Pelda Daniel Buka Kain Penutup Jenazah Anaknya, Ternyata Banyak Sekali Luka, Taruna ATKP Dianiaya

Pelda Daniel membuka kain penutup jenazah anaknya dan melihat langsung wajah Aldama Putra Pangkola. Ternyata banyak sekali luka ...

Editor: Duanto AS
dokumen facebook
M Rusdi, tersangka kasus penganiayaan juniornya, Aldama Putra yang tewas di ATKP Makassar. 

ATKP Makassar Berbelasungkawa

Pihak ATKP Makassar berbelasungkawa atas tewasnya Aldama Putra Pangkolan.

"Tentu kami merasa sangat kehilangan yang mendalam atas kepergian ananda Aldama," kata Pembantu Direktur ATKP Makassar, Irfan kepada Tribun Timur, Selasa.

Walau mengaku kehilangan, Irfan tidak mau menjelaskan banyak soal kejadian penganiayaan menyebabkan Aldama Putra Pangkolan meghembuskan nafas terakhir.

"Tentu kami sampai saat ini merasakan kehilangan, kasus seperti ini baru kali ini terjadi. Kami tidak bisa jelaskan banyak karena polisi sudah tangani," jelasnya.

Pengamat: Kita Prihatin

Menanggapi kejadian tersebut, pengamat pendidikan tinggi, Arismunandar mengaku prihatin dengan masih adanya tindakan senioritas yang berujung pada kematian.

"Kita prihatin sekaligus berduka cita. Fenomena seperti ini, akhir-akhir ini banyak terjadi di institusi yang bersifat kedinasan dan menerapkan cara militeristiik dalam pola pembinaan kahasiswaan," kata Arismunandar, mantan Rektor Universitas Negeri Makassar ( UNM).

"Sebenarnya itu harusnya baik, cuma sistem senioritas itu menjadi masalah, itu dipupuk dan dilestarikan. Ditanamkan superioritas senior terhadap junior yang menyebabkan kekuasaan senior menjadi tak terkendali, celakanya jika itu tak ada kontrol dari manajemen perguruan tinggi," katanya menambahkan.

Lebih lanjut, Arismunandar mengatakan, kejadian seperti ini biasanya di luar kendali manajemen suatu perguruan tinggi, yang seharusnya mampu mengawasi setiap aktivitas mahasiswa atau tarunanya.

"Biasanya jika ada kejadian begini, itu diluar pengawasan dari manajemen perguruan tinggi. Mungkin di luar kontrol, apakah sore atau malam, biasanya seperti itu. Kalau ada pengawasan rutin, pasti tak akan terjadi. Kedua, bukan cuma pengawasan tapi juga penindakan terhadap penyalahgunaan senioritas itu. Saya yakin peristiwa begini bukan sekali atau dua kali terjadi, ini turun temurun dan menjadi budaya baru dalam perguruan tinggi," kata menjelaskan.

Menurut Arismunandar, sistem pembinaan mendisiplinkan mahasiswa dengan cara keras itu yang menjadi masalah, meskipun sebenarnya sejauh masih dalam batas kemampuan masih bisa diterima.

"Tapi kalau sudah sampai meninggal itu berarti sudah di luar batas kewajaran. Ada kesan bahwa pembinaan itu sudah melampaui batas kewajaran dan kepatutan. Pasti tak ada satupun aturan akademik yang membolehkan seperti itu, pasti norma ATKP juga sudah standar, tapi sekali lagi bahwa ini terjadi karena ada unsur penyalahgunaan otoritas kewenngan senior terhadap juniornya. Di ksus lain, biasanya kan cuma masalah sepele yang dilakukan junior yang berakibat pada sanksi keras," katanya.

Seharusnya perguruan tinggi menghilangkan tradisi kekerasan atau senioritas, dan selalu terlibat dalam aktivitas mahasiswanya.

"Misalnya penerimaan majasiswa baru, tak lagi memberi peran kepada mahasiswa atau senior. Penerimaan mahasiswa baru ditangani institusi, dalam artian yang memimpin kegiatan itu adalah kampus, mau itu melibatkan mahasiswa senior itu tak masalah, tapi perlu memberi batas peran sewajarnya kepada senior," katanya.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved