22 Juni 1966, Ketika Jabatan Presiden Soekarno Dicopot, Pidato Pembelaan Nawaksara yang Ditolak

Soekarno saat itu meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta setelah mendapat laporan adanya pasukan liar yang bergerak di luar Istana.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Soeharto dan Soekarno 

TRIBUNJAMBI.COM - Gejolak aksi mahasiswa pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 cukup menggoyang pemerintahan.

Soekarno yang mestinya memimpin rapat kabinet di Istana Merdeka pada 11 Maret 1966 harus segera pergi meninggalkan tempat.

Soekarno saat itu meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta setelah mendapat laporan adanya pasukan liar yang bergerak di luar Istana.

Setelah itu, tiga jenderal mendatangi Soekarno di Istana Bogor, yaitu Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.

Pertemuan itu kemudian menghasilkan surat mandat yang diberikan Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Baca: Miliki Data TKA Berbeda dengan Kantor Imigrasi Jambi, Begini Penjelasan Disnakertrans Muarojambi

Baca: 20 Persen Lebih Pejabat Bungo Belum Laporkan Harta Kekayaannya

Bermodalkan Supersemar, Soeharto tidak hanya memulihkan keamanan, tetapi juga secara perlahan mengambil alih kepemimpinan nasional.

Soekarno sempat menyikapinya dengan mengeluarkan pidato pembelaan yang dikenal dengan "Nawaksara".

Namun, MPRS menolak pidato pertanggungjawaban itu.

Soekarno pun diberhentikan sebagai Presiden pada 22 Juni 1966 dalam Sidang Umum ke-IV MPRS. Soeharto kemudian ditunjuk sebagai "pejabat presiden" setahun kemudian, yaitu pada Maret 1967.

Penunjukan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.

Posisi ini diemban Soeharto sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilihan umum.

Baca: Sah, Zainul Arfan Resmi Jadi Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi Gantikan Chumaidi Zaidi

Baca: Ketika Kopassus di Suhu Ekstrim Malah Bikin Pasukan Khusus Korea Selatan Tercengang dan Kagum

Soeharto jadi presiden

Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, 1966. (Ade Sulaeman)
Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, 1966. (Ade Sulaeman) ()

Selama menjadi pejabat presiden, Soeharto melakukan sejumlah perubahan terutama rencana pembangunan. Berbagai sektor mulai dibenahi dan mengubah sistem yang ada pada era Soekarno.

Mendekati pemilihan umum pada 1971, perbincangan hangat mengenai penunjukan Soeharto menjadi presiden penuh akhirnya muncul. MPRS melakukan sidang untuk meresmikan kepemimpinan Soeharto.

Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 23 Maret 1968, pada musyawarah pleno ke-IV MPRS, beberapa pihak menyuarakan pendapatnya untuk mengangkat Soeharto menjadi presiden secara penuh.

Mereka adalah perwakilan dari masing-masing partai dan wilayah di Indonesia.

Tentunya, pengangkatan Soeharto jadi presiden harus disertai upaya menghilangkan nama S dalam MPRS, jadi MPR.

Akhirnya, terjadilah kesepakatan bersama pada 26 Maret 1968, Soeharto dinyatakan sebagai presiden penuh untuk memimpin Indonesia.

Adapun, mekanisme yang dilakukan MPRS adalah dengan menyiapkan segala sesuatu terkait pelantikan Soeharto.

MPRS juga menyiapkan rancangan ketetapan baru untuk menjamin lancarnya pelantikan tersebut.

Baca: Zani Menangis Ketika Dengar Jaksa Menuntut 7 Tahun Penjara, Ingat Istri dan Dua Anaknya

Baca: Mengetahui Baret Kebanggan TNI, Beda Warna Beda Arti, Kalau Miring Kanan Jangan Coba-coba Mendekat

Soeharto dilantik Presiden

Soekarno dan Soeharto.
Soekarno dan Soeharto. ()

Soeharto saat dilantik/disumpah menjadi Presiden.(Hendranto, Pat) Sehari kemudian, Soeharto dilantik menjadi presiden ke-2 RI secara penuh.

Status pejabat presiden yang melekat padanya seketika berganti menjadi presiden. Pada 27 Maret 1968, Soeharto menyampaikan pidato perdananya sebagai presiden ke-2 RI.

Harian Kompas yang terbit pada 29 Maret 1968 menjelaskan, Soeharto dalam pidato perdananya menyatakan dua tema pokok: Pertama, mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kedua, menegakkan konstitusi termasuk mengembalikan demokrasi.

Menurut Soeharto, kedua tema ini tak boleh dipertentangkan namun diserasikan satu sama lain.

Dalam upacara pelantikan selama 40 menit itu, Soeharto juga mengajak masyarakat untuk melaksanakan putusan-putusan SU (Sidang Umum) ke-V MPRS terutama bidang pembangunan.

Baca: Jawaban Panjang Syahrini Saat Ditanya Hikmah Pernikahan, Ujung-ujungnya Bilang Enak

Ke luar negeri

Sehari setelah pelantikannya menjadi presiden, Soeharto mempunyai jadwal kunjungan ke luar negeri.

Jepang dan Kamboja menjadi tujuan rombongan presiden.

Khusus Jepang, kunjungan ini bertujuan untuk mencapai kerja sama ekonomi.

Presiden Soeharto
Presiden Soeharto (soeharto.co)

Rombongan terdiri dari 45 orang, yaitu para pejabat negara dan wartawan.

Sebelum Soeharto berangkat, mandat untuk menjaga keamanan dan keselamatan negara diberikan kepada menteri negara Hamengkubuwono IX, sekaligus menjadi pejabat presiden.

Harian Kompas yang terbit pada 28 Maret 1968 menulis, Soeharto memberikan mandat kepada Hamengkubuwono IX untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai Kepala Negara selama berada di luar negeri.

Ia juga mempunyai wewenang sebagai menteri luar negeri karena Menlu Adam Malik juga ikut presiden ke luar negeri.

Baca: Sisa 20 Kilometer, Warga Tanjabtim Menolak Jual Tanahnya untuk Jalan ke Pelabuhan Ujung Jabung Jambi

Baca: Peringati Hari Air Sedunia, BWSS VI Jambi Lakukan Bersih-bersih Sungai

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "26 Maret 1968, Saat Soeharto Ditunjuk Gantikan Soekarno Jadi Presiden", https://nasional.kompas.com/read/2019/03/26/18242931/26-maret-1968-saat-soeharto-ditunjuk-gantikan-soekarno-jadi-presiden.
Penulis : Aswab Nanda Prattama
Editor : Bayu Galih

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved