Jambi Siaga Karhutla

Jambi Masih Terancam Karhutla, Pemerintah Corong Utama Pencegahan

Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menghantui Jambi. BPBD Provinsi Jambi mencatat lahan 129 hektar terbakar.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Teguh Suprayitno
Tribunjambi/Hasbi
Karhutla di Muarojambi beberapa waktu lalu 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menghantui Jambi. Walakin, hingga kini KKI Warsi belum menemukan titik panas yang terdapat di wilayah Provinsi Jambi.

"Terkait kebakaran hutan dan lahan, dalam 24 jam terakhir menurut pantauan LAPAN belum terpantau titik api," kata Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf, Kamis (25/6/2020).

Beberapa waktu lalu, katanya, Warsi mamantau melalui satelit terra aqua, sempat muncul titik api. Namun akibat hujan, titik api yang terpantau sudah padam kembali.

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi juga tidak menampik adanya potensi karhutla terjadi lagi tahun ini. Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rudiansyah menjelaskan, sepanjang bulan Juni, sejumlah titik panas (hotspot) mulai terpantau. Hanya saja, tingkat kepercayaan titik panas tersebut masih di bawah 80 persen.

DPRD Sarolangun Soroti Aliran Dana Penanganan Covid-19, Nilainya Sampai Puluhan Miliar

Gubernur Fachrori Resmikan Rumah Bayang Budidaya Anggrek di Muarojambi

Harga Bawang dan Cabai Turun, Daftar Harga Bahan Pokok di Jambi Hari Ini

"Sejauh ini, tingkat kepercayaan di atas 80 persen belum ter-detect. Ada terpantau titik api, tapi perlu dicek lagi di lapangan," terangnya, saat dikonfirmasi melalui sambungan seluler, Kamis (25/6/2020).

Berdasarkan informasi yang diperoleh Walhi dari satelit NOA dan NASA, selang kepercayaan (confidence level) hingga kini masih berkisar 50-80 persen. Artinya, masih perlu verifikasi lebih lanjut di lapangan, apakah hotspot itu disebabkan karhutla atau tidak.

Untuk diketahui, ada tiga klasifikasi peta satelit untuk penanganan karhutla. Jika confidence level berada di bawah 50 persen, masih dianggap perubahan temperatur yang disebabkan aktivitas di lapangan. Sedangkan tingkat kepercayaan 50-80 persen, masih perlu verifikasi. Selanjutnya, jika tingkat kepercayaan berada di atas 80 persen, perlu identifikasi lebih lanjut.

"Di sini artinya, perlu dicek lagi, apa benar karhutla, atau ada perubahan temperatur di lapangan. Misalnya, adanya aktivitas pabrik, peralatan-peralatan yang berpotensi terpantau sebagai hotspot, atau memang itu kebakaran," jelasnya.

Meski begitu, dia tidak merincikan lokasi dan jumlah titik panas yang terdeteksi. Selain itu, pihaknya juga belum mengecek secara langsung, mengingat intensitas hujan beberapa waktu terakhir masih terpantau sedang hingga tinggi.

Pemerintah Corong Pertama Pencegahan

Rudiansyah menjelaskan, berdasarkan perkiraan BMKG, intensitas hujan akan berkurang pada Juli, Agustus, dan September 2020.

Di lapangan, potensi kebakaran tetap ada, jika tidak ada pengendalian dari pemerintah. Belum lagi saat ini pemerintah juga disibukkan dengan penanganan pandemi Covid-19.

"Corong utama ada di tangan pemerintah. Penting melihat upaya pencegahan, karena ini salah satu yang pertama yang harus dilakukan," ulasnya.

Januari 2020 lalu, pemerintah sudah melakukan rapat dan menyiapkan tim satuan tugas guna penanganan karhutla tahun ini.

Sejauh ini yang sering menjadi keluhan adalah kurangnya infrastruktur untuk pengendalian bencana ini.

"Sejauh ini kita terbatas soal itu, SDM, peralatan, logistik, hingga pendanaan. Di situlah pentingnya peran pemerintah, bagaimana mengantisipasi ini sejak awal," ujar dia.

129 Hektare Lahan di Jambi Terbakar, Dua Kabupaten Tingkatkan Status Siaga Darurat Karhutla

Labor Uji Swab di Jambi Segera Beroperasi, Bisa Uji 80 Sampel Per Hari

TNI AL Palembang Tingkatkan Pengawasa Jalur Rawan Penyeludupan di Jambi

Wilayah yang rawan kebakaran, terang Rudiansyah, kebanyakan memiliki tata kelola yang buruk, terutama di lahan gambut. Belum lagi jika terdapat pabrik di sekitar lahan gambut tersebut.

Sementara itu, untuk masyarakat di lapangan, mereka mesti beradaptasi atau berupaya memitigasi karhutla, melalui model tradisional yang diterapkan sejak lama.

"Problem besarnya, upaya pemulihan itu tidak maksimal. Jika intensitas hujan tidak ada, el nino (dengan kondisi pengendalian yang tidak tepat), maka ada potensi kejadian 2015 atau 2019 bisa terulang," dia mewanti-wanti.
Namun begitu, KKI Warsi telah melakukan pendampingan intensif untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan, utamanya dikawasan gambut.

"Kita tahu, gambut sangat rawan mengalami kebakaran dan jika sudah terbakar akan sulit untuk dikendalikan. Upaya untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan melibatkan masyarakat langsung mengelola hutan," kata Rudi Syaf.

Di beberapa desa di sekitar hutan lindung gambut Kabupaten Tanjung Jabung Timur, misalnya, Warsi mendampingi masyarakat melalui skema perhutanan sosial. Dalam pendampingan ini, KKI Warsi membangun proses penyadaran dan upaya-upaya konkret dalam konteks mitigasi kebakaran lahan gambut. Penguatan Masyarakat Peduli Api (MPA), kelompok masyarakat yang dilatih untuk garda terdepan pencagahan dan pengendalian kebakaran di masing-masing desa dalam membangun penyadaran dan pengendalian kebakaran lahan gambut juga terus dilakukan.

Kata Rudi, Warsi mendukung kelompok ini dengan peningkatan kapasitas personel yang memadai, baik dalam konteks kemampuan teknis maupun kapasitas peralatan. "Kami juga berharap agar MPA bisa didukung secara memadai melalui dukungan dana desa, karena regulasi prioritas penggunaan dana desa sangat terbuka digunakan untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan," tandasnya.

Catatan Karhutla 2019

Mengulas kebakaran hutan tahun 2019, berdasarkan rilis Walhi Jambi, hingga Oktober 2019, kebakaran hutan dan lahan di Jambi terjadi disekitar 165.186,58 hektare. Sekitar 114.000 hektare yang terbakar adalah gambut.
Karhutla tahun lalu melumpuhkan sektor perekonomian. Selain itu, sekolah-sekolah di Provinsi Jambi juga terpaksa diliburkan. Lebih lanjut, sekitar 63.000 orang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

KKI Warsi justru mencatat dampak lebih banyak. Akhir 2019, KKI Warsi mencatat tutupan hutan di Jambi tersisa 900.713 hektare, berkurang 20.000 hektare dibanding 2017.

Selain itu, sepanjang 2019, terdeteksi 30.947 titik panas. Seluas 157.137 hektare hutan dan lahan di Jambi terbakar, menyebabkan kerugian lingkungan hingga mencapai Rp12 triliun.

Kerugian akibat dampak karhutla itu didominasi lahan gambut seluas 101.418 hektare, lebih parah dibanding tahun 2015 lalu seluas 90.363 hektare.

Mitigasi Karhutla Sejak Dini, Danrem 042/Gapu: Kita Sudah Berkoordinasi

VIDEO Amerika-China Memanas, AS Kerahkan Kekuatan Tempur Angkatan Laut di Asia Pasifik

Selain berpotensi terjadi di lahan gambut, kebakaran hutan dan lahan juga berpotensi terjadi di lahan mineral. Rudiansyah mengatakan, lahan gambut di Provinsi Jambi terdapat di tiga kabupaten.

"Dari tipologi secara wilayah, Jambi ini yang rentan terkait karhutla ada di tiga kabupaten, yaitu Muarojambi, Tanjabbar, dan Tanjabtim, itu untuk wilayah gambut," katanya.

Namun, dia tidak menutup kemungkinan karhutla juga terjadi di kawasan tanah mineral, seperti di Kabupaten Tebo. Sedangkan untuk kabupaten lain, menurutnya relatif. Potensi tetap ada, meski kemungkinan tidak separah di beberapa kabupaten di atas.(Tribunjambi.com/ Mareza Sutan A J)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved