Pemilu 2024
Beberapa Partai Minta Pemilu Ditunda Yusril Bilang Tak Punya Dasar Hukum, Ini Penjelasannya
Dikatakannya, Jokowi tidak akan melakukan hal tersebut mengingat risiko politik yang terlalu besar.
TRIBUNJAMBI.COM - Beberapa partai politik mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda pelaksanaannya.
Namun, Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, penundaan Pemilu 2024 tidak memiliki dasar hukum yang diatur dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Dikatakan Yusril Ihza Mahendra, Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," katanya, Sabtu (26/2/2022).
Pemilu 2024 diusulkan ditunda, disinyalir membuat timbulnya pemerintahan yang ilegal.
Sebab, dilakukan penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum.
Penyelenggara negara kata Yusril Ihza Mahendra adalah mereka yang seharusnya dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam Pemilu.
"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya 'ilegal' alias 'tidak sah' atau 'tidak legitimate'." ujarnya.
Apakah penundaan Pemilu dapat tetap disahkan dan mendapat legitimasi hukum?
Yusril Ihza Mahendra berpendapat, ada tiga cara yang perlu ditempuh jika ingin mewujudkan penundaan Pemilu, yakni amendemen UUD 1945, pengeluaran dekrit Presiden, dan menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggara negara.
Amendemen UUD 1945, Yusril Ihza Mahendra bilang, memang menjadi dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu.
Pemerintah dinilai perlu menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilu jika ingin menunda kontestasi pemilihan tersebut.
Misalnya, Pasal 22E ayat 7 berisi norma "Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu."
Selanjutnya ayat 8 berbunyi "Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum."
Menurut Yusril Ihza Mahendra, dengan penambahan dua ayat dalam Pasal 22E UUD 1945 itu, tetap tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Untuk itu, anggota MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.
"Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru," ujarnya.
"Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru," sambungnya.
Cara kedua, kata Yusril Ihza Mahendra, Presiden perlu mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu.
Namun, Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan apakah Presiden Jokowi memiliki nyali untuk mengeluarkan Dekrit seperti Presiden Pertama RI Soekarno.
Presiden Soekarno pernah mengeluarkan Dekrit membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu?," tanya Yusril Ihza Mahendra.
Dikatakannya, Jokowi tidak akan melakukan hal tersebut mengingat risiko politik yang terlalu besar.
Untuk cara ketiga menunda pemilu yaitu dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention.
Perubahan itu, bukan dilakukan terhadap teks konstitusi UUD 1945, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggara negara.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Baca juga: Cak Imin Minta Pemilu Ditunda Dikritik, Partai Nasdem Sebut Tak Sesuai UUD 1945
Baca juga: Usulan Cak Imin Pemilu Diundur Bikin Gaduh, Demokrat: Malah Mengaduk-aduk Konstitusi
Baca juga: Politisi PDI-P Tak Setuju Usulan Muhaimin Iskandar Agar Pemilu 2024 Ditunda
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/kuasa-hukum-jokowi-maruf-yusril-ihza-mahendra.jpg)