Sejarah Indonesia
Berbeda Sekali dengan Soeharto, Begini Kondisi Jenazah 7 Jenderal Korban PKI Menurut Tim Forensik
Berbeda Sekali dengan Soeharto, Begini Kondisi Jenazah 7 Jenderal Korban PKI Menurut Tim Forensik
5. Mayor Jenderal Pandjaitan
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah seorang pria yang lahir di Sumatera Utara pada 19 Juni 1925.
Jenderal Pandjaitan bersama para pemuda anak bangsa lainnya adalah sosok yang merintis pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Diketahui bahwa TKR merupakan cikal bakal TNI saat ini.
Pada saat rumahnya didatangi oleh kawanan anggota OKI, Jenderal Pandjaitan masih menggunakan seragam militer lengkap.
Saat para anggota OKI membunuh pelayan serta ajudannya ia lalu menantang para pemberontak tersebut.
Setelah Jenderal Pandjaitan menantang para pemberontak, tembakan dengan cepat menghujam badannya.
Jenazah Jenderal Pandjaitan oleh para pemberontak pun dibawa ke Lubang Buaya untuk dibuang.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo diketahui lahir di Kebumen pada 23 Agustus 1922.
Sama seperti jendaral yang lain beliau juga diculik di rumahnya serta dibunuh di Lubang Buaya.
Pada awalnya para penculik itu mengaku bahwa Mayor Jendral Sutoyo dipanggil oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno.
Namun pernyataan para penculik itu tidak lah benar mereka berbohong kepada Mayor Jendral Sutoyo.
7. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo lahir di Sragen pada 5 Februari 1923.
Berbeda dengan korban lainya pada saat persitiwa berdarah itu terjadi Brigjen Katamso sedang bertugas di Yogyakarta.
Brigjen Katamso kemudian diculik oleh para anggota PKI dan dipukuli tubuhnya dengan mortar motor.
Jasadnya lalu dimasukkan ke lubang yang sudah disiapkan anggota PKI.
Kejadian tersebut diketahui terjadi di kawasan Kentungan, Yogyakarata.
Selain tujuh jenderal TNI di, PKI juga telah membunuh sejumlah anggota TNI dan Polri lainnya.
Anggota yang gugur adalah AIP Karel Satsuit Tubun, Kapten Pierre Tendean, dan Kolonel Sugiono.
Diketahui bahwa putri Jenderal TNI AH Nasution, Ade Irma Suryani Nasution juga menghembuskan napas terakhir karena ditembak PKI saat malam peristiwa G30S/PKI.
Sedangkan Jenderal TNI AH Nasution berhasil lolos dalam persitiwa tersebut.
Soekarno Bersedih

Gugurnya tujuh jenderal TNI saat gerakan 30 September alias G30S/PKI membuat presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menjadi bersedih.
Kesedihan Presiden Soekarno atas gugurnya tujuh jenderal TNI korban G30S/PKI diungkap dalam buku bertajuk 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno', Penerbit Buku Kompas 2014.
Maulwi yang merupakan pengawal pribadi Bung Karno, mengatakan kalau presiden Soekarno sangat sedih sekali atas nasib yang menimpa para jenderal TNI yang diculik.
“Presiden sedih sekali atas nasib para jenderal yang diculik, khususnya Jenderal Ahmad Yani, jenderal yang amat disayanginya. Karena nasib para jenderal dan seorang perwira pertama belum diketahui, Presiden memerintahkan saya untuk mencari tahu nasib mereka." tulis Maulwi dalam bukunya.
Pada 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut Gerakan 30 September.
Tindakan Bung Karno itu merupakan langkah standar karena dirinya adalah selaku Panglima Tertinggi ABRI.
“Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi yang menjabat sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan Wakil Komandan pasukan Tjakrabirawa.
Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.
Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.
Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.
“Saya sampaikan maksud kedatangan saya” kata Maulwi.
“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”
Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.
Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang didekatnya terdapat sebuah pohon besar.
Dilakukan pencarian di sekitarnya dan ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, tetapi terlihat tanda mencurigakan seperti baru dipakai.
Di tempat itu, tumpukan dedaunan dikorek-korek dan terlihat permukaan sebuah sumur tua.
Karena tidak memiliki peralatan untuk menggali tanah, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk menggali sumur itu.
Tak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor C.I. Santoso dengan membawa agen polisi Sukitman sebagai petunjuk jalan, dan ikut pula ajudan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.
“Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut,” kata Maulwi, “penggalian dilanjutkan.”
Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur itu hanya pas untuk satu orang, proses penggalian memakan waktu lama.
Hari mulai gelap, belum ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Generator milik Tjakrabirawa dihidupkan untuk menerangi proses penggalian.
Lewat tengah malam mulai tercium bau tak sedap.
Setelah penggalian cukup dalam dan terus digali, akhirnya ditemukan sebuah tangan.
Penggalian dihentikan sementara karena orang-orang tidak tahan dengan bau yang keluar dari sumur.
Setelah berunding dengan C.I. Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu kepada Pangkostrad Mayjen Jenderal Soeharto guna instruksi selanjutnya.
Dan, untuk penggalian selanjutnya, diperlukan tenaga dan peralatan khusus misalnya masker dan tabung oksigen seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.
Saat itu sudah pukul 03.00.
“Rombongan saya pulang untuk Salat Subuh dan istirahat karena mulai merasa flu,” kata Maulwi.
“Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santoso, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, untuk menggantikan dan mewakili saya. Jadi, tidak benar sama sekali, berita yang mengatakan bahwa Presiden Soekarno mengetahui peristiwa penculikan G30S itu. Dan, tidak pernah ada perintah Presiden kepada kami untuk menghilangkan jejak para jenderal yang diculik.” (sumber Tribunjakarta dan warta kota)
Baca: Segini Biaya Membuat Nopol Cantik, Simak Cara Buat dan Syarat Bikin Pelat Nomor Cantik Kendaraanmu
Baca: Rekam Rekan Kerja Mandi, Karyawan Geprek Bensu Dilaporkan Lalu Langsung Diringkus Polisi
Baca: Cuma Karena Komunikasi Terputus, Pria Ini Tega Bakar Mantan Kekasih yang Dipacari Selama 6,5 Tahun
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Beda dengan Soeharto, Begini Kondisi Jenazah 7 Jenderal Korban PKI Menurut Tim Forensik
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:
NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE: