Sidang Ferdy Sambo

Mahrus Ali Anggap LPSK Keliru Menatapkan Bharada E Sebagai Justice Collaborator

Mahrus Ali, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, anggap lpsk keliru menetapkan Bharada E sebagai justice collaborator

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
KOLASE TRIBUN JAMBI
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mahrus Ali (kiri) dan Bharada Richard Eliezer (kanan) 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mahrus Ali, menganggap LPSK telah membuat keputusan keliru karena menetapkan Richard Eliezer alias Bharada E sebagai justice collaborator (JC).

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menetapkan Bharada E sebagai JC pada pertengahan Agustus 2022 lalu, setelah dia mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat di Duren Tiga 46.

Justice Collaborator adalah sebutan untuk pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum demi terangnya sebuah peristiwa tindak pidana.

Pada Sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (22/12/2022), Mahrus Ali dihadirkan sebagai ahli oleh pihak terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawati.

Pernyataannya soal tidak tepatnya penetapan JC dalam kasus pembunuhan ini diungkap saat menjawab pertanyaan dari Febri Diansyah, Penasihat Hukum Putri Candrawati.

"Saudara ahli sampaikan, pengaturan Justice Collaborator sebenarnya untuk kejahatan luar biasa. Nah pertanyaan sederhananya, apakah klausul Justice collaborator ini bisa digunakan untuk pasal 340 atau pasal 338 (pembunuhan)?" tanya Febri.

Mahrus menjawab, bahwa dalam aturan dijelaskan yang bisa menjadi JC adalah untuk jenis tidak pidana tertentu.

"Cuma di situ ada klausul yang umum lagi, termasuk kejahatan-kejahatan lain yang ada potensi serangan, dan itu harus berdasarkan keputusan," ungkapnya.

Ferdy Sambo dan Putri Candrawati
Ferdy Sambo dan Putri Candrawati (TRIBUNNEWS/KOLASE)

Tentang JC sudah diatur dalam pasal 28 UU 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Apabila dalam kasus pembunuhan Brigadir J tidak ada potensi serangan, kata dia, maka tidak perlu ada justice collaborator.

"Harus ada potensi serangan dan itu harus berdasarkan keputusan. Dalam konteks ini, maka sepanjang tidak ada keputusan, ikuti jenis tindak pidana yang ada di situ (UU 31/2014). Pembunuhan tidak ada di situ," ungkapnya.

Pada sidang ini, dia juga memberikan penjelasan tentang tindak pidana kekerasan seksual.

Menurutnya, hasil visum memang menjadi alat bukti paling utama dalam tindak pidana dugaan kekerasan seksual.

Namun jika tidak ada bukti visum tersebut, bukan berarti tindak kejahatannya menjadi hilang atau tidak ada.

Salah satu upaya yang bisa dibuktikan,kata dia, dengan hasil tes psikologi yang dilakukan terhadap korban.

"Psikologi bisa menjelaskan itu, apa contohnya? Orang yang diperkosa pasti mengalami trauma, nggak ada setelah diperkisa ketawa-tawa, nggak ada. Maka gimana cara membuktikan? Hadirkan saksi psikologi untuk menjelaskan itu," tukas dia

Untuk diketahui, Mahrus Ali merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).

Lewat program beasiswa LPDP, dia melanjutkan program S3 di Universitas Diponegoro, dan mendapatkan gelar doktor.

Lalu, Apakah keterangan ahli dalam sidang pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat akan mengikat keputusan hakim?

Heri Firmansyah, Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanagara menyebut keterangan ahli sesuatu hal yang termasuk alat bukti, dan sudah diatur dalam hukum acara pidana.

Baca juga: Sidang Pembunuhan Brigadir Yosua, Keterangan Ahli Belum Tentu Digunakan Hakim

Baca juga: Putri Candrawati Tak Lakukan Visum Meski Ngaku Dilecehkan Yosua, Ahli Pidana Beberkan Alasannya

"Tapi itu salah satu ya, bukan satu-satunya, itu yang perlu dicatat," ungkap Heri.

Keterangan yang disampaikan ahli dalam persidangan ini tidak pasti akan mengikat. Tidak mutlak akan mengikat keputusan hakim nantinya. Boleh saja digunakan boleh tidak. Keterangan ahli digunakan untuk membuat terang-benderang perkara pidana.

Apabila menurut Hakim keterangan ahli itu tidak membuat terang-benderang, berarti tidak perlu digunakan keteragan tersebut dalam pengambilan keputusan.

Keterangan ahli psikologi forensik, Reni Kusumowardhani, lebih banyak disorot dalam persidangan.

Terlihat jaksa penuntut umum dan para penasihat hukum terdakwa lebih banyak yang menghabiskan waktu untuk mendapatkan keterangan Ketua Apsifor tersebut.

Terkait keterangan yang disampaikan Reni di ruang sidang, dan juga dua ahli pidana, Heri Firmansyah mengatakan dia menghargai apa yang disampaikan ahli itu.

Pria bergelar doktor ilmu hukum itu juga sudah berkali-kali dipanggil sebagai ahli, baik di tahap penyidikan maupun di persidangan, pada kasus tindak pidana.

"Kita hargai saja apa yang disampaikan oleh ahli yang dihadirkan. Tapi ingat ahli kan juga sudah disumpah. Memberikan keterangan itu tentulah bukan hanya untuk para pihak, tapi juga berjanji kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," terangnya, dikutip dari Tayangang Apa Kabar Indonesia Pagi TVOne.

Dia menyebut, menjadi ahli di persidangan bukanlah perkara yang mudah.

"Bukan langkah yang gampang untuk menjadi seorang ahli, sangat berat, tanggung jawab moralnya juga di sana," jelasnya.

Pada konteksi di persidangan pembunuhan Yosua Hutabarat, dia mengatakn menghargai secara keilmuan seseorang dari pendekatan ahli hukum pidana dan psikologi forensik.

"Tapi memang kita meminta ke depan itu, kalau ada ahli yang dihadirkan di persidangan, apalagi ini kan bicara tentang scientific, pendekatannya secara komprehensif, bukan hanya pendekatan sosial. Kalau kita orang hukum akhirnya bicara tentang KUHP," ujar dia.

Hal itu diungkapkannya karena menurutnya, pendekatan metode yang digunakan dan dijabarkan oleh ahli psikologi forensik, menurutnya tidak menyentuh ketentuan hukumnya.

"Karena padahal ini kan bukan perkara pelecehan, ini adalah Pasal 338 dan 340 KUHP," paparnya.

Pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, awalnya disebut peristiwa itu baku tembak usai pelecehan pada Putri Candrawati di Duren Tiga.

Skenario itu berlangsung selama satu bulan, sebelum akhirnya dipatahkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, 9 Agustus 2022, yang tegas menyebut tidak ada baku tembak Bharada E dengan Brigadir J. (*)

Baca juga: Ahli Hukum Pidana Sebut Kematian Yosua Bukan Pembunuhan Berencana Ahli Kriminolog Sebut Direncanakan

Baca juga: Putri Candrawati Ingin Dipahami, Ferdy Sambo Bantah Keterangan Ahli Kriminolog

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved