Misteri Supersemar, Hadir Pasukan Tidak Dikenal di Istana Negara dan Soeharto Absen di Rapat Kabinet
Supersemar yang keluar pada tahun 1966 masih menyisakan misteri. Keluarnya Supersemar telah membuat Presiden Soekarno lengser dan digantikan Soeharto
TRIBUNJAMBI.COM - Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang keluar pada tahun 1966 masih menyisakan misteri. Keluarnya Supersemar telah membuat Presiden Soekarno lengser dan digantikan Soeharto yang pada akhirnya menjabat selama 32 tahun.
Keluarnya Supersemar tidak seharusnya membuat Soeharto bisa membatasi ruang gerak Presiden Soekarno dan keluarganya.
Hal itu diungkapkan oleh Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir Soekarno, yang menceritakan kepedihan yang dialami Sang Proklamator itu setelah keluarnya Supersemar.
Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar merupakan momentum naiknya Soeharto ke tampuk tertinggi pemerintahan Indonesia.
Baca: Youtuber Cuaks Channel Meninggal Dunia, Sudah Hasilkan Hampir 300 Video Keren Konten Teknologi
Baca: MotoGP Qatar 2019, Valentino Rossi Akui Masih Miliki Banyak Rival, Berkarier di Lintas Generasi
Baca: VIDEO: Sejarah Hari Ini, Pengakuan Soeharto Tentang Supersemar Hingga Bikin Soekarno Marah Besar
Pasca Supersemar, Soeharto dengan tanpa rintangan berarti menduduki kursi Presiden menggantikan Soekarno.
Ajudan Soekarno menceritakan bagaimana pedihnya Soekarno saat mengetahui Supersemar digunakan Soeharto untuk menggoyahkan posisinya. Bahkan Soekarno merasa dibohongi Soeharto.
Itulah hal yang disampaikan Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir Bung Karno, pasca-terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966.
"Bung Karno merasa dikibuli," kata Sidarto, dilansir Tribun Jambi dari wawancara yang dilakukan Kompas dengan Sidarto di Jakarta Selatan, pada Minggu (6/3/2016).
Hingga kini masih ada kontroversi dari sisi teks dalam Supersemar, proses mendapatkan surat itu, dan mengenai interpretasi perintah tersebut.
Menurut Sidarto, Soekarno menunjukkan sikap berbeda dengan serangkaian langkah yang diambil Soeharto setelah menerima Supersemar.
Sidarto tidak menyebut detail perubahan sikap Soekarno.
"Dalam Supersemar, mana ada soal penahanan? Penahanan fisik, (dibatasi bertemu) keluarganya, penahanan rumah. Supersemar itu seharusnya melindungi keluarganya, melindungi ajarannya (Bung Karno)," kata Sidarto.
Pada 11 Maret 1966 pagi, Presiden Soekarno menggelar rapat kabinet di Istana Merdeka, Jakarta.

Pada saat bersamaan, ia dikejutkan dengan kehadiran demonstran yang mengepung Istana.
Demonstrasi itu dimotori kelompok mahasiswa yang mengusung Tritura (tiga tuntutan rakyat; bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga-harga).
Pada waktu yang sama, Brigjen Kemal Idris mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad untuk mengepung Istana.
Alasan utamanya adalah untuk menangkap Soebandrio yang berlindung di Kompleks Istana.
Pasukan yang dikerahkan Kemal itu tidak mengenakan identitas.
Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan kepada Soekarno bahwa Istana dikepung "pasukan tidak dikenal".
Letjen Soeharto tidak hadir dalam rapat kabinet dengan alasan sakit.
Karena itu, Soekarno tidak dapat memerintahkan Soeharto membubarkan "pasukan tidak dikenal" tersebut dan akhirnya memilih keluar dari Istana Merdeka menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.
Setelah itu, Soeharto mengutus Basoeki Rachmat, Jusuf, dan Amir Machmud menemui Soekarno di Istana Bogor.
Ketiga jenderal itulah yang membawa Supersemar ke Jakarta untuk Soeharto.
Bagi Presiden Soekarno, Supersemar adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden dan keluarganya.
Namun, Soekarno "kecolongan" karena dalam Supersemar diyakini terdapat frasa "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu."
Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.
Dengan surat itu, Soeharto menjalankan aksi beruntun pada 12 Maret 1966 dengan membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang dianggap pendukung PKI atau pendukung Soekarno, dan memulangkan anggota Tjakrabirawa ke kesatuan di daerah asalnya.
Dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvin Warman Adam, diperkirakan ada sekitar 4.000 anggota pasukan yang dipulangkan ke kesatuan di daerah asalnya.
Tjakrabirawa adalah pasukan pengamanan yang loyal kepada Presiden.
Tak berselang lama, Soeharto juga mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat.
Baca: Kejam dan Lebih Baik Mati di Lautan: Bajak Laut Ternyata Punya Makam yang Indah
Baca: Penyanyi Terkenal ini Mengidap Penyakit Mengerikan Setelah Perkosa Gadis 13 Tahun
Baca: Prostitusi Online Vanessa Angel, Berkas Mucikari Dilimpahkan ke Kejaksaan, Barang Bukti Dilengkapi

Serangkaian langkah yang diambil Soeharto itu membuat Soekarno marah, khususnya dengan pembubaran PKI.
Meski demikian, isu pembubaran PKI adalah salah satu penyebab merosotnya dukungan politik untuk Soekarno.
Mengapa Soekarno tidak mau membubarkan PKI? Sebab, Soekarno ingin memegang teguh ajaran three in one-nya, yaitu Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Soekarno konsisten sejak 1925 tentang Nasakom. Dalam sebuah pidato, ia menegaskan bahwa "kom" tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit, melainkan marxisme atau tepatnya sosialisme.
Dalam kesempatan lain, Soekarno mensinyalir bahwa revolusi Indonesia telah dibelokkan ke kanan. Padahal, menurut dia, revolusi Indonesia itu pada intinya adalah kiri. Meskipun demikian, Soekarno bersaksi, "Saya bukan komunis."
Terkait kasus 1965, Soekarno mengetahui bahwa ada oknum PKI yang bersalah. Namun, ia beranggapan kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar.
Sidarto menuturkan, Soekarno masih memiliki peluang mengendalikan situasi pasca-Supersemar.
Ia menyebut posisi kekuatan ABRI saat itu masih 60:40 pro-Soekarno. Masih banyak loyalis Soekarno di tubuh ABRI-Polri yang siap membela.
Para loyalis Soekarno itu di antaranya adalah Angkatan Udara di bawah KSAU Omar Dhani, Angkatan Laut di bawah KSAL Mulyadi, Polri di bawah Jenderal Pol Soetjipto Joedodiharhjo, dan Kodam Siliwangi di bawah Mayjen Ibrahim Ajie.
Kemudian, Korps KKO di bawah Letjen Hartono, Korps Brimob di bawah Anton Soedjarwo, dan sebagian besar pasukan Kodam Brawijaya yang setia membela Soekarno.
Namun, ketika para loyalis ini menyarankan untuk melawan, Soekarno menolaknya.
Soekarno tidak ingin perlawanannya memicu perang sipil dan memecah belah bangsa.

"Para loyalis ini tidak tega melihat Bung Karno. Lebih baik mati bersama-sama. Sangat berisiko, tapi mereka die hard semua," ungkap Sidarto.
Sidarto diangkat menjadi ajudan Presiden Soekarno pada 6 Februari 1967.
Saat itu, pangkat Sidarto adalah ajun komisaris besar polisi.
Dia menggantikan Komisaris Besar Sumirat yang ditahan setelah terbitnya Supersemar.
Sidarto mengawal Soekarno sebagai Presiden hanya dua pekan, 6-20 Februari 1967.
Setelah itu, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto. Sidarto tetap menjadi ajudan Soekarno meski statusnya disebut sebagai "Presiden nonaktif".
Sekitar Mei 1967, Soekarno tidak diperbolehkan masuk ke Istana sekembalinya dari berkeliling Jakarta.
Sidarto menyaksikan peristiwa itu karena baru saja mendampingi Soekarno menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara.
Sejak saat itu, Soekarno dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.
Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.
Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri pada 23 Maret 1968.
Kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun dianggap lebih memerlukan dokter ketimbang ajudan. Pada Juni 1970, Soekarno meninggal dunia. (*)
Baca: Prostitusi Online di Blitar, Mucikari Tawarkan Dua Perempuan Remaja Usia SMP Layani Satu Orang Pria
Baca: PERAMPOK Legendaris Ini Dijuluki Robin Hood: Dia Tembak Mati Petugas Museum Nasional, Ini Kisahnya
Baca: Doktor Termuda di Jambi Ini Bercita-Cita Memiliki Gelar Professor