Kisah Militer
Membongkar Cara Kerja Sniper Kopassus, Selama Ini Tak Pernah Terungkap 'Sadisnya' di Lapangan
Sosok ini merupakan prajurit legendaris di pasukan elite . Sang komandan lapangan kaget ketika menyadari aksi sniper Kopassus ini.
Membongkar Cara Kerja Sniper Kopassus, Selama Ini Tak Pernah Terungkap 'Sadisnya' di Lapangan
TRIBUNJAMBI.COM - Tatang Koswara seorang sniper Kopassus ditugaskan dalam sebuah misi penting.
Sosok ini merupakan prajurit legendaris di pasukan elite ini.
Sang komandan lapangan kaget ketika menyadari aksi sniper Kopassus ini.
• Kisah 19 Kopassus di Operasi Seroja 1975, Har, aku kena Tapi Bendera Merah Putih Tetap Dikerek
• Pramugari Garuda Terkejut Teroris Bersandar di Pundak, Aksi Kopassus Bebaskan Sandera Pesawat Woyla
• Bonyok-bonyok, Maling Masuk Rumah Pasukan Elite Bertopeng Tengkorak, Satu Tewas oleh Peluru Kopaska
Ketika berangkat ke lapangan, Tatang Koswara membawa 50 butir peluru.
Dari jumlah itu, 49 peluru mampu menewaskan musuh, sementara 1 peluru disisakan untuk dirinya sendiri.
Mengapa sengaja menyisakan 1 peluru?
Kopassus memiliki cerita tersendiri tentang sniper legendaris yang masuk catatan kelas dunia.
Kisah ini tentang Tatang Koswara, penembak runduk TNI AD, yang namanya masuk jajaran sniper kelas internasional.
Peltu (Purn) TNI Tatang Koswara, merupakan veteran perang Timor Timur.
Dalam buku yang ditulis Peter Brook Smith: Trining, Technique dan Weapons, Tatang Koswara merupakan penembak runduk TNI AD dengan rekor terbaik di dunia. Dia disejajarkan dengan sniper legendaris dunia. Misalnya Simo Hayha, Lyudmila Pavlichenko dan lainnya.

Dalam suatu misi tempur Tatang menjadi seorang sniper untuk memburu pimpinan tertinggi Fretilin, Nicalau Lobato. Kadang, operasi perburuan Lobato sampai menggunakan helikopter. Butuh perjuangan keras untuk memburu Lobato, karena tokoh nomor satu Fretilin itu dijaga secara berlapis.
Dalam pertempuran sengit untuk mengejar Lobato, Tatang bahkan tertembak di betis kaki kirinya. Tapi setelah membebat luka tembak dengan bendera merah putih seukuran sapu tangan yang selalu dibawanya, Tatang tetap melanjutkan pertempuran.
"Seorang sniper sejati sebenarnya yang bertempur hingga gugur di medan perang. Tapi saya bersyukur bisa selamat dari medan perang dan bisa pulang serta bercerita mengenai pengalaman tempur saya," tutur Tatang.
Ketika konflik bersenjata di Timor-Timur makin merugikan pasukan TNI, Tatang yang saat itu sudah selesai mengikuti pendidikan sniper dan kursus antiteror yang diselenggarakan personel pasukan Baret Hijau militer AS (Green Beret) di Pusat Pendidikan Kopassus Batu Jajar, Bandung, dengan hasil memuaskan benar-benar telah tercetak sebagai prajurit sniper yang siap tempur.
Namun, sebagai personel organik di satuannya, Tatang juga masih aktif bertugas di lingkungan Pussenif dan menjabat sebagai Bintara Komandan Peleton Komunikasi (Baton Tonkom) berpangkat Sersan Satu (Sertu).
Tugas utama Tatang di Pussenif adalah menguji persenjataan tempur ringan TNI AD setelah diperbaiki atau dikembangkan. Seperti senapan AK-47 dan G-3. Kadang Tatang menguji banyak senapan serbu dengan cara menembakkan ke sasaran sehingga melalui kesempatan uji senjata itu akurasi tembakan jitunya selalu terpelihara.
Saat tiba di Timor Timur pada 1977, Tatang membawa lengkap perlengkapan tempur sniper, Seperti pakaian kamlufase, senapan andalan Winchester M-70 yang sudah dilengkapi peredam, teleskop untuk keperluan tempur siang dan malam, peluru-peluru kaliber 7,62 mm yang dibuat khusus oleh AS, senapan serbu AK-47 sebagai wahana untuk melancarkan raid.
• Peristiwa 1999, Sniper Incar Kepala Kopassus Denjaka dan Satbravo Paskhas, Hujan Peluru di Saparua
• Berapa Biaya Mencetak 1 Pilot Tempur TNI AU? Kisah Pertempuran Paskhas Ini Beri Jawaban
Dia sudah gatal untuk segera bertempur bersama para sniper dari satuan Kopassus. Tapi, tugas awal Tatang, seperti diperintahkan Kolonel Edi Sudrajat, ternyata hanya mengawal Dansatgas Pamungkas itu yang dalam perannya sebagai Dansatgasus juga harus turun ke medan tempur.
Pengawalan Tatang terhadap Kolonel Edi pun bersifat pribadi. Dalam artian, jika Dansatgasus itu diserang musuh, Tatang harus siap sebagai tameng hidup dari terjangan peluru.
Tugas sebagai pengawal pribadi Dansatgasus itu lama-lama membuat Tatang kurang berperan maksimal sebagai seorang sniper yang baru lulus dari didikan Green Beret.
Apalagi sesuai dengan doktrin pendidikannya, seorang sniper bukan hanya bertugas melaksanakan pengawalan tapi harus mampu menembus wilayah musuh secara senyap untuk melaksanakan missi intelijen.
Selain itu, sniper yang berhasil memasuki jantung wilayah musuh tanpa terdeteksi juga bertugas menciptakan kekacuan dengan cara melumpuhkan sasaran terpilih, khususnya komandan tertinggi yang bertugas mengendalikan jalannya peperangan.
Minta izin bertempur
Demi bisa menjalankan fungsi sniper yang sesungguhnya di medan tempur, Tatang pun kemudian memberanikan diri untuk minta izin kepada Kolonel Edi untuk masuk ke medan tempur lawan dan ternyata diperbolehkan.
Tatang terjun dalam pertempuran di kawasan Lautem, Lospalos Utara, dan masih menghadapi perlawanan sengit dari Fretilin. Melalui taktik perang gerilya yang dterapkan di kawasan pegunungan dan pantai, pasukan TNI harus bertempur mati-matian untuk menghancurkan kekuatan Fretilin.
Tatang untuk pertama kali menembak mati targetnya yang bertempur menggunakan senapan otomatis, dalam pertempuran terbuka di Lautem.
Tembakan awal yang sempat mengguncang jiwanya, karena dia ternyata telah membunuh manusia.
Karena Tatang menyadari bahwa di medan perang seorang tentara hanya mengenal doktrin, dia kemudian sudah merasa biasa.
Satu di antara misi tempur Tatang yang menghasilkan kill hingga 49 korban adalah ketika Tatang bertempur untuk mengadang serangan pasukan Fretilin di kawasan Remexio (1977).
Medan tempur Remexio yang bergunung dan terletak di belakang kota Dili memang dikenal sebagai kuburan bagi pasukan TNI mengingat begitu banyak prajurit yang gugur.

Mengapa sisa 1 peluru
Sebelum berangkat ke medan perang di pegunungan Remexio, yang terletak sekitar 30 Km dari kota Dili, Tatang membekali diri dengan senapan Winchester M-70 berperedam suara lengkap dengan 50 butir peluru kaliber 7,62 mm berwarna putih.
Sesuai doktrin pelatihan sniper Green Beret, setiap sniper yang bertugas perang diperintahkan membawa 50 peluru. Sebanyak 49 peluru untuk musuh, sedangkan satu peluru yang tersisa untuk sniper-nya.
Melalui doktrin latihan sniper, Tatang ditekankan lebih baik seorang sniper mati bunuh diri daripada tertangkap musuh.
Prinsip menyediakan satu peluru untuk menembak dirinya sendiri, itu sebenarnya tidak asing di kalangan pasukan khusus.
Pasukan legiun asing Perancis misalnya, juga memerintahkan untuk menyisakan satu peluru untuk dirinya sendiri daripada menyerah lalu ditangkap musuh dan disiksa habis-habisan.
Pasukan Jepang pada PD II juga punya prinsip sisakan satu peluru untuk dirinya sendiri. Atau lebih ngeri lagi, sisakan satu granat untuk dirinya sendiri dan mati berkeping-keping berasma pasukan musuh yang mengelilingi.
Dengan missi tempur one way ticket itu, Tatang sudah paham apa yang harus dihadapi. Oleh karena itu ia sering membawa foto keluarga dengan alasan kalau harus gugur di medan tempur, ia merasa mati di tengah-tengah keluarganya.
Cara khusus sniper
Perangkat tempur lain yang dibawa Tatang adalah teropong siang dan malam, radio komunikasi, senapan serbu AK-47 untuk kepentingan bela diri, obat-obatan sekedarnya, makanan tahan lama untuk dua hari berupa geplak (tepung padat), pakaian kamuflase.
Tapi dalam missi di daerah paling rawan ini, Kolonel Edi menyertakan seorang pengawal dari Kopassus, Letnan Ginting yang membekali diri dengan senapan serbu AK-47 dan teleskop.
Mendapat pengawalan dari seorang prajurit yang masih muda dan hanya mengenakan pakaian tempur warna hijau loreng itu, Tatang justru merasa terganggu karena bukan merasa sedang mengawal tapi justru harus melindungi pengawalnya.
Dalam misi tempur seorang sniper berdasar didikan dari Green Beret, sniper memang perlu ditemani seorang spotter. Peran spotter atau observer bertugas sebagai patner yang juga berkemampauan sniper dan dilengkapi senapan penembak jitu.
Antara sniper dan spotter juga harus sering latihan bersama sehingga kerja sama di medan tempur lebih mudah, termasuk ketika harus berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Seorang spotter yang dibekali senapan serbu juga harus siap melaksanakan raid dalam kondisi terdesak sehingga dukungan tembakan yang dilancarkan spotter bisa memberikan kemungkinan partnernya selamat.
Baca: Asian Games 2018 - Agar Lolos ke-16 Besar, Timnas U-23 Indonesia Harus Menang dari Hong Kong
Dalam kondisi paling mendesak, spotter bahkan harus bersedia mengumpankan dirinya sebagai sasaran tembak sehingga rekannya bisa menjalankan tugasnya secara maksimal.
Secara psikologis Tatang juga terganggu karena pengawalnya berpangkat lebih tinggi (Perwira) sedangkan dirinya berpangkat Sertu (Bintara).
Tapi dalam missi tempur yang harus bertaruh nyawa itu, Tatang terpaksa memerintah dan mengatur strategi tempur karena pengalaman tempur Letnan Ginting masih minim, khususnya dalam taktik tempur sniper.
Menurut Tatang, jika penembak jitu sudah mulai memakan korbannya, rekan-rekan korban yang panik biasanya akan mencari lokasi sembunyi Sniper di tempat paling tinggi lalu menghujaninya dengan tembak mortir atau senapan mesin.
Jika kedua senjata berat itu tidak ada mereka juga akan memuntahkan peluru senapan serbunya secara membabi-buta.
Dalam jarak tembak radius 300 meter senapan serbu yang ditembakkan secara serempak bisa membabat semua sasaran secara telak dan mematikan. Sulit menghindari siraman peluru senapan serbu yang ditembakkan serentak secara merata oleh puluhan prajurit sekaligus.
Untuk menghindari akibat vatal itu, Tatang lalu mengajak Ginting bersembunyi di pinggir tebing curam yang dari sisi lokasi sangat tersembunyi dan tidak mungkin didatangi pasukan musuh.
Lokasi itu harus dicapai meskipun dengan susah payah karena banyak semak berduri dan kemungkinan ada ularnya.
"Di bawah" ancaman ular berbisa
Untuk bertemu ular, Tatang memang tidak masalah karena dirinya memiliki ilmu kebal semua bisa ular. Artinya ia bisa menyingkirkan ular itu dengan mudah tanpa harus membuat Ginting terganggu.
Setelah menemukan tempat yang dicari, Tatang pun menyiapkan senapan M-70-nya didampingi Ginting yang dari sisi teknik kamuflase kurang maksimal. Tatang hanya bisa berharap rekannya yang masih hijau itu tidak berbuat ceroboh, seperti menembak tanpa perintah, karena berbuat kecerobohan bisa berarti nyawa keduanya melayang.
Dalam situasi kritis itu Tatang memang terpaksa bertindak sebagai pengendali meskipun pangkat Ginting jauh lebih tinggi.
Penilaian Tatang ternyata tepat esok harinya posisi ketinggian yang disarankan Ginting untuk mengendap ternyata diperiksa patroli musuh yang jumlahnya puluhan.
Tak berapa lama kemudian ratusan pasukan Fretilin berkumpul di lokasi ketinggian itu dan tampaknya mereka sedang menyiapkan rencana untuk menyerbu pasukan TNI.
Jarak mereka hanya sekitar 50 meter dan jika ditembak para gerilayawan itu akibatnya sangat riskan, posisi Tatang dan Ginting pasti ketahuan.
Tatang terkejut menghadapi musuh yang jumlahya ratusan itu tapi tugas untuk menghambat musuh atau bahkan memukul mundur harus dilakukan.
Untuk memecah perhatian lawan Tatang lalu mengontak Kolonel Edi Sudrajat dengan radio agar pasukan TNI yang sedang berpatroli menyerang pasukan Fretilin itu dari sisi timur.
Tak berapa lama tembakan gencar pun meletus dari arah timur dan kelompak pasukan Fretilin di depan Tatang mulai pecah perhatiannya.
Tatang lalu melakukan penilaian apakah tembakan senyap yang dilancarkannya aman bagi diri dan sekaligus pengawalnya.
Untuk menghindari malapetaka Tatang yang sudah memasang peredam memerintahkan Ginting agar tidak melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terdesak karena suara tembakan akan memberi tahu posisi mereka.
Setelah melakukan perhitungan cermat bahwa musuh sudah berada di atas 300 meter jaraknya, Tatang pun mulai membidik dan satu persatu menjatuhkan musuh potensial khususnya yang memegang senjata otomatis.
Tembakan jitu Tatang yang semuanya menghantam kepala musuh langsung menimbulkan suasana kacau musuh yang berada pada jarak tembak 300 hingga 600 meter itu. Musuh berusaha melepaskan tembakan balasan secara membabi-buta dan serentak tapi tidak pernah menyasar ke tempat Tatang dan pengawalnya bersembunyi.

Apalagi jarak antara Tatang dan Ginting dengan para gerilyawan di atas 300 meter sehingga akurasi lesatan arah peluru senapan serbu sudah tidak maksimal lagi.
Sang kolonel baru sadar
Atasan Tatang akhirnya baru sadar akan kemampuan Tatang ketika dalam jarak antara 300-900 meter, Tatang berhasil menumbangkan sasaran terpilih dengan tembakan jitu di kepalanya.
Diam-diam Letnan Ginting meneropong sekaligus menghitung sasaran yang berhasil dijatuhkan Tatang dalam misi tempur di Remexio. Sedikitnya 49 musuh berhasil dirobohkan.
Dia juga menyaksikan bagaimana komandan musuh yang sedang naik kuda dan sibuk memerintah tiba-tiba terjatuh akibat tembakan jitu Tatang yang tepat menghantam bagian kepala .
Kekacauan komando pasukan musuh langsung terlihat akibat tewasnya sang komandan. Beberapa gerilyawan Fretilin menembakkan senjata secara membabi buta ke berbagai arah.
Seorang personel pembawa radio yang sedang berusaha melakukan komunikasi terpaksa ditembak Tatang di bagian dada karena jarak tembaknya sudah sekitar 900 meter.
Pelurunya menembus dada sekaligus merusakkan komunikasi yang dibawanya. Letnan Ginting hanya bisa geleng-geleng kepala melihat aksi tempur Tatang dengan mata kepalanya sendiri itu.
Hasilnya, hari itu misi tempur sukses karena musuh melarikan diri. Dari 50 butir peluru yang dibawa Tatang tinggal satu butir peluru yang tetap dibawanya kembali menuju ke markas.
Dalam setiap tugas pengendapan Tatang ternyata tak pernah membawa buku catatan yang biasa digunakan para sniper untuk mencatat jumlah kill. Tatang bahkan tidak begitu peduli terhadap jumlah musuh yang telah dirobohkannya.
Tapi diam-diam Ginting menghitungnya dan sekaligus menjadi saksi betapa piawainya Tatang saat itu bertempur sebagai sniper.
Kekaguman Letnan Ginting akan kemampuan menembak jitu Tatang kemudian dilaporkan kepada Kolonel Adi Sudrajat dan tercatat secara resmi sebagai confirmed kills.
Kolonel Edi Sudrajat yang selanjutnya mengetahui tentang kepiawaian Tatang hanya bisa berkomentar, ‘’Kamu benar-benar gila!’’
Berdasar bahan tercatat inilah ketika seorang penulis buku Sniper asal AS, Peter Brookesmith. Lewat bukunya bertajuk Sniper : Training, Techniques and Wapons, ST Martin Press, New York, tahun 2000 memasukan prestasi Tatang sebagai sniper kelas dunia dengan confirmed kills sebanyak 41.
Jumlah kills 41 yang dicatat Peter sebenarnya jauh dari hitungan sebenarnya karena Tatang sendiri dalam missi tempurnya di Timor Timur mengaku telah menumbangkan sasarannya lebih dari 100 orang.
‘’Hampir semua musuh bersenjata yang saya tembak kena di kepala. Semua sniper memang didoktrin untuk menembak musuh di bagian kepala karena langsung membuat korbannya mati tanpa merasakan apa-pa. Bahkan sama sekali tidak tahu siapa yang telah membunuhnya, ‘’ jelas Tatang.
Serangan jantung
Tatang Koswara wafat pada 3 Maret 2015 akibat serangan jantung. Para rekan seperjuangannya yang melayat semua terkejut atas sikap Pak Tatang yang tidak mau mengurus sertifikat veteran Perang Timor-Timur mengingat pemerintah memberikan tunjangan veteran sekitar dua juta rupiah tiap bulannya.
Kepada penulis, Tatang memang selalu menekankan bahwa perjuangannya dalam perang di Timor Timur adalah demi tegaknya NKRI dan bukan untuk mencari pangkat dan penghargaan.
‘’Kebetulan tugas saya adalah sebagai seorang sniper yang telah dilatih oleh negara, ya, saya harus bertempur seperti seorang sniper profesional. Bertempur dengan cara menyusup di garis belakang musuh, di jantung lawan untuk membuat kekacauan,’’ tegas Pak Tatang,
‘’Pengalaman tempur sebagai seorang sniper ini harus saya tularkan ke prajurit sniper TNI berikutnya sehingga akan bermanfaat dalam pertempuran. Selamat dalam peperangan, bisa pulang dan bercerita mengenai kisah tempurnya ’’ tambahnya.
Tatang memang telah hampir tiga tahun meninggal dan dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahnya, karena ingin selalu dekat dengan keluarganya.
Tulisan diambil dari karya Agustinus Winardi, penulis buku Satu Peluru Satu Musuh Jatuh, Tatang Koswara Sniper TNI Kelas Dunia, Penerbit Buku Kompas, 2015.
Baca kisah-kisah Kopassus dan pasukan elite TNI di Tribunjambi.com. (*)
• Peristiwa 1964 Kopassus vs Marinir di Lapangan Banteng, Jakarta Mencekam Gara-gara Salah Paham
• Kenyataan Pahit 1958, RPKAD Harus Tempur Habis-habisan Lawan Teman Sendiri yang Membelot
• Mayat Pasukan Elite Inggris Dikubur di Hutan Kalimantan, Pertempuran Tak Terduga Kopassus 1964