Kisah Taipan Lepas dari Perompak Somalia: Ternyata Perompak Punya Mesin Hitung Uang
TRIBUNJAMBI.COM--Akhir 2010, untuk pertama kalinya dalam 400 tahun terakhir, pengadilan Jerman menggelar
Kapten Eggers dan awaknya sendiri baru sekitar satu jam kemudian membuka pintu ruang perlindungan dan memanjat ke geladak. Akhirnya, mimpi perompak untuk mendapat uang tebusan pupus sudah. Yang terjadi mereka malah hadir di ruang persidangan.
Sebagian besar keluarga perompak Taipan berasal dari klan Darod-Majerteen, Galkayo-Utara, Puntland, Somalia Tengah, yang berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa.
Di daerah ini, di sebuah kamar berdinding karton dan kertas kantong gula sumbangan, tinggal Kadan, istri pertama Abdi K, bersama kelima anaknya.
Saat suaminya ditangkap, ia tengah hamil 9 bulan. Sehari-hari, ia bekerja di rumah pemotongan kambing dan domba dengan upah tidak sampai Rp 9.000,-/hari. "Saya pikir, suami saya bekerja sebagai nelayan di pantai Bosasso," bilang Kadan.
Sedangkan ibu Abdul W - pelaku lainnya, tinggal di sebuah rumah besar di Galkayo. Putranya, yang dijuluki Si Jangkung adalah pemuda kurus dengan tinggi 1,80 m dan berat 51 kg.
Bukti berupa Akte Kelahiran menunjukkan putranya itu lahir pada 10 Maret 1997 alias masih berumur 13 tahun. Sudah tidak bersekolah dan bekerja di pabrik baja.
Dia tidak tahu bagaimana putranya bisa sampai jadi perompak. "Pemuda itu bukan anak saya!" ujarnya saat Abdul W diadili di Hamburg.
Namun, menurut ahli penilai usia di Belanda, Abdul berusia di atas 15 tahun. Bahkan, menurut hasil analisis tulang tangannya oleh dokter ahli di pengadilan Hamburg, dipastikan Si Jangkung sudah berusia di atas 21 tahun!
Selain Galkayo, Eyl, dekat Hobyo, juga disebut-sebut sebagai "sarang perompak". Daerah ini dulunya kampung nelayan yang kini berkembang menjadi kawasan lumayan makmur.
Eyl kerap menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal yang disandera. Begitu ada kapal bajakan mendekati pantai, hampir seluruh kaum pria di sana datang berbondong-bondong, ingin memastikan dirinya terlibat dalam "bisnis" ini.
Ada yang mengawasi sandera, melayani katering, hingga bertelepon satelit - tawar-menawar harga tebusan dengan pemilik kapal.
Konon, pelaku perompakan di laut akan memperoleh 30% dari uang tebusan yang jumlahnya antara AS$ 1 - 2 juta per kapal.
Sisanya: 20% masuk kantong bos pembajak, 30% untuk "kelompok pelindung", para perantara, para pemberi tugas di daratan, serta klan yang terlibat, dan 20% lagi untuk membeli persenjataan serta perahu baru.
Namun perihal uang hasil "bajakan" itu, ditepis para keluarga terdakwa. "Bila Ahmed memang perompak, harusnya kami tidak hidup semiskin ini," ujar ayah mertua Ahmed seraya menunjuk tempat tinggalnya: dua kamar berukuran kecil dengan lantai batu, tempat tidur, sebuah pesawat teve usang. "Anak-anaknya tidak bersekolah, karena tidak punya uang!"
Toh "Bisnis" ini sebenarnya bisa disebut bisnis kelas kakap. Makanya mereka rela berinvestasi membeli kapal baru, peralatan navigasi, dan radar mutakhir. Dengan kapal baru bermesin turbo, kapal angkut raksasa pun tak berdaya.