Pemilu 2019
Prabowo Subianto Gugat ke MK, Yusril Ihza Mahendra: Saya Pun Ingin Dengar Gugatan Prabowo-Sandi
Paslon Prabowo - Sandiaga Uno menilai KPU curang dan menyatakan akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
J: Kalau mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi ya saya enggak bisa mengatakan kecil atau besar. Itu tergantung dari para pengacara Pabowo-Sandi. Saya pun ingin mendengar dan melihat juga seperti apa mereka membuktikannya, jadi saya enggak bisa apriori ya.
Bisa saja, saya mengatakan mungkin membuktikan 10 orang lebih sulit daripada membuktikan 10 juta, tergantung dari alat bukti yang mereka (Prabowo-Sandi) punya.
Kalau misal mereka katakan punya plano, punya C1, artinya ada berapa banyak C1? Ada berapa banyak plano? Tentu yang harus dibawa adalah bukti yang asli, bukan foto kopi bukan yang hasil rekaman video, bukan dipotong.
Jadi kalau misalnya ada 11 juta orang yang ternyata di dalam C1, tidak begitu berarti 11 juta ada di berapa TPS. Misal, ada di 100 ribu TPS, maka ya C1 dari 100 ribu TPS itu yang harus di bawa ke MK. Berat memang.
T: Apakah Anda hendak mengatakan, hasil pemilu 2019 tidak signifikan berubah walaupun dibawa ke MK?
J: Ya memang saya kira sebagai advokat profesional, berat dan pasti tidak mudah untuk membuktikannya ya. Tapi kita menghargai itu, upaya konstitusional yang harus ditempuh.
T: Dilihat-lihat sejak pemilu lalu-lalu, permohonan ditolak MK. Sebenarnya pembuktikannya sengketa pemilu (Pilpres/Pilkada) seperti apa?
J: Iya, karena kan di MK itu bukan mengadili terstruktur, sistematis, masif (TSM). Ada pelanggaran atau kecurangan secara terstruktur, sistematik dan masif. Tidak. Itu kewenangannya bawaslu.
Di Mahkamah Konstitusi ini hanya mengadili sengketa hasil. Jadi dapat berapa? Lawan dapat berapa? Misal, saya diumumkan oleh KPU, kok cuman dapat seribu padahal saya ada 1.500. Anda buktikan kalau Anda punya 1.500. Kira-kira seperti itu. Jadi perkaranya simpel. Tapi membuktiannya berat sekali.
Saya selalu menangani perkara-perkara Pilkada sebagai suatu perbandingan, katakanlah disebut kabupaten ataupun yang kecil penduduknya yang 100.000 orang. Ketika terjadi sengketa pilkada, pembuktiannya itu bukan main sulitnya.
Jadi paling-paling kita bisa mengatakan coba mohon diadakan pemungutan suara ulang misalnya di 10 TPS. Itu saja ketika diadakan pemungutan suara ulang kemudian hasilnya tetap tidak menang.
Hakim juga akan bertanya, ini mengklaim kecurangan di 10 TPS. Berapa jumlah 10 TPS itu pemilihnya? Misalnya, 4.000 artinya 1 TPS ada 400 orang. Kekalahan Anda berapa? 10.000. Andai kata diadakan pemungutan suara ulang di tempat itu, 100 persen memilih anda, apakah akan mengubah siapa yang menang siapa yang kalah?
Tentu dia akan jujur mengatakan tidak akan mengubah. Hakim akan mengatakan kalau begitu tidak perlu dilanjutkan perkaranya. (Tribunnews)