Kisah Pengamen Puisi, Rangkaian Kata Jadi Wadah Menampung Rezeki

Pria yang sering disapa Petrus itu selalu mondar-mandir di sekitaran pantai Parangtritis dengan menenteng satu bendel kertas putih.

Editor: Muuhammad Ferry Fadly
istimewa
Pengamen puisi di Pantai Parangtritis seusai membacakan puisi untuk pengunjung, Sabtu (20/3/2021) 

TRIBUNJAMBI.COM - Bukan dengan musik atau bernyanyi, pria asal Kota Solo itu memilih menjadikan puisi sebagai 'senjata' mencari rezeki.

Jika ingin menjumpainya, cukup datang saja ke Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu ketika sore hari.

Pria yang sering disapa Petrus itu selalu mondar-mandir di sekitaran pantai Parangtritis dengan menenteng satu bendel kertas putih.

Baca juga: Luna Maya Komentari Aksi Ariel NOAH dengan BCL di Panggung, Singgung Soal Paras Sang Vokalis

Baca juga: Menteri AS dan Diplomat China Saling Sindir, Joe Biden : Saya Sangat Bangga

Baca juga: Komunitas Pujakusuma Jambi Fasilitasi HWDI Jambi Mengembangkan Potensi Diri

Selain membacakan puisi kepada pengunjung pantai, Petrus juga bersedia melukis wajah bagi siapapun yang berkenan untuk dilukis dengan imbalan seikhlasnya.

"Selamat sore, boleh saya membacakan puisi untuk anda?" tanya Petrus kepada reporter Tribun Jogja, Sabtu (20/3/2021) sore, sembari memulai aksinya.

Dengan percaya diri pria berusia 60 tahun itu pun menuntaskan dua judul puisi sore itu.

Ia kemudian melanjutkan aktivitasnya di pantai Parangtritis.

Reporter Tribun Jogja mengamati aksinya itu. Tua muda tak menjadi pilihan.

Begitu terlihat beberapa orang duduk di tepi pantai, itulah sumber rejekinya.

Para pengunjung pantai dihampiri dirinya.

Tanpa sungkan, tanpa canggung, Petrus terlihat fasih melantunkan puisi karya pribadinya itu di hadapan wisatawan pantai.

Berapa pun jumlah uang yang diberikan oleh pengunjung ia terima, mulai dari uang koin, Rp1.000 hingga puluhan ribu selalu disyukuri.

"Berapa pun imbalannya akan saya terima. Uang sedikit pasti akan habis, uang banyak juga pasti akan habis," kelakarnya, membuka obrolan sore itu.

Sekitar 30 menit reporter Tribun Jogja mencoba menggali lebih dalam pribadi Petrus Adi Utomo yang rupanya ia juga aktif dibeberapa gereja di Kota Semarang, Sumatera dan wilayah lainnya.

"Silakan saja, saya dari Solo. Hidup saya 30 persen di kota, 30 persen di pantai atau ke gunung, 30 persen lainnya untuk keluarga, dan 10 persen saya aktif di gereja," kata dia

Ia mengatakan, sejak usia 10 tahun Petrus mulai gemar membaca puisi.

Di usianya saat itu, dirinya juga sudah menulis beberapa puisi.

"Sejak umur 10 tahun saya sudah senang membaca puisi. Saya juga sempat menulis puisi anak waktu itu," kata Petrus.

Semakin sering ia mengabdi ke beberapa gereja, keinginan Petrus untuk menghasilkan karya puisi kian menggebu.

Menurutnya, gereja menjadi basic hidupnya selama ini.

Dari beberapa kegiatannya di gereja itulah Petrus tidak khwatir meski pekerjaannya kini hanya sebagai pelukis sketsa dan pengamen puisi.

"Saya senang di gereja karena itulah basic hidup saya. Apa pun tanpa adanya sentuhan rohani hati kita akan kering. Kita tidak bisa mendorong orang lain jadi baik tanpa rohani kita yang baik," lanjut Petrus.

Selain di pantai Parangtritis, ia juga sering ngamen puisi di Gunung Lawu.

Petrus mencoba menghibur para pendaki saat beristirahat di Cemoro Sewu.

