimpit ada pula yang selamat, bahkan barang-barang berharga seperti emas dan perak pengganti uang semua hilang,” tulis M Dien Majid.
Bila ada Jemaah yang meninggal saat masih di laut, setelah dimandikan, dikafani dan disalatkan, jenazah akan dimakamkan di laut.
Baca juga: Jemaah Haji dari Tegal Pergi Pulang Haji Selama Empat Tahun
Kata Dien Majid, jemaah tersebut akan dibungkus dari luar dengan kain layar putih bersih, diikat denga rapat pada kepala dan kakinya beberapa kepingan baja dan timah hitam seberat antara 30-50 kg.
Singapura yang menjadi salah satu tempat transit bagi jemaah haji nusantara kadang dimanfaatkan oleh jemaah untuk mencari tambahan uang sebagai bekal.
Karena keterbatasan iformasi, kadang tak jarang Jemaah haji Nusantara kekurangan bekal, uang dan sebagainya.
Biasanya ini mereka siasati dengan bekerja dulu di Singapura untuk mengumpulkan uang.
“Setelah cukup bekal perjalanan pun dilanjutkan ke Singapura atau Penang (Malaysia). Di tanah jajahan Inggris ini tersedia kapal yang dapat mengangkut mereka ke tanah suci. Tetapi yang menjadi persoalan, tidak semua orang yang bekerja di pelabuhan itu dapat mengumpulkan uang untuk membeli tiket kapal ke tanah suci. apalagi beban hidup di sana sangat berat.” Tulis M Dien Majid dalam bukunya.
Namun ada pula jemaah yang karena tak sanggup lagi melanjutkan hingga ke tanah suci, mereka memilih menetap di Singapura.
Baca juga: TRIBUN WIKI Napak Tilas Dusun Tuo Sarolangun dari Masa Kolonial Belanda Hingga Saat ini
Baca juga: Jemaah Haji Asal Tebo yang Meninggal di Tanah Suci Disebabkan Tiga Jenis Penyakit
“Masyarakat lingkungan di tempat mereka tinggal pun tidak tahu bahwa itu hanyalah “Haji Singapura”, dalam arti tidak sampai berhaji ke tanah suci Makkah.” Demikian menurut penulis mengenai isitilah haji Singapura tersebut.
Tribun juga pernah menulis mengenai Haji Singapura ini.
Menurut pegiat sejarah Jambi yang akrab disapa Via Dicky, zaman dulu memang banyak haji-hajian.
Kata dia ada semacam laporan dari Singapura, bahwa (sejumlah) jemaah dari Jambi, Palembang dan Bangka pergi berduyun-duyun ke Singapura untuk mendapatkan sertifikat haji.
"Mereka dari daerah, seolah-olah pergi berhaji. Lalu tiba di Singapura. Dan berdiam di sana sekira satu atau dua tahun. Kemudian membeli pakaian haji, dan oleh-oleh berupa apa saja yang mencerminkan orang yang sudah pernah ke Mekah membawa air zam-zam yang dibeli di Singapura. Pemerintah kolonial, akhirnya mengetahui hal ini dan menyebutnya Haji Singapura," tandas Via. (deddy rachmawan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.