Kebakaran Lahan di Tanjabbar

Merdeka dari Asap, Kisah Penjaga Gambut Melawan Karhutla dari Tahun ke Tahun

Apa lagi, sejak hadirnya perusahaan-perusahaan besar di sekitar mereka. Alih-alih menjadi tameng agar karhutla tidak terjadi, namun justru api semakin

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Setiap musim kemarau tiba, masyarakat yang hidup di kawasan lahan gambut di Provinsi Jambi terus dihantui potensi kebakaran hutan dan lahan.

Apa lagi, sejak hadirnya perusahaan-perusahaan besar di sekitar mereka. Alih-alih menjadi tameng agar karhutla tidak terjadi, namun justru api semakin besar.

Di Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi misalnya, masyarakat justru menjadi tersangka dari ganasnya kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 lalu.

12 Tahun Jadi TNI Gadungan, Terbongkar Saat Ketemu Tentara & Kagok saat Ditanya KTA dan NRP

BMKG Jambi Prediksi Bakal Terjadi Hujan Ringan Hari Ini dan Besok

Masyarakat Minta Polisi Segera Lakukan Reka Adegan Kasus KDRT Berujung Maut

Padahal, kata Asnawi, tokoh masyarakat Desa Seponjen, kalau pun mereka membakar untuk buka lahan, masyarakat punya cara agar kebakaran tidak meluas, yang mereka sebut memerun atau merun.

"Itu kami sekat, dibakar, baru diangkut pakai tangan, baru ditanam padi," katanya, dalam Mojok Tribun Jambi Edisi Merdeka dari Asap, Senin (3/8/2020).

Kegiatan itu, kata dia, tidak menimbulkan api yang besar dan cenderung terkendali, tidak seperti kebakaran yang melalap banyak kawasan hutan. Justru, sejak adanya perusahaan-perusahaan di sana, kebakaran semakin meluas. Belum lagi lahan masyarakat yang kering karena kurang air.

"Sebelum perusahaan masuk, belum ada api yang besar," ujarnya.

Hal sama juga diungkapkan Hamid, tokoh masyarakat Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kendati desa yang mereka tempati tidak begitu parah, tim masyarakat peduli api (MPA) di desa itu turut membantu menanggulangi desa tetangga.

"Tahun lalu, desa kami terbakar kena rembetan sekitar 2 hektare. Tapi kami juga ikut bantu ke desa-desa tetangga," kenangnya.

Dengan alasan itu juga, Sulaiman, aktivis Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMG-J) menilai, berkaca dari karhutla beberapa tahun terakhir--terbesar pada 2015 dan 2019--tuduhan petani sebagai faktor utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tidak seharusnya dan dianggap mengada-ada.

Sebab, petani lokal secara turun-temurun punya cara membuka lahan, yang kalau pun membakar, tidak terjadi secara luas.

Dia ambil contoh, September 2019 lalu, karhurla terjadi ketika petani sedang panen. Artinya, masa pembukaan lahan sudah lewat.

Dia menukas, kebakaran hutan justru tidak terjadi di wilayah kelola masyarakat, melainkan di wilayah hutan yang dibebani izin, seperti hutan tanaman industri (HTI).

"Masyarakat ini hanya terdampak, tapi selalu di-judge," selanya.

Hal itu karena wilayah kelola masyarakat berdampingan dengan perusahaan, sehingga imbasnya ke masyarakat.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved