Berita Jambi
Walhi Jambi Dampingi Masyarakat Dua Desa Batanghari Tuntaskan Konflik Agraria Bertahun-tahun
Sekitar 500 Kepala Keluarga (KK)di dua desa Kabupaten Batanghari mengalami konflik lahan yang tidak tuntas selama bertahun-tahun.
Penulis: Wira Dani Damanik | Editor: Suci Rahayu PK
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Sekitar 500 Kepala Keluarga (KK)di dua desa Kabupaten Batanghari mengalami konflik lahan yang tidak tuntas selama bertahun-tahun.
Bahkan permasalahan konflik lahan ini hingga dibawa ke Jakarta demi menuntaskan permasalahan tanah itu.
Dua desa itu yakni Desa Mekar Sari dan Desa Tebing Tinggi yang dulunya merupakan warga transmigrasi.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Jambi, Abdullah.
Ia mengatakan keberangkatan ke Jakarta tak lain untuk memperjuangkan hak dari warga desa, dimana sebelumnya pengurusan tanah itu di tingkat kabupaten dan provinsi tidak memiliki progress.
Adapun yang ditemui di Jakarta yakni, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Desa, Mabes Polri, dan Kantor Staf Presiden.
Baca juga: Faisal Ogah Minder dengan Keluarga Gen Halilintar, Mama Fuji: di Bawah Banget
Baca juga: Korban Kecelakaan di Mendalo Muaro Jambi Seorang Mahasiswi Unja
Abdullah menyebut ada ketakutan masyarakat selama ini bersuara akibat adanya intimidasi yang dilakukan oleh pihak tertentu kepada masyarakat.
"Mereka pasti mengalami tindakan kekerasan, terlihat dari otopsi bahkan ada yang sudah di tembak mati sama preman tadi. Kemudian ada yang rumahnya dibakar, kemudian ada yang diintimidasi sampai sekarang enggak balik-balik ke kampung. Kemudian kalau dia bilang bacok ya dibacok. Kalau dia minta lahan itu sekarang ya sekarang. Dan mohon maaf sampai di bilang kalian itu tidak bawa tanah dari jawa itu. Padahal mereka ini jadi trasmigran itu sudah ada penunjukannya dan kesepakatan antara provinsi yang dituju," ungkapnya.
Abdullah mengatakan warga desa itu memiliki sertifikat tanah, namun ia menyebut haknya dirampas oleh oknum kuat.
Sementara itu, Jaringan Advokat Peduli Lingkungan, Ramos Hutabarat mengatakan ketidakseriusan negara dalam menuntaskan persoalan itu.
Konflik lahan itu sudah terjadi dari 2005 hingga sekarang namun belum adanya penyelesaian. Ia pun mengungkapkan persoalan hukum yang terjadi dalam kasus itu.
"Jadi isu hukumnya itu, dulu itu kementerian desa dulunya transmigrasi tidak melaksanakan sesuai undang-undang dan itulah yang menyebabkan," katanya.
Ia pun menyebut sejak awal pemberian lahan dari kementerian desa sudah bermasalah, karena memberikan lahan tanpa berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian ATR/BPN.
"Permasalahannya ada ego sektoral antar lembaga, ketika kemendes memberikan izin lahan itu untuk masyarakat transmigrasi itu, ATR/BPN tidak tahu," ungkapnya.
Saat ke Jakarta, pihaknya pun bertemu dengan Kementerian ATR/BPN yang langsung disambut wakil menteri.
Baca juga: Laka Maut Telan Korban Jiwa di Jalan Lintas Sumatera di Muaro jambi