Berita Nasional
Moeldoko Blak-blakan Soal Posisi Indonesia Dalam Konflik AS vs Tiongkok di Laut China Selatan
Akhirnya Istana Presiden buka suara soal posisi Indonesia dalam konflik Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut China Selatan.
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Akhirnya Istana Presiden buka suara soal posisi Indonesia dalam konflik Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut China Selatan.
Hal itu disampaikan secara langsung oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.
Ia menegaskan netralitas Indonesia dalam konflik antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di Laut China Selatan.
Moeldoko pun juga menceritakan pengalaman dirinya ketika menjabat sebagai Panglima TNI.
Ia mengaku kala itu harus berupaya menghindar dari ajakan AS dan China untuk menggelar latihan perang bersama di sekitar kawasan Natuna, yang sangat dekat dengan Laut Cina Selatan.
Moeldoko mengatakan, kala itu ia melakukannya agar tidak masuk ke dalam salah satu blok saja.

Namun demikian, Moeldoko, mengatakan, dirinya selalu menyiasatinya dengan mengajak atau menggelar latihan bersama yang bertajuk misi kemanusiaan, antara lain kebencanaan, penanggulangan kecelakaan di laut, atau kecelakaan pesawat.
Hal itu disampaikan Moeldoko dalam acara bertajuk Satu Jam Bersama Moeldoko secara virtual yang digelar Amerika Bersatu, Selasa (23/3/2021).
"Dalam konteks ini, posisi Indonesia tetap pada posisi yang netral, tidak ke kiri dan tidak ke kanan."
"Tidak kepada kekuatan Amerika, tidak kepada kekuatan Cina," kata Moeldoko.
Moeldoko juga menjelaskan, posisi Indonesia yang netral justru menguntungkan Indonesia sendiri.
Karena dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan semua potensi dari berbagai kekuatan luar untuk memperkuat posisi Indonesia.
"Tapi begitu kita meleng ke sebelah, maka kita akan justru mendapat tekanan."
"Bukan bantuan, malah tekanan."
"Yang kita butuhkan kan bantuan, ngapain kita mesti buang-buang energi yang tidak perlu?" ujar Moeldoko.
Baca juga: AMERIKA SERIKAT Niat Buat Tiongkok Geram dengan Panaskan Armada Perangnya di Laut China Selatan
Baca juga: PRANCIS Main Api dengan Kirim 2 Kapal Perang ke Laut China Selatan, Naikkan Tensi Perang AS & China
Baca juga: Ternyata ini Alasan China Sangat Ngotot Mengklaim Perairan Laut China Selatan
Harus Bisa Ambil Keuntungan
Situasi di Laut Cina Selatan berpotensi semakin panas bahkan berujung perang setelah Amerika Serikat memasang tiga kapal induk meraka di kawasan tersebut.
Tak cuma itu saja, tiga hari lalu, kedua armada perang dari China dan Amerika juga dikabarkan hanya berjarak 100 meter.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Indonesia cuma harus berada di posisi netral.
"Saya berpandangan bahwa posisi netral adalah posisi yang sangat baik."
"Kita bisa menyebut Indonesia sebagai gadis cantik, di mana menjadi rebutan antara dua penguasa besar."
"Kemudian, posisi Indonesia di ASEAN menjadi center, karena satu-satunya negara yang di ASEAN memiliki posisi yang cukup netral antara Amerika dan Cina," kata Moeldoko saat Webinar PYC, Sabtu (20/6/2020).

Mantan Panglima TNI itu juga menyarankan agar posisi tersebut dapat dipertahankan karena akan sangat menguntungkan bagi Indonesia.
"Apabila terjadi sesuatu di Laut Cina Selatan, maka kalau kita lihat kebutuhan logistik dalam sebuah pertempuran atau peperangan itu luar biasa besarnya."
"Untuk itu kita harus bisa mengambil keuntungan dari situasi itu."
"Tetapi kita akan kehilangan kesempatan apabila kita pada posisi yang tidak netral," jelasnya.
Untuk melihat dampak apa yang terjadi bila pecah perang di Laut Cina Selatan, Moeldoko menyebut harus ada analisi lebih dalam.
Kemudian menyoal investasi, posisi netral Indonesia diprediksi bisa menarik investor lebih banyak dari kedua belah pihak.
"Kalau kita melihat dari posisi investasi, di antara Cina dan Amerika, posisi Indonesia ini akan menguntungkan."
"Manakala kita berada di tengah, di antara kedua negara ini, kita bisa mendapatkan investasi dari kedua-duanya," jelas Moeldoko.
Sebelumnya, Dahnil Anzar Simanjuntak, selaku Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan, Indonesia tidak akan terlibat dalam konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan.
Jika, lanjutnya, Amerika Serikat dan China beserta aliansinya melakukan perang terbuka di wilayah yang berbatasan langsung dengan Indonesia tersebut.
Hal itu dijawab dengan pertanyaan peserta diskusi terkait sikap Pemerintah Indonesia, apabila perang terbuka berlangsung di Laut China Selatan, menyusul situasi di wilayah tersebut yang kian meningkat belakangan ini.
Hal itu disampaikan Dahnil dalam diskusi Forum Monitor Seri 4 yang diselenggarakan Monitor.id secara virtual, Kamis (18/6/2020).
"Kita kembali kepada undang-undang, tentu kita tak akan terlibat dalam konflik tersebut," ujar Dahnil.
Selain karena pembukaan Undang-undang Dasar yang telah menegaskan sikap Indonesia dalam kancah dunia.
Yakni, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial.
Dahnil juga menegaskan Indonesia hingga saat ini tidak memiliki pakta pertahanan dengan negara manapun.
Untuk itu, dirinya menegaskan sikap Indonesia dalam hal tersebut adalah bebas aktif.
"Yang jelas, kita tidak akan jadi proksi, proksi manapun."
"Kita tidak punya keterkaitan dengan pakta pertahanan di manapun, dengan siapapun. Jadi kita bebas aktif terkait dengan itu," tutur Dahnil.
Dahnil mengatakan hubungan ekonomi Indonesia dengan China tidak membuat sikap Indonesia menjadi terikat dengan negara itu.
Karena, Indonesia tidak memiliki pakta pertahanan dengan Cina atau negara manapun di dunia ini.
"Kalau ada misalnya yang katakan, kan kita banyak hubungan ekonomi yang besar dengan Cina? Tidak ada masalah."
"Itu kemudian tidak membuat kita terikat dan mengikat sikap kita harus ikut Cina dan atau Amerika," ungkap Dahnil.
Dahnil menuturkan, Prabowo juga telah berupaya menjalin komunikasi dengan sejumlah Menteri Pertahanan di Asia Tenggara anggota ASEAN.
Baca juga: INSPIRASI Gaya Hijab Segi Empat yang Bisa Dipakai saat Bulan Suci Ramadhan 2021, Mudah Loh!
Baca juga: Begini Awal Mula Abrip Asep Ditemukan Warga hingga 12 Tahun Dirawat di Rumah Sakit Jiwa
Baca juga: Pemkab Tebo Tiadakan Pasar Bedug pada Ramadan Tahun Ini
Agar, tidak menjadikan wilayah ASEAN jadi medan perang dalam kaitan meningkatnya situasi keamanan di Laut Cina Selatan belakangan ini.
Dahnil mengatakan, upaya diplomasi pertahanan yang dilakukan serupa juga tidak hanya dilakukan kepada negara-negara di kawasan Asia Tenggara anggota ASEAN saja.
Namun, juga dengan negara-negara yang tengah bersitegang di kawasan tersebut, yakni China dan Amerika Serikat.
Dahnil mengatakan, dalam upaya diplomasi pertahanan tersebut, intinya Prabowo mengajak negara-negara itu membangun collective security system (sistem keamanan kolektif) di kawasan Asia Tenggara.

"Jadi kita membangun solidaritas di satu sisi, di sisi lain kita juga memastikan pertahanan negara-negara itu kuat."
"Walaupun kita paham juga negara-negara kawasan punya keterkaitan dengan negara-negara yang sedang berkonflik."
"Tapi kita juga terus mengajak supaya jangan sampai kawasan kita itu jadi battle ground (medan perang)."
"Sehingga yang dibangun itu tadi, collective securty sistem," bebr Dahnil.
Dahnil mengatakan, dalam upaya diplomasi pertahanan tersebut, Indonesia tidak menggunakan sudut pandang balance of power atau keseimbangan kekuatan.
Karena, menurut Dahnil perspektif balance of power akan memunculkan persaingan kekuatan, bukan solidaritas dan perdamaian sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang.
"Beberapa hari ke depan juga beliau (Prabowo) akan bicara dengan banyak para Menteri Pertahanan itu, dalam rangka membangun collective security system."
"Jadi yang dibangun itu atmosfernya adalah solidaritas, yang dibangun itu adalah perdamaian," jelas Dahnil.
Dahnil mengatakan, situasi pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia saat ini di satu sisi merupakan peliang bagi Indonesia untuk membangun solidaritas dengan negara lain, dan mencegah perang terjadi, khususnya di Laut Cina Selatan.
Satu di antara caranya, menurut Dahnil, adalah dengan memaksimalkan peran di Perserikatan Bangsa-bangsa dalam rangka penanganan terhadap Covid-19.
"Yang jadi tantangan kita kan sebenarnya kita punya lembaga institusi yang bertugas menjaga perdamaian, salah satunya adalah PBB."
"Maka peran kita di PBB itu harus dimaksimalkan terus."
"Bahkan tadi saya sebutkan di awal bagaimana Kemenlu mendorong global solidarity terkait Covid-19 untuk membangun solidaritas."
"Itu juga dalam rangka membangun kesadaran dunia, kesadaran global, jangan sampai kemudian ketika kita dirundung oleh wabah, ditambah juga dengan perang," tutup Dahnil. (Gita Irawan)
Berita lainnya terkait Laut China Selatan
SUMBER: WARTAKOTA