Opini
Ancaman Gambut dan Karhutla Terselamatkan Hujan
KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) rutin terjadi di Provinsi Jambi. Terhitung sejak tahun 1990 musim kemarau adalah momok menakutkan masyarakat
KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) rutin terjadi di Provinsi Jambi. Terhitung sejak tahun 1990 hingga saat ini, musim kemarau adalah momok yang menakutkan bagi warga, dengan akibat kabut asap dari karhutla itu.
Kita terpaksa harus mengurai persoalan yang seperti benang kusut ini dengan melihat luasan Provinsi Jambi 50,160.05 kilometer persegi. Seluas 736.277,20 hektare adalah lahan gambut.
Jika menurut data Global Wetlands, luasan lahan gambut di provinsi ini adalah bagian dari luasan lahan gambut kedua terbesar di dunia setelah Brazil.
Luasan lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektare.
Rugi? Jelas saja. Sebab saat ini adalah jamannya carbon trade, meskipun hanya dihitung seharga US$ 6 hingga US$ 12 per metric cubic equivalen saja kerugian dari Kebakaran lahan gambut sangat merugikan negara, masyarakat dan lingkungan.
Menurut Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) KLHK, total emisi tahunan gas rumah kaca dari hutan dan lahan gambut di Provinsi Jambi pada 2001 adalah 32.576.258 (CO2-eq) sedangkan pada 2012 adalah 40.323.797 (CO2-eq).
Sementara total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Provinsi Jambi pada tahun 2001 adalah 16.577 hektare, sedangkan pada 2012 adalah 61.332 hektare.
Mari kita kembali ke kondisi saat ini untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi di areal gambut di Provinsi Jambi. Rekapitulasi dari Sipongi KLHK, karhutla terhebat di Provinsi Jambi terjadi pada tahun 2019 lalu, yakni seluas 56.593,00 hektare.
Hingga saat ini, ancaman dari pelaku karhutla tetap ada. Walhi Jambi kini tengah menggugat dua pemilik izin konsesi yaitu PT Putra Duta Indah wood dan PT Pesona Belantara Persada ke PN Jambi.
Kedua izin konsensi itu berada di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Terhitung sejak tahun 2015 hingga 2019, lahan yang terbakar di konsesi PT Putra Duta Indah wood adalah seluas 27.070,11 hektare, dan di HPH PT Pesona Belantara Persada adalah seluas 29.095,72 hektare. Sampai kini masih tidak maksimal mengantisipasi resiko karhutla.
Musim berkebun turut serta meningkatkan resiko kebakaran karena Penanaman sawit, akasia, pinang atau jenis tanaman lainnya di Lahan gambut yang berbentuk selayak spons (Inggris = sponge) dilakukan dengan cara menurunkan permukaan air, sehingga permukaan gambut bekas terbakar dengan mayoritas tumbuhan jenis paku pakuan menjadi lebih kering dan siap terbakar ketika di pentik dengan api kecil saja.
Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS) berada di areal gambut dengan danau seluas 15.000 hektare, terbentuk akibat kejadian karhutla di tahun 2015 lalu. Sementara total luasan TNBS adalah 343.000 hektare.
Kawasan gambut lainnya Taman Hutan Raya (Tahura) Orang Kayo Hitam dengan lebih dari 50 persen dari total luas tahura, yakni 18.234 hektare telah terbakar pada "musim" karhutla pada tahun 2015 lalu.
Hingga kini, tetap belum ada perbaikan. Tahura Orang Kayo Hitam sendiri adalah cagar biosfer TNBS.
Sebut lagi misalnya Kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang dengan luas 12.000 ha yang hanya karena efek El Nino juga pernah terbakar dan sampai saat ini masih sering terbakar begitipun dengan kawasan gambut lainnya.
Data Warsi menunjukkan, sepanjang 2019, terdeteksi 30.947 titik panas atau 13.000 lebih sedikit dibanding 2015. Setidaknya 157.137 hektar hutan dan lahan di Jambi terbakar, menimbulkan kerugian hampir Rp15 triliun.
Ironisnya, kebakaran lahan terluas justru berada pada kawasan berizin. Dalam hitungan Warsi, konsesi HPH terluas, 40.865 hektar, 50 perusahaan sawit di Jambi turut menyumpang lahan terbakar 24.938 hektar.
Pada waktu itu, perkiraan luasan yang terbakar adalah 18 perusahaan pemegang izin HTI luas 21.226 hektar. Hutan lindung 15.534 hektar, restorasi ekosistem 14.762 hektar, taman nasional 17.738 hektar, taman hutan raya 13.052 hektar, lahan masyarakat 3.069 hektar, hutan produksi terbatas (HPT) 5.775 hektar dan hutan produksi konversi (HPK) 178 hektar.
Demikian tebalnya kabut asap dan jambi menjadi merah, sekolah di liburkan dan kerugian perekonomian yang sangat besar.
Hari ini semestinya ancaman dan karhutla sudah di jamin tidak akan terulang kembali tidak hanya Butuh biaya mahal memulihkan kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan tetapi juga karna kita sudah belajar cukup banyak dari bencana karhutla 5 tahun terakhir.
Persyaratan pemadaman karhutla di berbagai kawasan yang juga masih tidak memadai semisal penggalangan dan kesiapan sumber daya manusia, pemetaan sumber air, Kesiapan operasional termasuk akses dan jalan, sarana dan prasarana serta regu pemadaman harus menjadi pilihan terakhir.
Dalam karhutla tindakan pencegahan dan penataan kawasan bebas karhutla untuk tidak mudah terbakar menjadi pilihan mutlak yang telah tersistem secara baik dan benar oleh berbagai pihak dalam pengelolaan dan pemanfatan lahannya dengan kesiapan sarana dan prasarana.
Akses dan jalan jalan evakuasi serta titik air yang cukup dengan sumber daya manusia yang tangkas dan siap bertindak.
Semisal yang dilakukan pada musim kemarau tahun 2021 ini, pemerintah Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel) melakukan program teknologi modifikasi cuaca (TMC).
Dengan menyemai 10 ton garam di udara, yang bertujuan untuk mencegah karhutla sebagai rekayasa cuaca adalah upaya meng-intervensi proses pertumbuhan awan dengan memasukkan inti kondensasi ke dalam sistem awan untuk mengoptimalkan kejadian, volume, dan durasi hujan.
Tentu saja selama ada air turun, terlebih jika musim hujan datang lebih awal, atau tepat sebagaimana seloroh orang Jambi, dimana September hingga Desember artinya “berember-ember” air yang turun dari langit.
Musim hujan telah kembali bulan September. Kita telah terselamatkan dari karhutla dan kabut-asap.
Tetapi bagaimana dengan penanganan kawasan yang pernah terbakar yang telah rusak tadi?
Hujan tidak akan menghapus dosa-dosa itu. Kita harus berbuat. Sebab jika situasi struktural, ekonomi, sosial dan politik tidak direvisi untuk antisipasi kebakaran di berbagai kawasan, maka dapat diyakini bahwa jika hujan tidak turun selama empat bulan berturut-turut, kita kembali akan memanen kabut-asap dan langit merah.
Selamat menikmati.*
Penulis: Jon Afrizal, Divisi publikasi komunikasi Masyarakat lingkungan, pembangunan dan sosial ekonomi Jambi
Jon Afrizal*