Ngeri, Misi 130 Hari Kopassus dan Kostrad Tahun 1996, Penyanderaan Mapenduma Berakhir
Tak hanya itu, salah satu dari mereka, diduga sebagai komandan, membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali ditembakkan
Ngeri, Misi 130 Hari Kopassus dan Kostrad Tahun 1996, Penyanderaan di Mapenduma Papua Berakhir
TRIBUNJAMBI.COM - Ketika dua pasukan elite TNI AD bergabung, jadilah kekuatan tak terbendung.
Sekira 24 tahun lalu, 26 anggota tim Ekspedisi Lorentz 95 disandera sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin Kelly Kwalik.
Tentu nama-nama tersebut tidak asing di telinga.
Peristiwa tersebut juga disebut sebagai krisis sandera Mapenduma.
Ya, peristiwa penyanderaan pada 8 Januari 1996 ,terjadi saat Kwalik dan anak buahnya menyandera 26 anggota Ekspedisi Lorentz 95.
• Hanya Butuh Waktu 3 Menit, Kopassus Berhasil Lumpuhkan Teroris Di Bandara Thailand
• Sosok Kopassus Ini Pernah Buat Mantan Sniper SAS Terkejut, Pernah Jadi Sasaran Bidik Snipernya
• Jenderal TNI Asal Jambi Digembleng Kopassus, Jadi Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan
Tim yang disandera itu beranggotakan warga Indonesia maupun internasional.
Akibat penyanderaan tersebut mengakibatkan tewasnya 2 orang sandera.
Peristiwa ini berakhir setelah operasi selama 130 hari.
Pada 9 Mei 1996 para sandera berhasil dibebaskan oleh Kopassus yang dipimpin Prabowo Subianto dan juga pasukan Raider Kostrad pada operasi pembebasan sandera.

Para Peneliti Diculik
Penculikan itu sendiri dipimpin oleh tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik, yang tewas pada 2009 lalu.
Terkait penyanderaan Tim Lorentz ’96 dan bagaimana mereka diselamatkan, Intisari pernah mengulasnya secara khusus.
Tim Lorentz ’95 dibentuk di Jakarta berdasarkan kerjasama antara Biological Science Club (BSsC) dari Indonesia dan Emmanuel College, Cambridge University.
Lembaga BSsC merupakan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen yang didirikan pada 7 September 1969 oleh sekelompok mahasiswa ilmu Biologi Universitas Nasional (UNAS), Jakarta.
Tujuan ekspedisi ini adalah untuk melakukan penelitian terhadap beragam flora dan fauna di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jawawijaya, Irian Jaya—sebelumnya bernama Irian Barat dan sekarang jadi Papua.
• Pertempuran Menegangkan Kostrad di Pinggir Jurang Timtim 1995, Musuh Terbakar Tapi Rambutnya Utuh
• Daftar 41 Nama Pangkostrad TNI AD dari 1961 s/d Sekarang, Cek Sejarah Pertempurannya
• Dua Jenderal TNI dari Jambi yang Dibesarkan Kopassus dan Menjadi Tokoh Penting di TNI
Tim ini terdiri atas 11 peneliti.
Selain meneliti flora-fauna, mereka juga akan mengaji keterkaitan objek penelitian dengan kehidupan dan pola pikir tradisional suku Nduga di sana.
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bisa menjadi masukan bagi usaha-usaha pelestarian dan pengembangan Taman Nasional Lorentz.

Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal bagi peran serta masyarakat yang terletak di bagian timur laut taman nasional yang pada 1999 ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO itu.
Penelitian dilakukan antara bulan November 1995 dan Januari 1996.
Anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y.Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).
Sementara anggota tim dari Inggris terdiri dari Daniel Start (22), William “Bill” Oates (23), Annette van der Kolk (22), dan Anna Mclvor (21).
Mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA) Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya.
Bersama mereka ada juga Jacobus Wandika, putra daerah suku Nduga, yang merupakan antropolog lulusan Universitas Cendrawasih dan murid Markus Warip.
Tidak ada gangguan berarti yang dialami tim selama menjalankan misinya.
• Kala Nama Kopassus Gegerkan Dunia Pada 31 Maret 1981, Serangan Kilat Tumpas Teroris di Operasi Woyla
• Banting Baret Merah di Depan Para Jenderal, Kopassus Berkaki Satu Dibela Mati-matian
Meski begitu, sebelum keberangkatan, tim tahu jika di sana terdapat kelompok Gerakan Pengacau Keamanan – Organisasi Papua Merdeka (GPK – OPM) yang mengaku kecewaa dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Tanggal 8 Januari menjelang hari-hari kepulangan ke Jakarta, mereka berkumpul di rumah kayu milik Pendeta Adriaan van der Bijl asal Belanda yang sudah menetap di sana sejak tahun 1963.
Hari itu sang pemilik rumah sedang pergi, berkeliling ke daerah Mbua dan ALama untuk menyusun kegiatan misionaris bersama istrinya.
Tiba-tiba, datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan orang berpakaian perang, lengkap dengan tombak.
Tak hanya itu, salah satu dari mereka, diduga sebagai komandan, membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali ditembakkan ke udara.
Mereka lalu mendobrak mendobrak pintu yang dikunci Tim Lorentz, memaksa masuk, menyerang, menyandera tim, dan akhirnya membawa seluruh tim peneliti ke hutan pedalaman.
Sejak itu, Tim Lorentz hilang jejaknya.
Berita penyanderaan Tim Lorentz mulai menghiasi media massa dan menjadi berita besar hingga ke Jakarta bahkan dunia.

Di Jakarta Pemerintah segera meminta ABRI (TNI) melakukan penyelamatan.
Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo Subianto) diputuskan memimpin misi penyelamatan.
Beberapa satuan TNI lainnya juga dilibatkan dalam misi penyelamatan ini.
Sekitar lima bulan berlalu, penyanderaan Tim Lorentz oleh GPK-OPM yang akhirnya diketahui dipimpin oleh panglima bernama Kelly Kwalik, belum juga membuahkan hasil.
Penyandera terus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat sambil mengirimkan beberapa pesan tuntutan mereka kepada Pemerintah RI.
Dalam buku Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapenduma (1997) disebutkan, pasukan yang dibawa Kelly Kwalik mula-mula berjumlah 50 orang.
Namun kemudian ditambah lagi hingga menjadi 100 orang.

Tanggal 7 Mei 1996, satu kompi pasukan batalyon Linud 330/Kostrad di bawah pimpinan Kapten Inf Agus Rochim ikut dikirim ke Timika untuk menambah kekuatan.
Mereka persiapan dan koordinasi sebelum akhirnya mulai bergerak ke Daerah Persiapan (DP) di Kenyam.
Kompi dibagi dalam beberapa tim.
Secara berangsur masing-masing tim dikirim ke daerah operasi.
Tim ini juga dipimpin oleh Kapten Agus Rochim.
Mereka berjalan menyusuri sungai Kilmik.
Namun akibat medan yang tidak tidak bisa lagi ditembus, akhirnya tim bermalam dan membuat bivak di pinggir sungai.

Keesokan harinya tim bergerak kembali ke posisi awal lalu berbelok ke arah kanan di cabang sungai Kilmik dengan harapan menemukan jejak para sandera di tempat baru.
Tim Pendawa bersenjata standar senapan serbu FNC, Steyr, Minimi tiga unit (tiap satu regu), serta GLM. Persenjataan yang sebenarnya lebih dari cukup untuk melawan GPK-OPM.
Tanggal 14 mereka bermalam lagi dan membiat bivak baru.
Malamnya briefing dilakukan oleh Komandan Kompi.
Diputuskan mulai tanggal 15 tim dibagi dua.
Separuh di bawah pimpinan Agus Rochim, separuh lagi di bawah pimpinan Sertu Pariki tinggal di Basis Operasi Depan (BOD).
Pukul 13.00 siang tim mendapat informasi dari jajaran Kopassus bahwa di situ terdapat banyak jejak.
Kompi Yonif Linud 330 Kostrad sebenarnya melakukan penyusuran di ring terluar, termasuk yang dilakukan oleh Tim Pendawa I.

Mereka menyusuri sungai mengingat lebatnya hutan yang masih perawan teramat sulit untuk ditembus.
Pukul 14.00 tim bergerak kembali ke pos di BOD. Pada saat itulah, mulai terdengar samar-samar suara orang dalam jarak tidak terlalu jauh.
Tim Pendawa segera merespon dengan melakuan penyisiran di sekitar lokasi yang dicurigai.
Satu setengah jam kemudian tepatnya pukul 15.30 ternyata ada seseorang berteriak, “Army!”
Rupanya, itulah teriakan Adinda Saraswati, salah satu anggota tim peneliti.
Sembilan orang peneliti turun dari tebing di pinggir sungai Kilmik.
Sersan Duha segera menyambut, dia orang pertama yang menyelamatkan Adinda, untuk kemudian diestafetkan ke prajurit lain untuk dievakuasi ke BOD.
Peristiwa itu terjadi tanggal 15 Mei 1996, tepat pukul 15.30 (atau 3.30 sore hari).
Sesuai tertulis dalam buku di atas, pada hari itu sekitar pukul 14.00 para sandera terus berjalan.
Setelah berjalan berputar-putar di antara kerapatan dan kelebatan pohon, tim peneliti mendapat perintah dari kelompok GPK-OPM untuk turun menuju sungai.
• Video Detik-detik Aksi 7 Prajurit Kostrad Selamatkan Penumpang Kapal Leuser yang Jatuh ke Laut Banda
• Pertempuran Jenderal TNI Asal Jambi Bersama Sniper Legendaris Kopassus, Kaget Lihat Jumlah Korban
• Intelijen Sadap Telepon di Rumah Letkol Susdaryanto, Ternyata Kerja Sama Agen Rahasia Rusia
Namun tak berapa lama terdengar deru helikopter. Tim peneliti menduga ABRI sudah mulai mendekat.
Tapi bagi GPK-OPM, kehadiran ABRI yang mereka sebut Sanbo itu, membuat kepanikan dan tak jarang mereka menjadi beringas.
Itu pula yang terjadi saat itu. Salah satu personel GPK-OPM bermata satu mendadak kalap dan mengayunkan kapak ke punggung Navy Panekanan.
Navy roboh diiringi teriakan histeris Adinda Saraswati. Para peneliti segera berlari menuruni lereng.
Tak lama setelah itu kelompok GPK-OPM yang lain dengan senjata kapak, parang, dan panah menyerang Matheis dengan senjata-senjata tajam itu.
Matheis hanya mampu berteriak, “toloong.. toloongg,”. Navy dan Matheis akhirnya gugur di tangan keganasan para GPK OPM.
Ikuti dan baca kisah-kisah pasukan elite TNI AD Kopassus di tribunjambi.com. (*)