Pembunuhan Brigadir Yosua
Martin Pengacara Keluarga Brigadir J Dukung Ferdy Sambo Ajukan Banding, Ini Alasannya
Martin Lukas Simanjuntak, yang merupakan kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua Hutabarat, tidak setuju Ferdy Sambo dihukum mati.
Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI – Martin Lukas Simanjuntak, yang merupakan kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua Hutabarat, mendukung langkah Ferdy Sambo mengajukan banding.
Dia menyebut hukuman mati yang dijatuhkan majelis hakim kepada Ferdy Sambo merupakan hukuman yang sangat berat.
“Saya pikir wajib mereka banding, karena kalau divonis maksimal nggak banding, menurut saya sayang sekali. Apapun itu, hukuman mati itu berat,” kata Martin Simanjuntak, dikutip dari kanal Youtube Zulfan Lindan Unpacking Indonesia.
Dia menyebut, walau dirinya berposisi sebagai kuasa hukum dari pelapor atau korban, namun tetap berempati pada putusan hakim yang begitu berat kepada terdakwa utama itu.
“Saya berempati karena ini pasti berat buat terpidana dan keluarganya,” ungkapnya.
Dia kemudian menjelaskan soal sifat dasar manusia, yang pada prinsipnya selalu survival.
“Mereka juga pasti selalu mau selamat. Kalau sudah tidak ada keinginan untuk selamat lagi, itu yang membahayakan. Jadi memang lebih baik disbanding,” jelasnya.
Dijelaskannya, masih ada langkah hukum yang bisa diambil oleh Ferdy Sambo untuk lepas dari hukuman mati.
Mulai dari banding ke pengadilan tinggi, dan kasasi ke mahkamah agung. Kalaupun putusan kasasi tetap vonis mati, ada lagi upaya yang bisa dilakukan.
“Masih bisa lakukan peninjauan kembali. Untuk peninjauan kembali itu secara tekstual di dalam KUHAP tidak pernah dijelaskan apakah hanya bisa satu kali, dua kali, tiga, atau berapa kali. Itu bisa berkali-kali,” ungkapnya.
Dijelaskannya, bila tidak ada putusan yang inkrah dalam 3 tahun ini, maka Ferdy Sambo akan menikmati penggunaan KUHP yang baru, yang akan efektif berlaku mulai 2026.
“Tiga tahun lagi akan berlaku KUHP yang baru. Pasal 100 ada mengenai ketentuan percobaan hukuman mati selama 10 tahun. Itu akan berlaku untuk bapak Ferdi Sambo,” ungkapnya.
Dia kemudian menyebut, di Indonesia pelaksanaan eksekusi mati sangatlah lama. Data yang dia dapatkan, ada sekitar 400 orang narapidana dengan hukuman mati yang hingga kini belum juga dieksekusi.
Martin pun mengaku, dirinya secara pribadi memang tidak setuju dengan hukuman mati pada siapapun.
Menurutnya itu sudah tidak relevan lagi. “Ini suara saya, pendapat saya pribadi,” ucapnya.
Namun sebagai lawyer, ungkapnya dia juga harus taat dengan keputusan pengadilan.
Setiap putusan hakim, terangnya, haruslah dianggap benar, dan harus dilaksanakan.
“Berdasarkan sistem peradilan, hakim itu dianggap perwakilan Tuhan dan pertanggungjawaban hakim itu kepada Tuhan,” jelasnya.
Sementara itu, Ferdy Sambo beserta istri, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf telah menyatakan banding atas putusan hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Wahyu Iman Santoso.
“Para terdakwa pembunuhan berencana almarhum Yosua yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Maruf, dan Ricky Rizal telah menyatakan banding atas putusan yang dibacakan majelis hakim,” ujar Pejabat Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto, Kamis (16/2/2023).
Pada perkara ini, Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Putri Candrawati lebih ringan yakni hukuman 20 tahun penjara.
Sementara Kuat Maruf karena dinilai tidak sopan di persidangan, dan turut serta dalam pembunuhan berencana, dihukum 15 tahun.
Adapun Ricky Rizal juga dinyatakan bersalah. Ada hal meringankan yakni masih muda dan memiliki tanggungan keluarga, dia dihukum 13 tahun.
Paling ringan adalah Bharada Richard Eliezer yakni 1 tahun 6 bulan. Dia diputuskan sebagai justice collaborator.
Baca juga: Sidang Vonis Ferdy Sambo, Hakim Ungkap Motif Pembunuhan Brigadir Yosua
Baca juga: Mantan Kadiv Propam, Ferdy Sambo Diyakini Tak akan Dieksekusi Mati, Ini Kata Mahfud MD
Tanggapan Ibunda Brigadir Yosua Soal Banding Sambo
Ibunda Brigadir Yosua Hutabarat, Rosti Simanjuntak, memberikan tanggapan atas banding empat terdakwa tersebut.
Rosti menyebut pihaknya menyerahkan hasilnya pada proses hukum yang berlaku.
“Terdakwa melakukan banding adalah hak mereka. Biarlah nantinya ahli hukum yang akan melanjutkan bagaimana proses selanjutnya,” kata Rosti dikutiip dari Kompas TV, Jumat (17/2/2023).
Dia juga meminta masyarakat dan media bisa membantu mengawal kasus yang menewaskan anaknya ini sampai tuntas.
“Publik, media, agar mengawal, agar nama anak kami (bersih) dalam fitnah mereka (terdakwa). Kami minta dukungan dari semua media maupun ahli hukum, rakyat Indonesia,” ucap Rosti Simanjuntak.
Bharada E Tetap Jadi Anggota Polri
Status Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dipastikan masih tetap sebagai anggota Polri.
Pada sidang etik yang dilakukan hari ini, Rabu (22/2/2023), Bharada E dinyatakan bersalah telah melanggar kode etik sebagai anggota Polri, terkait pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat.
Walau begitu, dia tidak dipecat sebagai anggota Polri. Hukuman untuk polisi asal Manado itu hanya demosi selama 1 tahun.
Sidang etik untuk Bharada E dilakukan Divisi Propam Polri di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Sidang dimulai pada pukul 10.00 WIB, yang diketuai Sesrowabprof Divpropam Polri Kombes Sakeus Ginting.
"Komisi Kode Etik Kepolisian memberikan pertimbangan berpendapat bahwa terduga pelanggar masih dapat dipertahankan untuk berada di dinas Polri," kata Karo Penmas Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri.
Pada perkara pembunuhan Brigadir J, Bharada E telah divonis satu tahun enam bulan penjara.
Vonis itu jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut pidana 12 tahun penjara.
Salah satu yang meringankan vonis adalah status Bharada E sebagai justice collaborator.
Richard menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf.
Atas putusan sidang kode etik ini, Richard Eliezer menyatakan telah menerimanya.
"Saudara Richard Eliezer menyatakan menerima didemosi," kata Karo Penmas Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan.
Ramadhan menyebut Eliezer didemosi ke Tamtama Pelayanan Markas (Yanma) Polri.
Demosi ini berlaku sejak Eliezer menandatangai hasil sidang kode etik ini.
"Putusan demosi berlaku sejak ditandatangani yang bersangkutan menerima putusan ini," jelasnya.
Brigadir Yosua Hutabarat merupakan korban pembunuhan dan juga fitnah.
Dia dibunuh di rumah dinas Polri Duren Tiga Nomor 46 Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022.
Pada kasus pembunuhan ini, Ferdy Sambo membuat skenario saat itu Yosua melakukan pelecehan seksual pada Putri Candrawati.
Namun hasil penyelidikan polisi, tidak ditemukan peristiwa pelecehan pada Putri Candrawati di Duren Tiga.
Pembunuhan ini awalnya disebut baku tembak. Richard Eliezer yang tak tahan dengan skenario fiktif yang dikarang Ferdy Sambo, memilih bicara jujur.
Berkat kejujurannya, akhirnya terbongkar bahwa bukan baku tembak yang terjadi, tapi penembakan searah atas perintah Ferdy Sambo.
Baca juga: Kejagung Ajukan Banding untuk Kuatkan Vonis Pidana Mati Ferdy Sambo oleh Hakim PN Jaksel
Baca juga: Berkah Kejujuran Bharada E, Tidak Dipecat Polri Meski Terbukti Menembak Yosua
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.