SOSOK Ronny Lukito Membangun EIGER Hingga Sukses Mendunia, Dengan Modal Rp 1 Juta dan 2 Mesin Jahit
Kasus viral surat keberatan dari PT Eigerindo Multi Produk Industri terhadap seorang Youtuber, Dian Widiyanarko malah makin melambungkan nama Eiger.
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Nama Eiger sebagai perusaahan yang membuat berbagai produk peralatan pendukung kegiatan di alam bebas kini makin terkenal.
Kasus viral medsos surat keberatan dari PT Eigerindo Multi Produk Industri terhadap seorang Youtuber, Dian Widiyanarko malah makin melambungkan nama Eiger sebagai salah satu produk perusahaan tersebut.
Keberatan ditujukan kepada Dian yang mereview dan menggungah di kanal Youtubenya @duniadian soal kacamata bersepeda Eiger Kerato.
Dian lalu menunggah surat keberatan itu ke akun Twitter dan Instagram-nya karena merasa keberatan Eiger itu tidak pada tempatnya.

Produk Eiger yang di-review juga dibeli sendiri oleh Dian.
Hingga kini, unggahan tersebut telah di-retwit sebanyak 27.300 kali dan disukai sebua anyak lebih dari 74.000 kali oleh pengguna Twitter lainnya.
Tagar #Eiger pun menjadi trending topic pertama sampai Jumat (29/1/2021) siang ini.
Alih-alih menyelesaikan persolan, surat keberatan itu malah berbalik jadi rundungan warganet yang menilai Eiger tidak tahu berterima kasih.
Baca juga: Minuman untuk Mengatasi Asam Lambung - Teh Herbal, Air Kelapa, Air Putih
Tak tanggung-tanggung CEO PT Eigerindo MPI Ronny Lukito sendiri yang turun tangan menyampaikan permintaan maaf kepada Youtuber Dian Widiyanarko atas surat keberatan yang beredar luas di media sosial.
Kasus tersebut membuat publik kembali mengenang perjalanan sejarah Eiger sebagai produk anak bangsa yang membanggakan.
Ya, siapa tak kenal Eiger, produk peralatan pendukung kegiatan di alam bebas.

Bagaimana perjalanan sejarah produk Eiger itu dilahirkan di Bandung? Ikuti kisahnya yang diambil dari berbagai sumber seperti finansialku.com dan Kompas.com sebagai berikut:
Berawal di Bandung
Ronny Lukito lahir di Bandung, 15 Januari 1962 dari pasangan Lukman Lukito dan Kurniasih sebagai anak ketiga dari enam bersaudara.
Sebagai satu-satunya anak laki-laki, ia terbiasa bekerja keras karena lahir di lingkungan keluarga sederhana, bahkan bisa dikatakan cenderung kurang mampu.
Keluarga Ronny sehari-hari bekerja sebagai penjual tas buatan sendiri dengan merek Butterfly, yang diambil dari merek mesin jahit terkenal pada saat itu.
Karena kondisi ekonomi keluarga yang cukup sulit, Ronny memutuskan sekolah di STM supaya bisa langsung bekerja setelah lulus.
Baca juga: EIGER Dibilang Netizen Tidak Tahu Terimakasih, Ini Kronologi EIGER Keberatan Produknya Direview
Kala itu selesai sekolah Ronny membantu sang ayah mengambil bahan-bahan untuk pembuatan tas.
Sebelum pergi sekolah, ia juga berjualan susu dan sepulang sekolah ia menjadi montir bengkel motor.
Setelah lulus dari STM, Ronny sebenarnya ingin melanjutkan pendidikannya ke ITENAS.
Baca juga: Nasib Buruk Abu Janda Datang Bertubi-tubi Gegara Sebut Agama Islam Begini, Kini PBNU Ikut Marah!
Namun, melihat keadaan ekonomi keluarganya, ia memprioritaskan untuk mendapat pekerjaan dibanding kuliah.
Belum sempat melamar kerja, kerabatnya menyarankan untuk meneruskan usaha tas yang dimiliki keluarganya.
Dari sinilah ia bisa mempelajari seluk-beluk pembuatan tas.
Mulai dari desain hingga bagaimana proses penjahitannya.
Ia juga mencoba memasukkan produksi tas keluarganya ini ke Matahari Departemen Store.
Walaupun tidak mendapat banyak order, ia tetap berusaha mengembangkan usaha keluarganya tersebut.
Produksi sendiri
Tak lama setelah bekerja di toko tas keluarga, Ronny yang memiliki jiwa entrepreneur mencoba membuka toko tasnya sendiri dengan modal kurang dari Rp1 juta.
Kala itu, ia menggunakannya untuk membeli dua buah mesin jahit, peralatan jahit, dan beberapa bahan untuk membuat tas.
Di tahun 1983-1984, Ronny memulai produksi tasnya sendiri dengan dibantu seorang penjahit bernama Mang Uwon.
Baca juga: VIDEO: Detik-detik Driver Ojol Selamatkan Wanita Hamil Hendak Bunuh Diri, Lompat dari JPO Otista
Karena pengalaman sebelumnya, Ronny juga ingin memasukkan tas produksinya ini ke Matahari Departemen Store, namun berkali-kali ditolak.
Tidak tinggal diam, ia terus berkreasi hingga akhirnya di pengajuan yang ke-13 kalinya.
Akhirnya produknya pun diterima, meski waktu itu penjualannya tidak lebih dari Rp 300.000.
Kala itu tas pertama yang ia produksi diberi nama Exxon.
Digugat hak paten
Melihat adanya celah dalam ekspansi bisnis, ia kemudian mulai berkeliling ke daerah-daerah untuk mencari partner yang bersedia menjadi pengecer tas produksinya.
Dia berkeliling dari daerah ke kota kemudian kembali ke daerah lainnya untuk mempromosikan produk sekaligus membangun jaringan pemasaran.
Baca juga: VIDEO: Musisi Ariel Noah Jalani Suntik Vaksin Covid-19 Kedua, Alami Reaksi Tak Biasa
Walaupun masih dalam tahap awal memulai bisnis tasnya, ia merasa tidak begitu menguasai pengetahuan dunia usaha dan pemasaran sehingga memutuskan untuk menggunakan jasa seorang konsultan.
Ronny juga banyak belajar secara privat mengenai pengetahuan manajemen dan juga mengambil kursus manajemen keuangan.

Bila ada seminar atau kursus yang menurutnya bagus, ia berusaha untuk menghadirinya.
Ia juga membaca buku-buku yang relevan untuk menunjang pengembangan bisnisnya.
Baca juga: Promo Gedebuk (Get The Book), Gramedia Beri Diskon Hingga 50 Persen Untuk Buku-Buku Pilihan
Pada tahun 1986, Ronny memutuskan untuk memperbesar jumlah produksi dan membeli rumah seluas 600m2 sebagai tempat produksi di daerah Kopo, Bandung.
Sebelumnya, pada tahun 1984 ia juga membeli rumah dengan luas dan peruntukan yang sama.
Setelah menikah di tahun 1986, ia kemudian mulai mempekerjakan marketing profesional untuk usahanya tersebut.
Dari sini, ia mulai mencari nama baru untuk tasnya.

Rupanya ia mendapat komplain tentang hak paten dari produsen tas Exxon dari AS, yaitu Exxon Mobil Corporation.
Oleh karena itu, tas-tas produksinya ini kemudian diberi nama Exsport (singkatan dari Exxon Sport).
Keputusannya tersebut sangat tepat. Tas-tas hasil produksinya perlahan mulai diterima di pasaran luas.

Toko-toko retail seperti Matahari, Ramayana, Gramedia, Gunung Agung, dan department store lain ikut menjualkan produknya.
Ransel Eiger
Setelah tasnya diterima di pasaran, pada tahun 1993 ia mulai memproduksi tas Eiger.
Nama Eiger diambil dari salah satu gunung yang ada di Swiss, Gunung Eiger, yang disebut-sebut gunung tersulit didaki ketiga di dunia.
Sesuai dengan namanya, tas berbentuk ransel ini dibuat untuk keperluan pendakian, panjat tebing, camping, dan aktivitas outdoor lainnya.
Pada awalnya, Eiger hanya memproduksi ransel saja dan didistribusikan terbatas pada kelompok-kelompok pencinta alam.
Tetapi lama-kelamaan Eiger juga merambah ke peralatan pendakian gunung lainnya dan dijual secara luas.
Karena permintaan yang kian meningkat, pada tahun 1998, Ronny Lukito kemudian membangun pabrik Eiger pertama di Jalan Cihampelas, Bandung.
Namun krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1998 tak lantas membuat Ronny Lukito berhenti di tengah jalan.
Walaupun terlilit utang cukup banyak, usahanya masih tetap bertahan, bahkan ia tidak perlu mem-PHK satu pun karyawannya.
Dengan terus bekerja keras, ia memulihkan kembali usahanya dan terus maju memperkenalkan Eiger ke banyak orang.
Baca juga: Viral Surat Eiger kepada YouTuber Dian Widiyanarko Soal Review, Ernest Jadi Ikut Bicara
Hasilnya, sejak 1999, usahanya ini sudah menyebar ke sejumlah negara, di antaranya Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Cina, Vietnam, hingga Korea Selatan.
Saat ini, Ronny Lukito menjadi pemilik sekaligus pemimpin dari B&B inc.
Salah satu grup perusahaan terbesar di Indonesia itu menaungi 4 cabang perusahaan, yaitu PT Eksonindo Multi Product Industry yang memproduksi ransel dan tas kasual dengan merek dagang Exsport.
Berikutnya PT Eigerindo Multi Product Industry, PT Eksonindo Multi Product Industry Senajaya yang memproduksi produk dengan merek dagang Bodypack, dan CV Persada Abadi. (*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul SOSOK Ronny Lukito, Dengan Modal Rp 1 Juta dan 2 Mesin Jahit Membangun EIGER Hingga Sukses Mendunia,