"Asal ada orang duduk itu menjadi tempat saya mencari makan. Ya ini pekerjaan yang gak ada saingan, karena orang gak ada yang mau kayak gini," kata dia.

Per harinya sudah tak terhitung berapa bait puisi yang ia bacakan kepada pengunjung pantai Parangtritis.

"Wah sudah tak terhitung. Entah orang asing atau enggak, itu bukan urusan saya. Yang penting saya bisa menyampaikan ide. Ya kadang orang minta dibacakan puisi tentang cinta, macam-macam lah," tambahnya.

Pernah Dibayar Rp 3 Juta

Menurut Petrus sebuah puisi dapat melampaui batas perasaan seseorang.

Hal itu ia buktikan saat dirinya membacakan satu puisi berjudul Kasih Melampaui Batas kepada perempuan asal Bali.

Saat itu perempuan yang menikmati bait-bait syair puisinya sampai meneteskan air mata.

Inti puisi yang ia bacakan kala itu berkisah tentang aborsi yang marak dilakukan oleh perempuan Indonesia.

"Jadi saya bacakan puisi itu yang intinya perempuan Indonesia kadang-kadang hamil begitu lahir diaborsi. Sedangkan di Kalimantan anak babi saja disusui. Saya ceritakan dalam puisi seperti itu," terang Petrus.

Rupanya perempuan yang sedang menikmati puisinya itu, lanjut Petrus adalah satu dari sekian pelaku aborsi.

"Saat itu juga perempuan itu menangis, karena ia sudah menikah umur 40 tahun dan sudah tidak hamil, tidak punya anak," jelas dia.

Karena karyanya itu mampu mejamah perasaan perempuan asal Bali itu, Petrus diberikan uang sebesar Rp 3 juta atas karya terbaiknya itu.

"Selesai baca puisi, saya langsung dikasih uang Rp3 juta. Saya bacakan itu di Taman Suropati, Jakarta," ujarnya.

Ia mengaku bahwa puisi tak ubahnya sebagai pisau bermata dua.

Karena menurutnya, ketika seseorang menyiratkan nasehat lewat puisi namun orang tersebut tidak melaksanakan apa yang diucapkan, maka keburukan akan kembali pada diri sendiri.

"Menurut saya puisi adalah pisau bermata dua. Ketika saya menasehati orang, tapi saya tidak melaksanakan nasehat itu, puisi itu akan balik kepada kita," ungkap Petrus.

Berdasarkan penelusuran reporter Tribun Jogja, Petrus juga aktif menulis di beberapa platform digital.

Namun sebelum aktif di media sosial, lika liku hidupnya cukup keras, hingga dirinya memutuskan untuk berpuisi di sisa usianya kini.

Keputusannya untuk menulis puisi dan melukis bermula ketika dirinya memutuskan untuk resign dari statusnya sebagai karyawan di salah satu kantor swasta di Jakarta.

"Bermula dari kondisi Deadlock (jalan buntu) dompet saya dicuri padahal baru dapat gaji. Lalu saya memutuskan lebih baik keluar saja dari perusahaan, karena betul-betul buntu. Target pekerjaan yang berat membuat saya keluar, dan mencari uang lewat puisi," jelas pria yang gemar mengenakan rosario di lehernya itu.

Sebagai penutup, Petrus pun meninggalkan syairnya kepada pembaca dengan judul Senja.

Berikut kutipan salah satu puisi yang dibacakan Petrus Sabtu Sore kemarin.

Senja, Ku duduk di pantai disenja hari.

Kulihat warna warni lukisan ilahi yang selalu baru dan tak pernah usang.

Aku selalu takjub warna biru, hitam kemerahan dan kegelapan yang nyata di atas gunung.

Senja, ketika mentari menyemburkan warna merahnya, memberikan semangatnya yang tak henti-henti.

Senja, di situ jutaan lelaki dan wanita memberikan jiwa dan berpadu dalam asanya.

Senja, kau memberikan ingatan bahwa segala peristiwa akan ada kisah di senja itu.

Baca Berita Terkait Lainnya

Sumber : TRIBUNNEWS

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved