Tribun Wiki
WIKI JAMBI Kisah Sultan Thaha, Pahlawan Jambi yang Dapat Julukan Pedang Agama
Dia mengembuskan napas terakhir setelah Belanda mengepungnya di Betung Bedarah (sekarang masuk wilayah Kabupaten Tebo).
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
Selain itu, bersama pasukannya, dia juga berhasil menenggelamkan kapal perang Hotman milik Belanda.
Selama menjabat, Sultan Thaha Syaifuddin melakukan banyak hubungan diplomasi dengan beberapa negara, seperti Turki, Inggris, dan Amerika.
Tujuannya, untuk memperoleh bantuan persenjataan dan amunisi, guna menghadapi pertempuran dengan Belanda.
Masa perlawanan terhadap Belanda di bawah kepemimpinan Sultan Thaha berlangsung sekitar 46 tahun.
Baca juga: Jadwal Debat Publik Paslon Pilkada Bungo Ditunda, Catat Tanggal Terbarunya Berikut
Gugur di Medan Perang
Sultan Thaha Syaifuddin gugur dalam sebuah pertempuran sengit, pada April 1904.
Sekali waktu dalam pertempuran yang sengit di Betung Bedarah, Sultan Thaha Saifuddin tak henti-hentinya mengumandangkan takbir.
Waktu itu 27 April 1904, dini hari. Di tengah dinginnya udara, pertempuran terus terjadi.
Sultan Thaha terus menerus mengumandangkan takbir.
Dalam pekikan takbir itu pula, akhirnya ajal menjemputnya.
Dia mengembuskan napas terakhir setelah Belanda mengepungnya di Betung Bedarah (sekarang masuk wilayah Kabupaten Tebo).
Dia gugur dalam peperangan itu, pada usia 88 tahun sebagai Kesuma Bangsa.
Sepeninggal Sultan Thaha Saifuddin, perjuangan melawan Belanda tidak sampai di situ.
Satu di antara pengikut setianya, Muhammad Thahir, yang lebih dikenal dengan Raden Mattaher melanjutkan perjuangannya, memegang panji Kerajaan Melayu dan rakyat Jambi.
Raden Mattaher adalah seorang panglima perang gerilya yang dikenal dengan sebutan 'Singo Kumpeh' ini tidak membiarkan seorang pun Belanda bercokol di negeri Jambi.
Namun, setelah beberapa tahun bergerilya, dia pun gugur pada 1907.