Mahfud MD Debat Panas Dengan Ferdinand Terkait Freeport, Inalum Jelaskan Kontrak Karya

Uang sebesar 3.85 miliar dollar AS atau Rp 55 triliun yang dikeluarkan pemerintah demi memiliki saham.

Editor: hendri dede
Gita Irawan/Tribunnews.com
Pakar hukum Mahfud MD sesaat sebelum meninggalkan Gedung KPK Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada Kamis (13/9/2018). 

Mahfud MD Debat Panas Dengan Ferdinand Terkait Freeport, Inalum Jelaskan Kontrak Karya

TRIBUNJAMBI.COM - Keberhasilan pemerintah menjadi pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia (PTFI) lewat PT Inalum (Persero) memicu perdebatan baru.

Uang sebesar 3.85 miliar dollar AS atau Rp 55 triliun yang dikeluarkan pemerintah demi memiliki saham 51 persen PTFI dianggap sebagai tindakan yang sia-sia karena membeli tanah sendiri.

Politukus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean misalnya mengungkit pernyataan lama Luhut Panjaitan, saat menjabat Kepala Staf Presiden yang menyebut perpanjangan kontrak Freeport sia-sia karena akan habis 2021.

Baca: Rayakan 5 Tahun Pernikahan yang Sempat Kontroversial, Asmirandah Unggah Momen yang Belum Terungkap

Baca: 3 Hari, Dishub Tindak 25 Truk Batu Bara, Tingkat Angkutan Batu Bara Yang Melanggar Aturan Berkurang

Baca: Ada Kekosongan di 4 KPU di Jambi, Ini yang Dilakukan Korwil

Baca: Pengadaan Alat Kelengkapan Diserahkan ke KPU Kabupaten/Kota, Ini Rincian Kelengkapannya

Untuk diketahui, Inalum pada Jumat (21/12/2018) meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen sekaligus berhak menjadi pengendali perusahaan pengelola kekayaan emas, perunggu, dan perak di Papua tersebut sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041.

''Kalau kontraknya habis 2021, itu milik kita 100%.
Dengar beliau ngomong..!!

Semoga para bong200 sekolam segera sadar bahwa bong cm dibohongi,'' ujar Ferdinand di akunnya, Senin (23/12/2018)

Lalu Ferdinand mengunggah video Luhut yang menyebut perpanjangan kontrak Freeport sebelum 2019 itu adalah pelanggaran UU
''Luhut bilang perpanjangan kontrak sebelum 2019 itu adalah pelanggaran UU.''

Unggahan ini di-tag pada Prof Mahfud MD dan meminta pendapatnya tentang pernyataan Luhut ini.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pun dengan gamblang menjawab pertanyaan Ferdinand.

''Ya, sy punya jawabannya. Itu penjelasan LBP dgn penuh semangat nasionalisme, tp blm membaca kontraknya. Stlh tahu isi kontraknya, ya, beda. Sudirman Said, yg dikenal bersih dan nasionalis jg ingin begitu, tp nyatanya tak bisa. Makanya dia melakukan langkah2 yg dulu disalahpahami,'' ujar Mahfud di akun twitternya.

Baca: Letusan Krakatau 1883 Timbulkan Gelombang Laut 40 Meter, Tsunami Selat Sunda Telan 36.000 Jiwa

Baca: Aura Kasih Menikah dengan Eryck Amaral? Ini Fakta-fakta tentang Lelaki Pendampingnya

Baca: Jokowi Meninjau Tsunami Banten dan Lampung Hingga Menarik Ilmuwan Dunia Ingin Meneliti Fenomena Ini

Baca: Versi Vulkanolog ITB Sebut 4 Kemungkinan yang Menjadi Penyebab Tsunami Banteng dan Lampung

Mahfud menambahkan dulu juga Sudirman Said saat menjabat Menteri ESDM diserang habis oleh Fadli Zon karena memberi izin ekspor konsentrat kpd Freeport.

Awalnya Mahfud setuju sikap Fadli Zon, tapi setelah Sudirman Said menunjukkan dokumennya, Mahfud berbalik.

''Dulu Sudirman Said (SS) diserang habis oleh Fadli Zon (FZ), katanya hrs dipenjarakan krn memberi izin ekspor konsentrat kpd Freeport. Saat itu Sy setuju FZ, tapi SS menunjukkan dokumen2 kpd sy, dan sy dukung SS melawan DPR maupun FZ. SS menang di DPR. Msh ingat, kan? Blm lama kok,'' katanya.

Inalum Jelaskan Kontrak Karya Freeport

Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum, Rendi A Witular, buka suara terkait kabar yang beredar tersebut.

“Kami menyayangkan adanya beberapa pengamat yang tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya tetapi berani membuat analisa yang menyesatkan publik seolah-olah kami membeli tanah air sendiri,” ujar Rendi A Witular sesuai dengan informasi yang Kompas.com terima, Minggu (23/12/2018).

Memahami kontrak karya pemerintah dengan PTFI

PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 (Era Soeharto) lalu diperbarui pada 1991 dengan masa operasi hingga 2021.

Terkait dengan masa operasi tersebut, Perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.

Dalam pengertian FCX, benar KK akan berakhir pada 2021, namun mereka memiliki hak untuk mengajukan perpanjangan 20 tahun lagi yang artinya PTFI akan bertahan hingga 2041.

Baca: Mengapa Natal Dirayakan Tanggal 25 Desember? Begini Kisah Awal Mula Perayaan Kelahiran Yesus

Baca: Terungkap 4 Penyebab Tsunami di Selat Sunda Menurut Vulkanolog ITB yang menelan Korban 222 Orang

Baca: 12 Tsunami Terbesar yang Terjadi dalam Sejarah Manusia, Kecepatan Air ada yang Sampai 321 Km/jam

Ruang gerak pemerintah untuk menahan atau menunda perpanjangan PTFI hingga 2041 juga dipersempit.

Namun jika bersikeras, pemerintah bisa menyelesaikan persoalan lewat pengadilan internasional (arbitrase).

Hitung-hitungan jika seandainya mengambil jalur arbitrase Mengambil jalur arbitrase rupanya tak luput dari masalah meski pemerintah menang dalam pengadilan.

Mengingat operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan, dampaknya justru akan sangat luas.

Seperti contoh, mengingat tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia, ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi.

Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terganggu karena sekitar 90 persen masyarakat sangat bergantung dari kegiatan PTFI.
Itu pun jika pemerintah Indonesia menang, lalu bagaimana seandainya kalah dalam pengadilan arbitrase?

Dampaknya bisa jauh lebih pelik lagi. Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi mengingat sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun.

Suramnya lagi, di KK tersebut pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis.

Terkait KK, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan wajar saja jika PTFI mengancam akan membawa ke arbitrase jika dipaksa mendivestasikan saham 51 persen kepada Indonesia, mengingat sistem KK yang sifatnya sah di mata hukum.

“Meski bisa dihadapi tetapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika ke arbitrase,” tutur Mahfud. (*)

Baca: Siapakah 9 Naga Konglomerat Indonesia? Berpihak ke Prabowo atau Jokowi, Ini Jawaban Tim Sukses

Baca: Kumpulan Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru Dalam Bahasa Inggris dan Indonesia

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved