Tribun Wiki

WIKI JAMBI Kisah Sultan Thaha, Pahlawan Jambi yang Dapat Julukan Pedang Agama

Dia mengembuskan napas terakhir setelah Belanda mengepungnya di Betung Bedarah (sekarang masuk wilayah Kabupaten Tebo).

Tribunjambi/mareza
Kisah Sultan Thaha, Pahlawan Jambi yang Dapat Julukan Pedang Agama 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Sultan Thaha Syaifuddin merupakan Pahlawan Nasional asal Jambi. Namanya sudah tidak asing lagi, terutama bagi masyarakat Provinsi Jambi.

Sultan Thaha Saufuddin, telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional yang telah membumi dari negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, melalui Keputusan Presiden Rapublik Indonesia (Kepres RI) no 079 TK/ 1977.

Baca juga: 11 Obat Sakit Diabetes Bahan Herbal, untuk Menurunkan Gula Darah

Silsilah Sultan Thaha Syaifuddin

Sultan Thaha merupakan keturunan raja Kerajaan Melayu Jambi.

Dia adalah keturunan ke-17 dari Ahmad Salim (Datuk Paduko Berhalo) dan Putri Selaras Pinang Masak.

Sultan Thaha dilahirkan pada 1816, di Keraton Tanah Pilih Jambi.

Ayahnya adalah seorang Raja di Kejaraan Melayu Jambi, bernama Sultan Muhammad Fachrudin.

Pahlawan yang dikenal dengan kegigihannya berjuang di Tanah Jambi itu memiliki nama kecil Raden Thaha Jayadiningrat. Sumber lain menyebut Raden Thaha Ningrat.

Sejak kecil Raden Thaha bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.

Menginjak usia remaja, Raden Thaha sudah menonjolkan karakter sebagai seorang pemimpin.

Anak Raja Kerajaan Melayu Jambi itu merupakan sosok yang berpendirian Teguh dan tegas dalam mengambil keputusan, bersikap terbuka, lapang dada, berjiwa kerakyatan, dan taat menjalankan agama Islam.

Baca juga: WIKI JAMBI Catatan Perjuangan Dua Pahlawan Asal Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin dan Raden Mattaher

Menuntut Ilmu ke Kesultanan Aceh

Sultan Thaha sejak kecil punya rasa ingin tahu yang kuat. Dia belajar dengan banyak guru sejak masa kecilnya.

Tidak sampai di sana, pada usia remaja, untuk lebih memperdalam pengetahuan tentang ajaran agama Islam Raden Thaha menuntut ilmu agama di Kesultanan Aceh.

Selama dua tahun, dia memperdalam ajaran Islam. Dari sanalah, selain mendapatkan ilmu agama, dia juga mendapatkan pendidikan tentang kebangsaan.

Semangat juang untuk menegakkan Islam dan tekad untuk menentang imperialisme Belanda selalu tertanam dalam jiwanya.

Konon, saat itu Belanda sudah menjadi musuh Kesultanan Aceh dan Jambi pada masa itu.
Sikap Belanda yang semena-mena dianggap merugikan rakyat Jambi.

Raden Thaha punya semangat dan tekad untuk memerdekakan rakyat Jambi dari penjajahan.

Dengan semangat dan tekad itu, Sultan Aceh kemudian menyematkan nama imbuhan padanya, yakni Syaifuddin.

Kata itu diambil dari bahasa Arab yang berarti 'pedang agama'.

Sejak saat itulah, Raden Thaha mulai dikenal dengan nama Raden Thaha Syaifuddin.

Baca juga: Puncak Musim Hujan Diprediksi November-Desember, BPBD Batanghari Sebut 90 Desa Siap Siaga Bencana

Mengabdi di Kesultanan Jambi

Kembali dari perantauannya, Raden Thaha yang pulang dari Aceh disambut tulus oleh ayahnya, Sultan Muhammad Fachruddin.
Dia diberi kepercayaan sebagai duta keliling.

Tugasnya mempererat hubungan persahabatan dan ukhuwah Islamiyah dengan kerajaan-kerajaan sahabat di Malaya, Tumasik (Singapura), juga di Patani (Siam, Thailand).

Dia dikenal punya kemampuan diplomatik yang sangat bagus. Kunjungannya ke kerajaan-kerajaan sahabat selalu disambut baik.

Dalam lawatan itu jualah, Raden Thaha Syaifuddin sekaligus menimba pengalaman dari tempat yang dia kunjungi.

Pada tahun 1841, ayahnya wafat. Tahtanya diserahkan kepada pamannya, Abdurrahman Zainuddin.

Raden Thaha Saifuddin diangkat sebagai Pangeran Ratu (putra mahkota) dengan gelar Pangeran Ratu Jayadiningrat sekaligus Perdana Menteri.

Dalam megnemban tugasnya itulah, dia mencanangkan agar seluruh rakyat pandai membaca Alquran dan menulis aksara Arab.

Tidak hanya itu, dia juga turut memajukan pertanian, perkebunan, peternakan, dan pengelolaan hasil hutan serta mengintensifkan penambangan emas.

Semua kegiatan itu dipertanggungjawabkan kepada pepatih dalam, pepatih luar, dan jenang.

Baca juga: Keris Kyai Naga Siluman Milik Pangeran Diponegoro, Penampakan setelah Hilang 150 Tahun

Sultan Thaha Memimpin Jambi

Raden Thaha naik tahta ketika Sultan Abdurrahman Zainuddin wafat, sekitar 1850-an. Dia dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu Jambi.

Dalam pidato pengukuhannya, dia menyatakan rasa tidak senang terhadap Belanda. Itu pula yang menjadi alasan Sultan Thaha Saifuddin membatalkan semua perjanjian yang telah dibuat sultan-sultan terdahulu, termasuk ayahnya.

Dia menganggap perjanjian itu tidak adil, juga sangat merugikan rakyat dan Kesultanan Jambi.

Mendengar pernyataan itu, pemerintah Belanda memberi wewenang kepada residen yang berkedudukan di Palembang untuk berunding, agar Kesultanan Jambi mau mengakui pemerintahan Belanda.

Dalam rundingan itu disebutkan, Sultan Thaha Syaifuddin tetap berkuasa, namun wilayah kekuasaannya diakui sebagai pinjaman dari pemerintahan Belanda.

Dengan tegas, Sultan Thaha Saifuddin tetap bersikukuh menentangnya. Sebagai pemimpin yang tegas dan berpihak pada rakyat, dia menolak negosiasi dari Belanda.

Mendapat tanggapan itu, Belanda mengancam akan menurunkan Sultan Thaha Saifudin dari tahtanya. Meski begitu, dia tetap tidak berkenan untuk berunding.

Bahkan, dia menyatakan kerajaan Jambi adalah hak rakyat Jambi dan akan dipertahankan hingga tetes darah penghabisan.

Mendengar pernyataan tegasnya, pemerintahan Belanda naik pitam. Bendera perang berkibar. Pertempuran tak dapat dielakkan, dan pecah sejak 1858.

Pertempuran terus meluas hingga ke daerah-daerah di wilayah Jambi.

Dalam peperangan panjang itu, Sultan Thaha Saifuddin beserta pasukannya melakukan gerilya ke daerah Uluan, guna menghindari kepungan musuh.

Berbagai taktik dilakukan dalam pertempuran itu.

Dalam pertempuran sengit itu, Sultan Thaha dan pasukannya sempat melumpuhkan pertahanan Belanda di Batang Asai (sekarang masuk wilayah Kabupaten Sarolangun).

Selain itu, bersama pasukannya, dia juga berhasil menenggelamkan kapal perang Hotman milik Belanda.

Selama menjabat, Sultan Thaha Syaifuddin melakukan banyak hubungan diplomasi dengan beberapa negara, seperti Turki, Inggris, dan Amerika.

Tujuannya, untuk memperoleh bantuan persenjataan dan amunisi, guna menghadapi pertempuran dengan Belanda.

Masa perlawanan terhadap Belanda di bawah kepemimpinan Sultan Thaha berlangsung sekitar 46 tahun.

Baca juga: Jadwal Debat Publik Paslon Pilkada Bungo Ditunda, Catat Tanggal Terbarunya Berikut

Gugur di Medan Perang

Sultan Thaha Syaifuddin gugur dalam sebuah pertempuran sengit, pada April 1904.

Sekali waktu dalam pertempuran yang sengit di Betung Bedarah, Sultan Thaha Saifuddin tak henti-hentinya mengumandangkan takbir.

Waktu itu 27 April 1904, dini hari. Di tengah dinginnya udara, pertempuran terus terjadi.

Sultan Thaha terus menerus mengumandangkan takbir.

Dalam pekikan takbir itu pula, akhirnya ajal menjemputnya.

Dia mengembuskan napas terakhir setelah Belanda mengepungnya di Betung Bedarah (sekarang masuk wilayah Kabupaten Tebo).

Dia gugur dalam peperangan itu, pada usia 88 tahun sebagai Kesuma Bangsa.

Sepeninggal Sultan Thaha Saifuddin, perjuangan melawan Belanda tidak sampai di situ.

Satu di antara pengikut setianya, Muhammad Thahir, yang lebih dikenal dengan Raden Mattaher melanjutkan perjuangannya, memegang panji Kerajaan Melayu dan rakyat Jambi.

Raden Mattaher adalah seorang panglima perang gerilya yang dikenal dengan sebutan 'Singo Kumpeh' ini tidak membiarkan seorang pun Belanda bercokol di negeri Jambi.

Namun, setelah beberapa tahun bergerilya, dia pun gugur pada 1907.

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved