Pilpres 2019
BW: Berapa Buku yang Dikarang? Edward Omar Sharif Hiariej, Kalau Disebutkan Semua Sidang ini Selesai
Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis oleh Eddy terkait persoalan pemilu.
BW: Berapa Buku yang Dikarang? Edward Omar Sharif Hiariej, Kalau Saya Sebutkan Semua Nanti Sidang ini Selesai
TRIBUNJAMBI.COM - Guru Besar Ilmu Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej dihadirkan sebagai ahli dalam kasus sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Kedatangan Guru Besar Ilmu Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej sebagai saksi ini sempat dipertanyakan oleh Ketua tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto.
Bambang mempertanyakan kredibilitas dari Edward Omar Sharif Hiariej, Bambang sempat mempertanyakan berapa jurnal internasional dan buku yang telah ditulis oleh Edward Omar Sharif Hiariej.
Merasa kredibilitasnya dipertanyakan Edward Omar Sharif Hiariej pun memberi jawaban kepada Bambang Widjojanto.
Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, mempertanyakan kredibilitas Guru Besar Ilmu Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej dalam memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi ( MK).
Ahli hukum yang akrab disapa Eddy itu diajukan sebagi ahli oleh Tim Kuasa Hukum Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis oleh Eddy terkait persoalan pemilu.
Baca: Kubu Prabowo-Sandiaga Tinggal PKS dan Gerindra, TKN Sebut Demokrat dan PAN Bakal Gabung Jokowi?
Baca: Siapa Sebenarnya Eddy Hiariej Ahli dari Kubu 01 yang Pernah Bersaksi untuk Jessica Kopi Sianida
"Tunjukkan pada kami bahwa Anda benar-benar ahli.
Bukan ahli pembuktian, tetapi khusus pembuktian yang kaitannya dengan pemilu," kata dia.
Awalnya, Bambang menuturkan bagaimana ahli IT yang ia ajukan, Jaswar Koto, dipertanyakan kredibilitasnya oleh Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf.

Padahal, kata Bambang, Jaswar Koto telah menghasilkan 22 buku dan ratusan jurnal terkait teknologi informasi.
"Ahli kami kemarin ditanya dan agak setengah ditelanjangi oleh kolega kami dari pihak terkait, 'apakah Anda pantas jadi ahli?' Ahli kami itu punya 22 buku yang dihasilkan, ratusan jurnal yang dikemukakan dan dia ahli untuk finger print dan iris. Dipertanyakan keahliannya," kata Bambang.
Lantas, Bambang meminta Eddy memberikan buku-buku dan jurnal yang ia tulis terkait masalah pemilu.
Sebab, menurut Bambang, Eddy merupakan ahli hukum tapi tidak pernah menulis atau menelaah persoalan kecurangan dalam pemilu.
"Berikan kami jurnal-jurnal internasional, sudah berapa banyak yang khusus mendiskusikan masalah ini dan berapa buku yang anda punya sehingga pantas disebut sebagai ahli," kata Bambang.
"Kalau itu sudah dilakukan maka kami akan menakar anda ahli yang top. Jangan sampai ahlinya di A ngomongnya B, tapi tetap ngomong ahli," ucapnya.
Sementara itu, Eddy hanya bertopang dagu menggunakan tangan kanannya saat Bambang mempertanyakan soal kredibilitasnya sebagai ahli dalam sengketa hasil pilpres.
Setelah itu, giliran rekan Bambang, Teuku Nasrullah, menyindir ahli hukum pidana Eddy.
Nasrullah menyebut, sebagai kuasa hukum terselubung Jokowi-Ma'ruf.
Nasrullah bahkan sengaja tidak memberi pertanyaan apapun untuk memberi julukan itu.
Baca: Ditakuti Mafia Ilegal Fishing,Susi Pudjiastuti Pernah Digoda Rp 5 Triliun untuk Lakukan Hal Gila Ini
Baca: Cara Menghubungi Nomor WhatsApp yang Telah Memblokir Nomor Hapemu, Ikuti Dua Langkah Mudah Ini
Baca: Istri Mati Keracunan Saat Bersama Jessica Kumala Wongso, Ini Kabar Terbaru Suami Wayan Mirna Salihin
"Saya tidak mengajukan pernyataan apapun dari kuasa hukum terselubung paslon 01 ini," ujar Nasrullah dalam sidang sengketa pilpres, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat (21/6/2019).
Nasrullah beralasan, materi yang disampaikan oleh Eddy dalam persidangan lebih mirip eksepsi dan pleidoi.
Karena itu, menurut Nasrullah, Eddy sudah bisa duduk di jajaran kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf dalam persidangan itu.
"Saya tidak marah meski menguliti satu per satu gugatan kami seperti isi pledoi," kata Nasrullah.
Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.
Namun, ia menekankan seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum.

"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya," ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil pilpres di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat(21/6/2019).
"Tapi yang harus pertama harus dikuasai itu adalah asas dan teori. Karena dengan asas dan teori itu dia bisa menjawab semua persoalan hukum.
Kendati memang saya belum pernah menulis secara spesifik soal pemilu," ucapnya.
Eddy mengatakan, merujuk pada dua buku soal pembuktian, maka kualifikasi menentukan seseorang dapat dikatakan ahli atau tidak.
Kategori kualifikasi dibagi lagi menjadi dua aspek, yakni berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari bangku pendidikan yang resmi.
"Ketika bicara TSM (kecurangan terstruktur, sistematis dan masif), saya menulis buku soal pelanggaran HAM, pengantar hukum pidana internasional dan kalau melihat yang saya ungkapkan dalam keterangan ahli, saya lebih banyak mengutip persolan hukum pembuktian," kata Eddy.
Kemudian Eddy juga menjawab jumlah buku yang telah ia tulis.
Ia meminta Bambang melihat daftar buku dalam dokumen CV yang ia serahkan ke MK.
Baca: Bintang Film Dewasa yang Legend Satu Ini, Kakek Sugiono Juga Dijadikan Bahan Hoaks di Pilpres 2019
Baca: Seandainya Kubu Jokowi-Maruf Menang Sidang MK, Ini yang Bakal Dilakukan Kuasa Hukum Prabowo-Sandi
Baca: Terungkap Strategi Yusril Ihza Mahendra Serahkan Surat Cuti Jokowi Jelang Sidang Tutup
Baca: Turun Gila-Gilaan, Harga Tiket Pesawat Lion Air Diskon Hingga 50 Persen, Lihat Rutenya Di Sini
"Kalau saudara tanya sudah berapa buku, saya kira tadi sudah melampirkan CV. Ada berapa buku, ada berapa jurnal internasional. Silakan. Nanti bisa diperiksa," tutur dia.
"Kalau saya sebutkan mulai dari poin satu sampai poin 200 nanti sidang ini selesai.
Jadi bukan persoalan kualifikasi saya," ujar Eddy.
Eddy juga menjawab keluhan Bambang yang merasa waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi ( MK) untuk menyelesaikan masalah sengketa pilpres terlalu singkat.
"Soal 15 saksi dalam satu hari, memang make sense juga, terstruktur, sistematis dan masif kok speedy trial? Tapi kodifikasi undang-undang pemilu kita memang sudah mengatur itu," ujar Eddy.
Menurut Eddy, Undang-Undang tentang Pemilu memang sudah mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dugaan pelanggaran yang ditangani Bawaslu juga mencakup pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif.
Sementara, undang-undang juga mengatur bahwa penetapan hasil perolehan suara dalam pemilihan umum dapat digugat di Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, kewenangan MK hanya sebatas mengenai hasil perolehan suara.
Selain itu, singkatnya waktu pembuktian di MK memang diatur singkat.
Kualitas pembuktian yang utama tidak ditentukan melalui pemeriksaan saksi-saksi.
Menurut Eddy, MK mencari kebenaran formal melalui hierarki bukti-bukti yang dibawa oleh para pihak yang terkait.
Eddy mengutip apa yang dikatakan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengenai hierarki alat bukti.
"Seperti yang diterangkan Hakim Suhartoyo, keterangan saksi itu nomor tiga.
Yang pertama itu surat-surat, karena alat bukti yang terutama," kata Eddy.
Eddy juga menyinggung tidak adanya bukti P.155 yang sempat ditanyakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
''Maka begitu dokumen P.155 tidak ada, yah selesai,''ujar Eddy.
Doktor Hukum Pidana Termuda
Melansir hukumonline, Eddy merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta, kelahiran Ambon, 10 April 1973.
Ia meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia yang terbilang masih muda.
Sebagai perbandingan, bila Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun, Eddy mendapatkan gelar profesornya di usia 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Saat SK guru besar saya turun, 1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36,” tuturnya.
Sukses Eddy meraih gelar profesor di usia muda tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain.
“Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di Prancis. 2001 saya sempat di Prancis 3 bulan. Di Strasbourg. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’,” ujar Eddy.
Setelah mendapat persetujuan menulis, Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM periode 2002 – 2007, menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008.
Disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM).
Kurang dari setahun, Eddy pun siap menghadapi ujian terbuka dengan promotor Prof. Marsudi Triatmodjo – sebab Prof. Sugeng sudah meninggal terlebih dulu – dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo. “Jadi saya terdaftar sebagai mahasiswa doktor itu 7 Februari 2007, saya dinyatakan sebagai doktor 27 Februari 2009,” kenang Eddy.
“2 tahun 20 hari. Dan memang Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan,” imbuhnya.
Bersaksi di Kasus Ahok
Eddy juga pernah dihadirkan penasehat hukum dari Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada persidangan kasus dugaan penodaan agama yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (14/3/2017).
Ahok merupakan terdakwa dalam kasus tersebut.
Jaksa sempat berdebat dengan tim kuasa hukum Ahok dan menolak kesaksian Eddy.
"Itu ada ceritanya tersendiri kenapa Prof Eddy ini tidak kami ajukan (pertanyaan). Di penolakan, saya mengatakan, ada sesuatu yang tidak etis," kata Ketua JPU Ali Mukartono, di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, tempat sidang itu digelar.
Ali mengatakan, Eddy sempat menghubungi jaksa dan menyatakan bahwa dirinya akan diajukan sebagai saksi ahli oleh penasehat hukum jika jaksa tak menghadirkannya sebagai ahli.
Jaksa sendiri sudah berniat akan mengajukan Eddy sebagai saksi ahli hukum pidana.
"Asumsi saya terjadi hubungan antara penasehat hukum dengan yang bersangkutan. Padahal yang bersangkutan tahu bahwa dia menjadi ahli, itu yang mengajukan penyidik, bukan penasehat hukum," kata Ali. Menurut Ali, seharusnya Eddy menunggu panggilan untuk dihadirkan dalam persidangan.
Namun majelis hakim akhirnya mengizinkan Eddy untuk menyampaikan kesaksiannya.
"Kami keberatan bukan masalah keterangannya, keterangannya sih masih sama dengan BAP (berita acara pemeriksaan) dan netral.
Hanya ada sikap yang kurang etis, (penasehat hukum) menghubungi ahli dari pihak penyidik," kata Ali.
Strategi Yusril Ihza Mahendra Serahkan Surat Cuti Jokowi Jelang Sidang Tutup, Putusan Hakim 28 Juni
Artikel ini dikompilasi dari Kompas.com "Kuasa Hukum 02 Sindir Ahli 01 sebagai Pengacara Terselubung", "Kepada Ahli, BW Tanya "Sudah Tulis Berapa Buku Terkait Pemilu?"","Dipertanyakan Kredibilitasnya sebagai Ahli oleh BW, Ini Respons Guru Besar UGM", "Jawaban Ahli 01 soal Waktu Singkat yang Dikeluhkan Bambang Widjojanto", ''Eddy Hiariej Jadi Saksi Ahli Ahok, Jaksa Emoh Ajukan Pertanyaan"
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id