Opini

Ancaman Gambut dan Karhutla Terselamatkan Hujan

KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) rutin terjadi di Provinsi Jambi. Terhitung sejak tahun 1990 musim kemarau adalah momok menakutkan masyarakat

Editor: Suang Sitanggang
tribunjambi/samsul bahri
Kabut asap tebal saat menyelimuti Desa Puding, Kabupaten Muarojambi, akibat kebakaran hutan dan lahan di sekitar wilayah itu, pada September 2019. 

Data Warsi menunjukkan, sepanjang 2019, terdeteksi 30.947 titik panas atau 13.000 lebih sedikit dibanding 2015. Setidaknya 157.137 hektar hutan dan lahan di Jambi terbakar, menimbulkan kerugian hampir Rp15 triliun.

Ironisnya, kebakaran lahan terluas justru berada pada kawasan berizin. Dalam hitungan Warsi, konsesi HPH terluas, 40.865 hektar, 50 perusahaan sawit di Jambi turut menyumpang lahan terbakar 24.938 hektar.

Pada waktu itu, perkiraan luasan yang terbakar adalah 18 perusahaan pemegang izin HTI luas 21.226 hektar. Hutan lindung 15.534 hektar, restorasi ekosistem 14.762 hektar, taman nasional 17.738 hektar, taman hutan raya 13.052 hektar, lahan masyarakat 3.069 hektar, hutan produksi terbatas (HPT) 5.775 hektar dan hutan produksi konversi (HPK) 178 hektar.

Demikian tebalnya kabut asap dan jambi menjadi merah, sekolah di liburkan dan kerugian perekonomian yang sangat besar.

Hari ini semestinya ancaman dan karhutla sudah di jamin tidak akan terulang kembali tidak hanya Butuh biaya mahal memulihkan kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan tetapi juga karna kita sudah belajar cukup banyak dari bencana karhutla 5 tahun terakhir.

Persyaratan pemadaman karhutla di berbagai kawasan yang juga masih tidak memadai semisal penggalangan dan kesiapan sumber daya manusia, pemetaan sumber air, Kesiapan operasional termasuk akses dan jalan, sarana dan prasarana serta regu pemadaman harus menjadi pilihan terakhir.

Dalam karhutla tindakan pencegahan dan penataan kawasan bebas karhutla untuk tidak mudah terbakar menjadi pilihan mutlak yang telah tersistem secara baik dan benar oleh berbagai pihak dalam pengelolaan dan pemanfatan lahannya dengan kesiapan sarana dan prasarana.

Akses dan jalan jalan evakuasi serta titik air yang cukup dengan sumber daya manusia yang tangkas dan siap bertindak.

Semisal yang dilakukan pada musim kemarau tahun 2021 ini, pemerintah Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel) melakukan program teknologi modifikasi cuaca (TMC).
Dengan menyemai 10 ton garam di udara, yang bertujuan untuk mencegah karhutla sebagai rekayasa cuaca adalah upaya meng-intervensi proses pertumbuhan awan dengan memasukkan inti kondensasi ke dalam sistem awan untuk mengoptimalkan kejadian, volume, dan durasi hujan.

Tentu saja selama ada air turun, terlebih jika musim hujan datang lebih awal, atau tepat sebagaimana seloroh orang Jambi, dimana September hingga Desember artinya “berember-ember” air yang turun dari langit.

Musim hujan telah kembali bulan September. Kita telah terselamatkan dari karhutla dan kabut-asap.

Tetapi bagaimana dengan penanganan kawasan yang pernah terbakar yang telah rusak tadi?

Hujan tidak akan menghapus dosa-dosa itu. Kita harus berbuat. Sebab jika situasi struktural, ekonomi, sosial dan politik tidak direvisi untuk antisipasi kebakaran di berbagai kawasan, maka dapat diyakini bahwa jika hujan tidak turun selama empat bulan berturut-turut, kita kembali akan memanen kabut-asap dan langit merah.
Selamat menikmati.*

Penulis: Jon Afrizal, Divisi publikasi komunikasi Masyarakat lingkungan, pembangunan dan sosial ekonomi Jambi

Jon Afrizal*

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved