Survei Terbaru Tsunami Selat Sunda, Tinggi Ombak Capai 13,4 Meter & Meningkatnya Kasus Gigitan Ular

Survei yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu menemukan bahwa tinggi rayapan tsunami pada Sabtu (22/12/2018) itu mencapai 13,4 meter.

Editor: Andreas Eko Prasetyo
Tribunnews/Jeprima
Foto udara suasana desa Sambolo setelah diterjang Tsunami Selat Sunda Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018). Sejumlah bangunan tampak porak poranda setelah diterjang Tsunami Selat Sunda. 

TRIBUNJAMBI.COM - Kabar terbaru mengenai tsunami selat Sunda, ternyata ombak tertinggi tercatat setinggi 13,4 meter.

Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari baru saja mengunggah hasil survei pasca- tsunami Selat Sunda yang dilakukan pada 26 hingga 30 Desember 2018.

Survei yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu menemukan bahwa tinggi rayapan tsunami pada Sabtu (22/12/2018) itu mencapai 13,4 meter.

Dihubungi Kompas.com, Senin (31/12/2018), Abdul menceritakan bagaimana angka itu didapatkan.

Baca Juga:

Baba Vanga Meramal, 2019 Donald Trump Diserang Penyakit Misterius Hingga Tsunami Dahsyat di Asia

AM Hendropriyono, Intelijen & Ujung Tombak Serangan Kopassus Dalam Perburuan Grilyawan di Kalimantan

Penderitaan Penumpang Pesawat Woyla Sebelum Kopassus Datang, Mau ke Toilet pun Pintu Harus Dibuka

"Tinggi rayapan tsunami yang mencapai 13,4 m dihitung dengan menggunakan alat pengukur jarak horizontal dan vertikal (automatic laser finder dan GPS) mulai dari bibir pantai sampai di titik tertinggi bekas/jejak tsunami terlihat," kata Abdul melalui pesan singkat.

"Jejak tsunami ini bisa berupa batas genangan air, jejak sampah yang terbawa tsunami di dinding tebing atau tanah," imbuhnya.

Selain tinggi rayapan tsunami, Abdul mengatakan ada beberapa data lain yang didapatkan dari survei tersebut.

"Data tinggi rendaman tsunami (flow depth), tinggi rayapan tsunami (run-up) dan jarak landaan tsunami ke darat (inundation distance)," tutur Abdul.

"Data ini sangat penting untuk menentukan karakteristik dari tsunami," sambungnya.

Masih dalam unggahannya, Abdul juga menjelaskan mengenai dampak yang terjadi di bagian selatan Pandeglang.

Dia menuliskan dampak parah yang terpusat di wilayah itu mengindikasikan konsentrasi energi tsunami.

Fenomena ini berbeda dengan wilayah Anyer utara dan Cilegon.

Baca Juga:

Meski Luka Parah & Peluru Bersarang di Tubuh Legenda Kopassus ini, Musuh Tetap Mati di Tangannya

Tak Lolos CPNS 2018? Tenang, Lowongan PPPK Sebentar Lagi Dibuka, Cek SSCN.BKN.go.id, ini Jadwalnya

Indro Warkop Ungkap Keadaan dari Anak Dono, Satu Diantaranya Ada yang Baru Mempersunting Pasangannya

Dalam unggahan tersebut, Abdul menggatakan bahwa keberadaan pulau-pulau kecil di sekitar Anak Krakatau mungkin mempengaruhi penyebaran energi tsunami tersebut.

Pemandangan kawasan Kecamatan Sumur yang hancur diterjang gelombang tsunami Selat Sunda di Pandeglang, Banten, Selasa (25/12/2018)

Selain itu, perbedaan tingkat tanah juga berpengaruh terhadap dampak tsunami.

"Wilayah Pandeglang bagian selatan mengalami dampak yang lebih besar karena struktur pantai berupa pantai bertebing sehingga rayapan tsunami lebih tinggi," ujar Abdul.

"Sedangkan di Anyer-Carita ke arah utara daratan lebih landai sehingga tinggi rayapan tsunami lebih rendah tapi masuk ke darat lebih jauh," tegasnya.

Meski begitu, Abdul mengatakan bahwa masih belum diketahui mekanisme tsunami yang terjadi Sabtu malam tersebut.

Para peneliti saat ini masih mencoba mencari tahu penyebab bencana yang terjadi dengan mendokumentasikan dampaknya.

Unggahan Abdul mendapat banyak respons dari netizen yang ingin memperjelas ketinggian gelombang tsunami yang menghantam pesisir Selat Sunda di Banten.

Baca Juga:

Ramalan 12 Zodiak Soal Keuangan Selamat Tahun 2019, Leo Bakal Ketiban Rezeki di Bulan Maret

VIDEO: Live Streaming di Bein-Sport Laga Manchester City vs Liverpool, Nonton di HP dengan Cara ini

Berita Hoaks Pernah Ada di Era Soekarno & Soeharto, Terunik Soal Janin Bisa Bicara di Era Pak Harto

Termasuk dari Alexander Felix Taufan, yang ingin memastikan tinggi tsunami tersebut mencapai 13,4 meter dengan menyertakan screen shot google earth dan lokasi yang dimaksud.

Abdul merespon pertanyaan Alexander Felix Taufan dan mengiyakan lokasi yang ditunjukkan.

Kasus gigitan ular melonjak

Kasus gigitan ular muncul pasca- tsunami Selat Sunda yang terjadi di beberapa wilayah pengungsian yang ada di Banten dan Lampung.

Berdasarkan informasi dari situs resmi Kemenkes, tercatat ada 14 kasus gigitan ular dari 22-31 Desember 2018 di Pandeglang, Banten.

Dokter spesialis emergency, dr Trimaharani, menyampaikan bahwa kasus tersebut ditemukan di beberapa layanan fasilitas kesehatan.

"Kasus di Puskesmas Munjul ada tiga, di Puskesmas Labuhan dua kasus, Puskesmas Panimbang satu, di Puskesmas lain tiga, Rumah Sakit Berkah satu, dan Puskesmas Cibitung empat. Jadi total 14 kasus," kata dr Tri dalam keterangan tertulis, Rabu (2/1/2019).

Tri mengatakan, kondisi korban membaik dan hanya butuh observasi dan penatalaksanaan yang ketat dan tepat.

Ia bersama dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah melakukan pelatihan penatalaksanaan korban gigitan ular kepada tenaga kesehatan di pengungsian, seperti Dinas Kesehatan Pandeglang, Rumah Sakit Berkah, dan Rumah Sakit Umum Daerah dr Dradjat Prawiranegara, Serang.

Baca Juga:

Tujuh Tipe Teman Palsu yang Perlu Kamu Waspadai, Mereka Nggak Tulus

Misteri Kematian Si Molek Superstar Marilyn Monroe, Ini Pengakuan Ahli Forensik

Piala AFF U-22 2019 - Bangun Timnas U-22 Indonesia, Indra Sjafri Panggil Asisten Pelatih Ini

Disebutkan, ancaman gigitan ular setelah terjadi bencana diduga terjadi karena habitat yang terganggu.

Tri menambahkan, hasil riset selama enam tahun yang dilakukannya, menunjukkan bahwa setiap bencana ada ancaman gigitan ular.

"Setiap disaster (bencana) ada risiko snakebite, misal banjir di Sampang, gempa di Lombok, erupsi Gunung Raung, erupsi Gunung Merapi, erupsi Gunung Agung, dan sebagainya," ujar dia.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan dr Achmad Yurianto memberikan imbauan kepada masyarakat untuk berhati-hati ketika membersihkan lingkungan sekitar.

"Kalau mulai bersih-bersih pada awalnya jangan menggunakan tangan langsung, gunakan kayu dahulu pastikan tidak ada ular, baru pakai tangan. Karena tsunami, sarang ular terusik dan menyebar, berpindah tempat ke tumpukan sampah atau puing," kata Achmad.

Untuk menjawab hal itu, Kompas.com menghubungi ahli reptil LIPI Amir Hamidy.

"Kita harus tahu dulu jenis ularnya, karena kan ular itu tipikal habitatnya beda-beda," ujar Amir melalui sambungan telepon.

Amir mengaku belum mengetahui jenis ular yang menyerang pasca-tsunami tersebut.

Baca Juga:

Surat Pribadi Peninggalan Sang Legenda Marylin Monroe, Begini Isi Suratnya

Berkirim Foto Seksi dengan Narapidana, Oknum Polwan Dipecat! Berikut 3 Kasus Sama di Tahun 2018

Terlibat Kasus Chat P0rno, Oknum Polwan Dipecat Karena Berkirim Foto Seksi ke Napi Lapas Lampung

Untuk itu, dia menjelaskan bahwa mungkin kurang detail dalam memberi keterangan.

Meski begitu, Amir menjelaskan bahwa fenomena munculnya ular pasca-bencana sebenarnya hal yang normal.

"Kalau misalnya ada kerusakan atau perubahan lingkungan karena tersapu ombak kemudian membuat hewan keluar dari tempat persembunyiannya itu wajar," kata Amir.

"Mau banjir, mau air laut. Tapi kalau air laut, ular itu akan menghindari karena kan (menggandung) garam," imbuhnya. Dia juga menambahkan, garam sebenarnya tidak terlalu efektif dalam mengusir ular.

"Tapi ular itu menghindari air laut, kecuali ular yang bisa berenang," ucap herpetolog tersebut. "Bisa jadi, ini karena reaksi tsunami atau air laut yang naik ke daratan," sambungnya.

Meski memberi keterangan tersebut, Amir menyampaikan bahwa harus dilihat dulu apakah jenis ular yang menyerang.

"Bisa jadi, itu adalah ular laut yang terbawa kedaratan lalu saat ombak balik tidak ikut kembali," kata Amir

"Atau memang ular-ular di sekitar pantai, yang istilahnya memang sudah ada di situ tapi habitatnya terbasuh air laut kemudian keluar. Dan imbasnya konflik dengan manusia," tambahnya.

Amir kembali menegaskan bahwa ini merupakan fenomena alam yang biasa dan tidak perlu dihebohkan. "Ya wajar saja, kalau habitatnya (ular) tersapu oleh gelombang, yang biasanya sembunyi di bawah kayu atau batu kalau terguyur air kemudian ularnya keluar dari situ," tutur Amir.

Dia menambahkan, "Dan ular mencari tempat yang lain, bersamaan dengan orang melakukan evakuasi kemudian menjadi konflik itu wajar."

Herpetolog LIPI tersebut juga menyebut musim juga berpengaruh dari keluarnya ular-ular ini.

"Apalagi ini musim penghujan, telur ular itu menetas pada musim-musim ini," kata Amir.

"Beberapa ular juga mulai bertelur setelah musim-musim penghujan. Jadi setelah musim panas, ular itu biasanya keluar," sambungnya.

Baca Juga:

Rumah Dibongkar dan Diusir dari Kampung, Hukum Adat Pelaku Asusila di Daerah Ini

Pejuang Tradisional yang Jadi Tentara Bayaran Legendaris Dunia, Ini Kisah Tentara Gurkha

Pimpim Upacara HAB Ke 73, Sekda Sungaipenuh Sampaikan 6 Sasaran Strategis Program Kemenag

Sebagai catatan, apabila tergigit ular, korban harus tenang dan istirahat, memasang bidai dan mengurangi pergerakan, serta membawa ke pelayanan kesehatan terdekat seperti puskesmas atau rumah sakit.

Selain itu, jangan membawa ke dukun, jangan dihisap atau disedot, jangan ditoreh atau dikeluarkan darahnya, jangan dipijat, jangan diikat, serta jangan menggunakan obat herbal

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Terbaru Survei Tsunami Selat Sunda Tinggi Ombak 13,4 Meter serta Melonjaknya Kasus Gigitan Ular

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:

IKUTI FANSPAGE TRIBUN JAMBI DI FACEBOOK:

Sumber: Bangka Pos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved