Berita Kota Jambi

Jalinsum Tempo Dulu & Jembatan Rantau Keloyang, Sudah Ada Sejak Jaman Kolonial

Sekitar empat dekade lalu, Jalan Lintas Sumatera yang melintasi Kabupaten Bungo belum berlokasi di tempat sekarang.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Nani Rachmaini
Mareza
Jalinsum di Kabupaten Bungo 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Sekitar empat dekade lalu, Jalan Lintas Sumatera yang melintasi Kabupaten Bungo belum berlokasi di tempat sekarang.

Ada jalan yang dulu biasa dilewati, yang kini hanya menjadi jalan bagi masyarakat Dusun Rantau Keloyang, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo. Bagaimana potretnya?

Konon, Jalan Lintas Sumatera yang melintasi Dusun Rantau Keloyang ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Dulu, jalan di desa itulah yang menjadi satu-satunya akses jalur darat.

Menurut penuturan masyarakat setempat, jalan yang menjadi akses transportasi darat itu hingga kini masih dimanfaatkan. Namun, karena lebar jalan terbatas dan jalur yang dilewati relatif jauh, sebagian besar pengendara memilih untuk melewati Jalan Lintas Sumatera yang sekarang. Lagi pula, tidak banyak yang tahu bahwa dusun (sebutan desa bagi masyarakat Kabupaten Bungo) itu menjadi jalur transportasi darat tempo dulu.

Jika melewati Dusun Rantau Keloyang, pengendara akan melintasi jembatan kayu yang dibuat sejak zaman Belanda. Orang-orang menyebutnya Jembatan Rantau Keloyang.

Jembatan Rantau Keloyang, Kabupaten Bungo
Jembatan Rantau Keloyang, Kabupaten Bungo (Mareza)

Dari penuturan warga sekitar, jembatan itu selesai dibangun pada 1937, sebagaimana tertulis di beton sebelah kiri sebelum melintasi jembatan, yang terlihat ketika hendak memasuki pusat Dusun Rantau Keloyang. Namun, beberapa sumber lain menyebut jembatan itu sudah dimanfaatkan warga sebelum itu, sekitar 1920-an.

Walau begitu, masyarakat setempat sepakat bahwa jembatan tua itu menjadi satu di antara peninggalan kolonial Belanda yang tersisa. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana proses awal pembuatan jembatan itu.

Jembatan yang terletak di atas Sungai Batang Pelepat ini sudah berkali-kali direnovasi. Mulai dari kayu, besi baja, dan beberapa bagian lainnya. Meski begitu, bangunan dasar jembatan itu masih asli.

Ada banyak cerita masyarakat setempat mengenai Jembatan Rantau Keloyang itu. Di antaranya, menjadi saksi pertempuran masyarakat Dusun Rantau Keloyang dengan penjajah pada masa dulu.

Ceritanya, medio 1940-1945, penjajah Jepang mulai menginjakkan kaki ke sejumlah daerah di Bungo.

Informasi itu beredar hingga Dusun Rantau Keloyang. Masyarakat setempat mendengar kabar bagaimana perlakuan penjajah Jepang terhadap daerah jajahannya. Mereka yang saat itu sudah dijajah Belanda, menolak untuk dijajah pula oleh Jepang. Belum lagi kolonial Belanda tetap berupaya mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Jembatan itu sempat hendak dirobohkan ketika Jepang hendak masuk. Saat itulah, ada orang-orang keramat yang dikenal sakti dan punya ilmu tinggi turut mengusir kolonial Jepang. Tentara Jepang dipukul mundur. Beberapa tahun kemudian, Belanda pun angkat kaki setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.

Dari cerita warga setempat, tampilan jembatan itu sejak dulu tidak berubah. Lantai jembatan yang terbuat dari kayu yang disanggah baja masih ada di sana, meski sudah berkali-kali diganti. Bentuk jembatannya pun masih kuno, dengan tali sebagai penggantung dan baut-baut besar sebagai penyanggahnya. Ala jembatan tempo dulu.

Jika kendaraan melintas di atasnya, suara roda menggelinding di atas kayu-kayu yang tidak lagi tersusun rapi itu terdengar. Bahkan, ada beberapa kayu yang tidak lagi lurus di sejumlah bagian jembatan. Beberapa sisi kayu sudah lepas dari pakunya. Derap langkah pun terdengar jika menapak di atasnya.

Sejak ada jembatan baru di sebelahnya, masyarakat berharap bangunan lama itu bisa dimanfaatkan sebagai ikon Dusun Rantau Keloyang. Sayang, harapan itu belum terealisasi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved