2 Elite KKO di Hukum Mati di Singapura, Pasukan Marinir TNI AL Berang dan Rencanakan Penyerbuan

Indonesia pernah punya cerita akan menggempur negara tetangga karena dua sosok yang dihukum gantung di negara itu.

Editor: Andreas Eko Prasetyo
TNI AL 

TRIBUNJAMBI.COM - Indonesia pernah punya cerita akan menggempur negara tetangga karena dua sosok yang dihukum gantung di negara itu.

Bukan Malaysia, melainkan Singapura. Negara yang memiliki luas area tidak lebih besar dari pulau Sumatera itu menghukum mati dua sosok marinir.

Mereka adalah Usman dan Harun. Bisa dikatakan mereka adalah sosok pasukan serba bisa atau kini sering disebut pasukan khusus.

Berbicara soal pasukan khusus, nampaknya Indonesia belum begitu familiar dengan nama Usman dan Harun.

Keduanya disebut sebagai pahlawan dari Indonesia karena keberaniannya di masa lampau.

Semua berawal ketika tengah terlibat dalam konfrontasi militer dengan Malaysia (1961-1966) silam, Indonesia melakukan beragam cara.

Baca Juga:

Nama Gultor Diganti Menjadi Sat-81 Kopassus, Ini Alasan Penghapuan Brand Gultor

Didikan Mengerikan Marinir TNI AL, Saat Tidur Dibangunkan dengan Dentuman Granat & Rentetan AK-47

Geger Perwira Inggris dan Pasukan Malaysia Mati Mendadak Gara-gara Remehkan Marinir Indonesia

Pasukan Royal Malaysia Regiment & Pasukan Inggris Mendadak Tewas Karena Remehkan Marinir TNI AL

Selain melancarkan operasi penyusupan lewat perbatasan yang berada di darat, militer Indonesia juga melancarkan operasi rahasia lewat laut.

Tujuan operasi penyusupan yang dilakukan oleh Pasukan Katak (Kopaska) dan Marinir (KKO) itu berupa operasi intelijen, provokasi, dan sabotase.

Salah satu misi operasi sabotase yang berhasil adalah yang dilakukan oleh Sersan Dua KKO Djanatin, Kopral Satu KKO Tohir, dan rekan-rekannya yang bertugas sebagai operator perahu, Gani bin Aroep.

Untuk mengamankan jalannya operasi itu, mereka membuat nama samaran sesuai dengan nama warga setempat.

Berbicara soal pasukan khusus, nampaknya Indonesia belum begitu familiar dengan nama Usman dan Harun.
Usman dan Harun, Legenda Marinir, TNI AL

Djanatin memakai nama samaran Usman bin Haji Muhammad Ali dan Tohir memakai nama Harun bin Said.

Sasaran utama misi rahasia itu adalah melakukan sabotase di pusat kota Singapura dengan berbekal bahan peledak seberat 12,5 kg.

Target yang harus diledakkan adalah gedung McDonald House yang berada di pusat keramaian kota.

Karena ketatnya penjagaan di perairan Singapura, ketiga infiltran itu menyamar sebagai pemasok barang dagangan ke Malaysia dan Singapura.

Baca Juga:

Hasil Evaluasi SAKIP 2018, Kabupaten Bungo Naik Peringkat

Pria Ini Syok, Dikira Bau Bangkai Tikus, Tahunya Orang yang Dikenalnya di Bawah Ranjang

Kabar Terbaru Prabowo Subianto Sakit Sudah Tiga Hari, Tak Datang di Acara PKS, Reaksi Sohibul Iman

Bawa Sajam untuk Jaga Diri, Pria Ini Dibekuk Polisi Saat Razia dan Menjalani Sidang di Pengadilan

Meski Malaysia Dicoret, PM Mahathir Tegas Menolak Atlet Israel Masuk, Ini Alasannya

Ketika sedang menyamar sebagai pedagang itulah mereka mempelajari sasaran yang harus diserang termasuk rute bagaimana harus melahirkan diri.

Setelah merasa yakin dengan semua rencana yang sudah dimatangkan ketiga infiltran itu pun siap melancarkan serangan sabotase.

Saat menjelang fajar menyingsing tanggal 9 Maret 1965 ketiga infiltran itu berhasil mendarat di pantai Singapura dan menyusup masuk ke pusat kota Singapura.

Gedung McDonald yang menjadi sasaran sabotase berhasil diledakkan pada pukul 03.07 waktu setempat.

Gedung MacDonald House
Gedung MacDonald House (Jiwa Patriot)

Saat kembali menuju perahu karet yang ditempatkan di lokasi tersembunyi mereka sengaja berpisah dengan Gani bin Aroep.

Taktik memisahkan diri itu bertujuan untuk menghindarkan kecurigaan aparat kepolisian yang telah melancarkan operasi pencarian secara besar-besaran.

Djanatin dan Tohir berhasil mencapai pantai dan selanjutnya melarikan diri menggunakan perahu motor rampasan.

Tapi pelarian yang berlangsung pada 13 Maret 1965 itu mengalami kendala karena secara tiba-tiba mesin perahu mati.

Tak lama kemudian polisi perairan Singapura berhasil menemukan dan menangkap keduanya.

Usman dan Harun, oleh Singapura, dianggap sebagai pelaku terorisme.

Baca Juga:

Militer AS Geleng-gelang Kepala, TNI Hanya Kirim 1 Kapal Selam Untuk Hadang Kapal Perang AS

Pemkot Jambi Siap Berikan Rp1 Juta, Bagi Siapa yang Memberi Laporan Adanya Penggunaan Narkoba

Padang Heboh dengan Sate Daging Babi, Penjual Langsung Buang Tusuk Sate ke Got saat Digerebek

Vanessa Angel Jual Mobil Porsche Sebelum Ditahan, Pacar Cerita Momen Haru, Dia Sudah Tak Punya Duit

Mereka bukan dianggap tawanan perang karena ketika sedang melancarkan misinya tidak mengenakan seragam serta identitas militer.

Setelah diadili kedua infiltran yang bertempur demi tugas negara itu akhirnhya dijatuhi hukuam mati.

Langkah diplomatik untuk membebaskan keduanya pun diupayakan secara serius oleh Pemerintah RI.

Tujuannya agar hukuman mati minimal berbuah jadi hukuman seumur hidup.

Tapi upaya diplomatik itu ternyata gagal.

Tiga tahun kemudian, persisnya pada Kamis 17 Oktober pukul 06.00 waktu setempat, Usman dan Harus dihukum dengan cara digantung.

Karena keduanya bertugas membela negara, saat jenazahnya dipulangkan ke Indonesia mereka mendapatkan penghormatan sebagai pahlawan.

Keduanya diberikan penghargaan tertinggi Bintang Sakit serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibatan, Jakarta Selatan.

Kesal Dua Rekannya Dihukum Mati, Marinir Ingin Serbu Singapura

Cerita dari dua prajurit KKO Sersan Harun dan Kopral Usman digantung pemerintah Singapura saat konfrontasi Dwikora tahun 1968, memang menyisakan luka bagi Korps Angkatan Laut Indonesia saat itu.

Periode 1960an, pemerintahan Soekarno memang gerah dengan pembentukan Negara Malaysia.

Singapura yang anggota persemakmuran inggris ini juga dianggap pangkalan Blok Barat yang dapat mengancam Republik Indonesia.

Soekarno mengirim ribuan sukarelawan untuk bertempur di perbatasan Kalimantan dan Serawak.

Berbagai operasi intelijen juga digelar di Selat Malaka dan Singapura. Tujuannya untuk mengganggu stabilitas keamanan di Singapura.

Adalah Usman dan Harun, dua anggota satuan elite KKO yang ditugaskan untuk mengebom pusat keramaian di Jl Orchard, Singapura.

Mereka berhasil menyusup ke Mac Donald House dan meledakkan bom waktu di pusat perkantoran yang digunakan Hongkong and Shanghai Bank itu.

Ledakan dahsyat itu menghancurkan gedung tersebut dan gedung-gedung sekitarnya. Tiga orang tewas sementara 33 orang terluka parah. Beberapa mobil di Jl Orchard hancur berantakan. Peristiwa itu terjadi 10 Maret 1965.

Setelah menyelesaikan misinya, Usman dan Harun berusaha keluar Singapura. Mereka berusaha menumpang kapal-kapal dagang yang hendak meninggalkan Singapura namun tidak berhasil.

Pasukan Marinir TNI AL
Pasukan Marinir TNI AL (istimewa/Instagram)

Pemerintah Singapura telah mengerahkan seluruh armadanya untuk memblokir Selat Malaka. Hampir tidak ada kesempatan untuk kabur.

Usman dan Harun kemudian mengambil alih sebuah kapal motor. Malang, di tengah laut kapal ini mogok. Mereka pun tidak bisa lari dan ditangkap patroli Singapura.

Keduanya dijebloskan ke penjara. Hakim mengganjar mereka dengan hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak dan melakukan tindakan terorisme.

Pemerintah Indonesia mencoba banding dan mengupayakan semua bantuan hukum dan diplomasi. Gagal, semuanya ditolak Singapura.

Suatu pagi, selepas subuh tanggal 17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel mereka. Dengan tangan terborgol dua prajurit ini dibawa ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 waktu setempat, keduanya tewas di tiang gantungan.

Presiden Soeharto langsung memberikan gelar pahlawan nasional untuk keduanya. Sebuah Hercules diterbangkan untuk menjemput jenazah Usman dan Harun.

Pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta. Mereka juga mendapat bintang sakti, penghargaan paling tinggi di republik ini.

Setelah tiba di Jakarta, hampir satu juta orang mengiringi jenazah mereka dari Kemayoran, Markas Hankam hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Semuanya menangisi nasib dua prajurit ini dan mengutuk Singapura. Pasukan KKO yang merasa paling kehilangan dua anggotanya.

"Jika diperintahkan KKO siap merebut Singapura," ujar Komandan KKO, Mayjen Mukiyat geram di depan jenazah anak buahnya.

Tapi hal itu tidak terjadi. Presiden Soeharto enggan meneruskan konflik dengan Malaysia dan Singapura. Namun Soeharto tidak membiarkan peristiwa ini berlalu begitu saja.

Saat Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew akan berkunjung ke Indonesia, Soeharto mengajukan syarat. Orang nomor satu Singapura itu harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman. Hal itu disetujui oleh Perdana Menteri Lee. Hubungan Indonesia dan Singapura pun akhirnya membaik.

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:

IKUTI FANSPAGE TRIBUN JAMBI DI FACEBOOK:

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved