Sidang Ferdy Sambo

Beda Pendapat 3 Ahli Soal Pelecehan yang Diakui Putri Candrawati di Magelang

Kekerasan seksual yang diakui dialami Putri Candrawati, disebut Ferdy Sambo sebagai motifnya melakukan pembunuhan Brigadir Yosua.

Editor: Suci Rahayu PK
Capture KompasTV
Putri Candrawati bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat. 

TRIBUNJAMBI.COM - Kekerasan seksual yang diakui dialami Putri Candrawati, disebut Ferdy Sambo sebagai motifnya melakukan pembunuhan Brigadir Yosua.

Meski begitu, Ferdy Sambo dan Putri tak menyertakan bukti visum.

Pengakuan ini disangsikan banyak pihak, karena tak ada bukti pelecehan seksual hanya sebatas pengakuan Putri Candrawati.

Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Mahrus Ali membeberkan beberapa alasan kenapa korban dugaan kekerasan seksual tidak melapor atau bahkan melakukan tes visum.

Kata Mahrus, ada beberapa faktor yang membuat korban dugaan kekerasan seksual memilih tidak melakukan dua hal tersebut.

Keterangan itu diungkapkan Mahrus saat dihadirkan oleh kubu terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawati sebagai ahli meringankan dalam sidang, Kamis (22/12/2022).

Beberapa faktor yang dimaksud salah satunya karena adanya rasa takut karena merasa terintimidasi oleh beberapa pertanyaan pihak eksternal.

Baca juga: Putri Candrawati Tak Lakukan Visum Meski Ngaku Dilecehkan Yosua, Ahli Pidana Beberkan Alasannya

Baca juga: Kata Martin Simanjuntak Soal Pelecehan Putri Candrawati : Tak Berdasar, Tak Ada Bukti Visum

"Bisa saja menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual saat melapor dia akan mengalami victimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana misalnya, makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? 5 kali pak," kata Mahrus dalam sidang.

"Kalau 5 kali itu bukan perkosaan yang pertama perkosaan tapi yang ke-2 dan ke-5 suka sama suka, saudara menikmati gak? Itu pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali karena pertanyaan yang tidak ramah," sambungnya.

Faktor selanjutnya kata dia yakni perihal budaya yang ada di suatu negara.

Dimana, dirinya mencotohkan soal kebudayaan di negara berkembang salah satunya di Indonesia yang menganut patriarki.

Dalam pemahaman itu, menempatkan pria selalu menjadi makhluk dominan di banding perempuan.

Hal itu yang menyebabkan banyaknya korban kekerasan seksual yang notabene dialami perempuan enggan membuat laporan.

"Budaya patriarkal di negara berkembang bisa saja menyebutkan bahwa budaya patriarkal bahwa yang berkuasa adalah laki-laki, perempuan itu selalu menjadi nomor 2," ucap dia.

Atas kasus ini, dirinya merujuk pada contoh kasus yang pernah terjadi di Jawa Timur, di mana ada seorang ayah yang memperkosa anaknya hingga melahirkan namun korban enggan melapor karena ada tekanan dari pihak keluarga.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved