Kisah Dibalik Nama Tommy, Terjadi saat Soeharto Berjibaku Menumpas Belanda Saat Ibu Tien Hamil Tua

Berawal dari Soeharto dilantik menjadi Panglima Mandala pada bulan Februari 1962 dan bertepatan dengan kandungan Ibu Tien Soeharto yang memasuki usia

Editor: Andreas Eko Prasetyo
Tribun Timur
Tommy Mandala Putra, anak kelima Soeharto (Kiri) bersama Soeharto dan Ibu Tien 

Bagi keluarga Soeharto, saat-saat persiapan menggempur Belanda di Irian itu juga membawa berkah tersendiri karena usia kandung Ibu Tien yang makin tua

TRIBUNJAMBI.COM - Ternyata kisah dibalik nama Tommy Soeharto, anak dari Presiden kedua Indonesia terungkap.

Kala itu Presiden Soeharto masih berpangkat Mayjen TNI.

Berawal dari Soeharto dilantik menjadi Panglima Mandala pada bulan Februari 1962 dan bertepatan dengan kandungan Ibu Tien Soeharto yang memasuki usia tiga bulan.

Saat itu Ibu Tien memang sedang mengandung anak yang kelima.

Sebulan sebelumnya Soeharto diangkat menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani.

Baca Juga:

Kakinya Membusuk Dibedil Meriam Belanda, Prajurit Kopassus Ini Tak Lepas dari Perhatian Soeharto

Soeharto yang Terbebas dari Bahaya Racun Tikus Usai 8 Jenderal TNI Tewas Dalam Lubang Buaya

Rahasia Soeharto Bisa Bertahan di Jajaran Jenderal, Meski Kerap Tak Sepemikiran dengan Soekarno

Berkat Tommy, Soeharto Lolos dari Tragedi Berdarah Gerakan 30 September yang Bunuh 8 Jenderal TNI

Sebagai Panglima Mandala, ia harus menjalankan mandat Trikora yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno.

Salah satu isi mandat itu adalah pengibaran Sang Merah Putih paling lambat 17 Agustus 1962 di tanah Irian Barat (Papua).

Berarti Sang Panglima hanya mempunyai waktu tujuh bulan untuk mengegolkan tujuan itu dan pada bulan ketujuh itu dipastikan Ibu Tien sudah melahirkan.

“Masya Allah,” begitu komentar Soeharto waktu itu.

Tapi memimpin operasi tempur sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru bagi jenderal yang di masa mudanya sudah kenyang dengan dunia pertempuran ini.

Peta Irian Jaya yang dulu bernama Irian Barat dan kini bernama Papua.
Peta Irian Jaya yang dulu bernama Irian Barat dan kini bernama Papua. (Tribunnews.com)

Selain pernah menjadi anggota KNIL dan HEIHO selama revolusi kemerdekaan, Soeharto juga perah memimpin pertempuran dalam Palagan Ambarawa dan Serangan Oemoem 1 Maret di Yogyakarta.

Berkat pengalaman tempur itu, Soeharto pun segera menyusun rencara operasi militer ke Irian Barat.

Soeharto lalu menyusun tiga rencana sekaligus yang kemudian disatukan.

Yaitu menyusun pasukan gabungan, membangun pangkalan, dan mempelajari medan yang akan digunakan untuk persiapan maupun untuk pertempuran.

Baca Juga:

Luna Maya Diramal akan Menemukan Tambatan Hati di Akhir Tahun

SBY Copot Wakil Ketua DPRD Jakarta. Hinca Sebut tak Ada Muatan Politis

Dul Jaelani Bandingkan Perlakuan Irwan Mussry dan Mulan Jameela, Ternyata Ibu Tirinya Bikin Kangen

Bareng Inul & Soimah Istana Presiden Digruduk Peserta LIDA 2019, Lakukan Ini dengan Jokowi & Istri

Cara Melacak Posisi, Suami, Istri, Anak, Pacar Lewat HP Pakai Aplikasi Gratis, Tak Bisa Lagi Bohong

Sebagai tambahan, ia juga mempelajari kekuatan Belanda.

Soeharto beranggapan perang akan berlangsung lama sehingga perlu dibentuk kawasan perang (battle field) untuk pembebasan Irian.

Sebagai mantan anggota KNIL dan pernah bertempur melawan pasukan Belanda selama Perang Kemerdekaan, Soeharto paham kali ini kekuatan militer Belanda pasti jauh lebih kuat dan pintar.

Apalagi militer Belanda yang berada di Irian Barat sering melakukan latihan perang secara rutin dengan NATO.

Ibu Tien Soeharto, Tommy kecil, dan Pak Harto
Ibu Tien Soeharto, Tommy kecil, dan Pak Harto (anton-djakarta.blogspot.com)

Latihan perang bersama itu yang jelas telah menjadikan kekuatan laut dan udara yang dimiliki oleh Belanda jauh lebih tangguh.

Pengalaman tenggelamnya kapal perang RI Matjan Toetoel di laut Aru akibat serangan kapal perang dan pesawat tempur Belanda membuat operasi militer yang dipimpin oleh Soeharto menjadi bersiko tinggi (high risk).

Dalam benak Soeharto, taktik operasi ini harus didahului oleh serangan infiltrasi melalui laut dan udara.

Pasukan yang harus diterjunkan dalam infiltrasi dipilih oleh Soeharto dari kesatuann-kesatuan khusus yang selama ini telah berpegalaman dalam menumpas aksi pemberontakan di tanah air seperti PRRI/PERMESTA dan pemberontakan di kawasan Sumatera.

Baca Juga:

Viral Videonya Menangis di Konser Dewa 19, Dul Jaelani Ungkap Penyebabnya, Bukan Ahmad Dhani

MotoGP 2019 - Panas! Marc Marquez Ogah Berjabat Tangan Lagi dengan Valentino Rossi, Ini Alasannya

Mall JCC di Eks Terminal Simpang Kawat, Segera Launching, Ini Rencana Waktunya

Ari Lasso Ungkap Kejadian di Belakang Panggung Dewa 19, Dul Jaelani Sampai Gemetaran Seluruh Tubuh

Cara Melacak Posisi, Suami, Istri, Anak, Pacar Lewat HP Pakai Aplikasi Gratis, Tak Bisa Lagi Bohong

Taktik mendaratkan pasukan secara diam-diam dan kemudian melancarkan pegintaian dan perang gerilya itu bertujuan untuk menarik perhatian Belanda sehingga mengerahkan pasukan intinya untuk menyambut infiltran itu.

Soeharto yakin berkat kemampuan pasukan khusus seperti RPKAD dan PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI, Belanda akan mengerahkan ribuan pasukan untuk menghadapinya.

Ribuan pasukan yang berhasil diikat itu membuat konsentrasi kekuatan pasukan Belanda terpecah dalam waktu yang cukup lama.

Dengan demikian Belanda akan meninggalkan posisi lowong pertahanan di kota-kota, utamanya seperti Biak dan Holandia (Jayapura).

Soeharto sempat dicemooh ketika menggunakan pasukan terbaiknya dari RPKAD, PGT dan RAIDER PARA sebagai infiltrant.

Namun ia berkeras dan sekali lagi menegaskan bahwa pasukan khusus tersebut bisa bertempur dalam kondisi ektrem dan mengikat pasukan musuh untuk waktu lama di tempat-tempat yang terpisah.

Leo (kanan) sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala bersama Mayjen Soeharto, melihat peta Pulau Irian di dalam pesawat saat Operasi Trikora.
Leo (kanan) sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala bersama Mayjen Soeharto, melihat peta Pulau Irian di dalam pesawat saat Operasi Trikora. (Mylesat.com)

Soeharto sebenarnya pernah diperintahkan utuk mengebom sebuah kapal Belanda demi sebuah misi politik oleh Mohammad Yamin dan Presiden Soekarno.

Namun Soeharto menolak karena hal itu bisa meningkatkan kewaspadaan Belanda dan membuat siasat perangnya kocar-kacir.

Kemugkinan besar kapal perang yang menjadi target untuk ditenggelamkan adalah kapal induk HNLMS Karel Doorman.

Pesawat khusus untuk menghantam Karel Doorman, yakni enam Tu-16/KS memang telah disiapkan.

Tapi selama melaksanakan terbang patroli, pesawat-pesawat tempur pengintai AURI belum pernah menemukan Karel Doorman saat berlayar hingga konflik Irian Barat usai.

Akibatnya armada Tu-16/KS pun gagal menenggelamkan Karel Doorman.

Sebagai pukulan penutup, Soeharto menyiapkan operasi amfibi gabungan yang diberi nama Operasi Djajawidjaja.

Baca Juga:

Imlek 2019 - Selama Imlek tak Boleh Keramas dan Menyapu. 6 Pantangan Harus Dihindari Saat Imle

Penampakan Veronica Tan Rayakan Imlek dengan Jadi Tukang Cukur Rambut & Memasak Sendiri

IMLEK 2019 - Ikan Bandeng Ternyata Menyimpan Sejuta Manfaat. Sajian Wajib Saat Imlek

Imlek 2019 - Pakar Shio Ramalkan Donald Trump Bakal Lengser di Tahun Babi Tanah, Shio Anjing Waspada

30 Ribu Ha Lahan Kelapa Sawit di Muarojambi Tidak Produktif, Pemkab Usulkan Replanting 1000 Ha

Sasaran utama operasi ini adalah Biak yang merupakan jantung pertahanan Belanda.

Jika Operasi Djajawidjaja berhhasil digelar, ini akan merupakan operasi pendaratan amfibi besar-besaran dan sekaligus perang besar yag berlarut-larut.

Korban besar pun diperkirakan akan jatuh mengingat Pantai Biak dipertahankan oleh marinir Belanda yag sudah memiliki pengalaman tempur.

Pukulan terakhir ini harus benar-benar berhasil dan telak karena, ujar Soeharto, “Kita tidak punya pasukan cadagan lagi!”

Soeharto mengharapkan tanggal 12 Agustus 1962. Biak sudah harus bisa dikuasai.

Untuk itu ia menghitung mundur mulai H-8 demi menggerakkan seluruh pasukannya menuju tempat rendezvouz di Teluk Peleng, Kepulauan Banggai.

Soeharto sendiri ikut berlayar bersama kapal patroli milik Kepolisian RI.

Jika serangan itu jadi dilaksanakan, Soeharto berandai-andai akan seperti pertempuran saat Jepang menggempur Rusia di Wladiwostok tahun 1904.

Saat itu Jepang mendapat kemenangan gilang-gemilang dan menjadi bangsa Asia pertama yang berhasil mengalahkan bangsa Eropa dalam perang modern.

Namun serangan itu tidak jadi dilaksanakan karena situasi politik yang semakin kondusif bagi Indonesia.

Akhirnya penyelesaian dengan jalan politik menjadi pilihan.

Soeharto
Soeharto (IST)

Bagi keluarga Soeharto, saat-saat persiapan menggempur Belanda di Irian itu juga membawa berkah tersendiri karena usia kandung Ibu Tien yang makin tua.

Tanggal 15 Juli 1962, Ibu Tien Soeharto melahirkan anak kelima mereka yang kemudian diberi nama Hutomo Mandala Putra.

Keberhasilan Soeharto sebagai Panglima Mandala juga berpengaruh besar pada karier militernya.

Tak lama kemudian Soeharto menjabat sebagai Pangkostrad dan berperan besar dalam penumpasan G-30-S-PKI.

(Agustinus Winardi)

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:

IKUTI FANSPAGE TRIBUN JAMBI DI FACEBOOK:

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved