Kasus Korupsi Auditorium UIN STS Jambi, John Simbolon Bantah Tanda Tangannya Ada di Berita Acara
Pernyataan ini disampaikan direktur utama PT Lambok Ulina (Lamna) pada sidang Senin (10/8/2020) di Pengadilan Tipikor Jambi dengan agenda pemeriksaan
Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - John Simbolon, terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan gedung Auditorium UIN STS Jambi mengaku tak tahu adanya adendum pada proyek tersebut.
Pernyataan ini disampaikan direktur utama PT Lambok Ulina (Lamna) pada sidang Senin (10/8/2020) di Pengadilan Tipikor Jambi dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Dalam persidangan, John Simbolon memberi keterangan lewat sambungan video online. Ia kini masih ditahan di Lapas Kelas IIA Jambi.
• Selama 2020 Sudah 23,35 Hektare Lahan Warga Merangin Terbakar
• Kabel Listrik Banyak Menempel di Dinding Rumah, Warga Peninjau Bungo Khawatir Terjadi Kebakaran
• Lagu Boy Plus Lirik, TREASURE Sudah Capai Sederet Pencapaian Prestisius, Ini Data dan Faktanya
"Saya tidak tahu soal adanya Adendum, termasuk pemutusan kontrak," katanya.
Ia menyebut perusahaannya pada proyek tersebut dipinjam pakaikan kepada Redo Setiawan yang kemudian ditunjuk sebagai kuasa direktur untuk mengikuti lelang.
Pinjam pakai perusahaan pada proyek pembangunan itu biasa terjadi saat ini. John juga membantah sejumlah tanda tangan yang tertera dalam berita acara.
Termasuk tanda tangannya pada berita acara pertemuan di Jakarta dengan terdakwa Hermantoni.
Ia juga membantah telah membubuhkan tanda tangan pada berita acara penandatanganan 11 Oktober 2018.
Yang isinya pihak PT Lamna yang pada intinya menyampaikan kesanggupan untuk menyelesaikan pekerjaan.
"Saya tidak pernah menandatangani berita acara manapun, kecuali yang ada tanda tangan pak Rentor waktu itu," katanya di persidangan.
Dipersidangan sebelumnya jaksa juga memeriksa terdakwa Hermantoni dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Persidangan di pimpin oleh Hakim Erika Sari Emsah Ginting selaku ketua majelis hakim, Hakim Adly dan Hakim Azwan Amir masing-masing sebagai hakim anggota.
Dalam perkara ini, negara dirugikan hingga Rp 12,8 miliar dari total anggaran Rp 35 miliar. Selama persidangan terungkap adanya laporan progres yang di naikkan dari 12 persen menjadi 30 persen untuk kepentingan pencairan.