Tak Gentar Hadapi Penjajah, Soeharto Malah Ciut Saat Dengar Nama Sosok Wanita Satu ini

Siapa tak kenal Soeharto, orang yang pernah menjadi penguasa Indonesia selama 31 tahun (12 Maret 1967 - 21 Mei 1998).

Editor: Andreas Eko Prasetyo
IST
Soeharto 

TRIBUNJAMBI.COM - Siapa tak kenal Soeharto, orang yang pernah menjadi penguasa Indonesia selama 31 tahun (12 Maret 1967 - 21 Mei 1998).

Meski raganya kini telah tiada, namun kisah-kisah hidupnya abadi dalam sejarah.

Kisah cinta Soeharto dan Sri Hartinah (Ibu Tien) salah satunya. Kisah cinta keduanya dianggap sebagai kisah cinta yang romantis.

Meski Soeharto menjadi tentara semasa zaman Perang Kemerdekaan, tak lantas dia bertemu Tien dalam medan juang.

Baca: Soeharto, Anak Broken Home yang Masa Kecilnya Sangat Doyan Naik Kerbau

Baca: Kalyana Anjani Lulus ITB di Usia 18 Tahun 11 Bulan, Leap Time jadi Kisah Inspiratif

Petemuan keduanya jauh dari hal itu, namun bukan berarti romansa mereka biasa saja.

Bahkan hingga akhir hayat keduanya, hanya ada Tien di hati Soeharto dan hanya ada Soeharto di hati Tien.

Soeharto dan Hartinah memang kenal sejak kanak-kanak.

Keduanya bersekolah di sat SMP di Wonogiri, Jawa Tengah.

Soeharto dan Ibu tien Soeharto
Soeharto dan Ibu tien Soeharto (istimewa)

Di sana, Hartinah adalah adik kelas Soeharto. Kebetulan dia satu kelas dengan Sulardi, sepupu Soeharto.

Soeharto sendiri tidak pernah menunjukkan tanda-tanda suka pada Hartinah.

Sementara Hartinah sempat berkelakar kepada Sulardi bahwa suatu saat nanti dirinya akan menjadi kakak ipar Sulardi.

Selepas sekolah, keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan ke PETA dan terjun ke dunia ketentaraan. Sementara Hartinah aktif di Laswi dan PMI.

KETIKA NYALI SOEHARTO CIUT

Yogyakarta, 1947. Suatu hari, Soeharto yang sudah menginjak 27 tahun, bertandang ke kediaman keluarga Prawirowiardjo yang lama mengasuhnya.

Keluarga bibi dan pamannya itu belum lama pindah ke Yogyakarta dari Wuryantoro, Wonogiri.

"Harto," kata Bu Prawiro, adik Pak Karto, ayahanda Soeharto.

"Sekarang umurmu sudah 27 tahun," lanjutnya, "Sekalipun engkau bukan anakku sendiri, aku sudah mengasuhmu sejak ayahmu mempercayakan engkau pada kami. Aku pikir, sebaiknya segera mencarikan istri untukmu."

O.G. Roeder dalam Soeharto -Dari Pradjurit Sampai Presiden-, buku biografi pertama presiden kedua RI, mengisahkan, bahwa Soeharto sempat ngeles menyikapi tawaran bibinya.

Dia beralasan masih ingin berkonsentrasi di dunia militer. Tapi setelah dibujuk terus menerus, akhirnya Soeharto luruh juga.

Baca: TMMD ke-103, Sebanyak 150 Personel TNI AD dan Polri Ditempatkan di Rumah Warga Dusun Duri 5 Sei

Baca: GMHP, KPU Tebo akan Temui Suku Talang Mamak di Semerantihan

Presiden Soeharto menerima sungkem dari Ibu Tien Soeharto pada hari Idul Fitri 1 Syawal 1415 Hijriah, 3 Maret 1995.
Presiden Soeharto menerima sungkem dari Ibu Tien Soeharto pada hari Idul Fitri 1 Syawal 1415 Hijriah, 3 Maret 1995. (ISTIMEWA)

Dia pun berkata, siapa kiranya yang akan dijodohkan dengan dirinya.

Bu Prawiro tersenyum. Dia berkata pelan bahwa Soeharto sebenarnya sudah kenal dengan gadis tersebut.

“Masih ingatkah kamu dengan Sri Hartinah,” kata Bu Prawiro seperti dikisahkan di buku Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto.

Soeharto mana mungkin lupa. Adik kelas manis yang suka mengolok-olok sepupunya sebagai adik ipar.

Mendadak nyali Soeharto menciut. Hartinah adalah keluarga ningrat. Putri RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo, wedana dari Kraton Mangkunegaran, Surakarta.

Baca: KPU Tanjabtim Tetapkan Zonasi Pemasangan Alat Peraga Kampanye, Ini Aturannya

Baca: Modus Baru Selundupkan Narkoba Sabu Cair Diungkap Polres Tanjabbar, Pelaku Jaringan Internasional

Mana mungkin pria dari kelas bawah macam dirinya, bisa bersanding dengan putri ningrat. Begitu pikir Soeharto. "Tapi bu, apakah orangtuanya akan setuju? Saya orang kampung biasa. Dia orang ningrat…"

Bu Prawiro meyakinkan bahwa dirinya cukup dekat dengan keluarga Soemoharjomo. Selain itu, “Keadaan sudah berubah,” terang Bu Prawiro.

Hartinah sendiri dikabarkan sempat membuat pusing keluarganya. Sebab berkali-kali dia menolak lamaran banyak pria yang meminangnya.

CINTA DATANG KARENA TERBIASA

Tak lama setelah pertemuan itu, Soeharto dan keluarga bibinya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo, dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Hartinh, calon istrinya.

Dalam pertemuan yang dalam adat Jawa disebut “nontoni” itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” Soeharto membatin.

Kenyataannya, keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto.

Pernikahan dilakukan pada 26 Desember 1947. Resepsinya sangat sederhana. Pada malam hari hanya bercahayakan temaram lilin. Tak dihadiri banyak tamu. Saat itu Soeharto berumur 26 dan Hartinah 24.

Baca: Live Indosiar dan Link Live Streaming Borneo FC vs PSM Makasar, Kick Off 15.30

Ibu Tien Soeharto
Ibu Tien Soeharto (Net)

Menurut RE. Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik, hubungan cinta dua sejoli yang berbeda latar belakang status sosial itu diuntungkan oleh situasi zaman revolusi.

Era revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.

Itulah yang membuat gambaran Soeharto berbeda di depan mata calon mertuanya, selain tentu saja karena hubungan dekat keluarga pamannya dengan orangtua Hartinah.

“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, ‘witing tresna jalaran saka kulina,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.

HINGGA MAUT MEMISAHKAN

Tak ada bulan madu bagi mereka karena tiga hari setelah pernikahan, Soeharto harus kembali ke Yogyakarta untuk berdinas. Mereka pun tinggal di Jalan Merbabu Nomor 2.

Seminggu setelah itu, Soeharto harus meninggalkan sang istri karena ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang.

Menjadi istri tentara di zaman Perang kemerdekaan memang berat. Bahkan, saat harus melahirkan anak pertamanya, Hartinah terpaksa tak bisa ditemani Soeharto yang sedang bertempur. Meski begitu, dia tetap tegar dan setia.

Baca: Diki Bilang Sudah Ada Pendataan untuk Pemilu 2019 di Suku Talang Mamak

Pernah suatu hari, Soeharto terlihat penat karena tugas militer dan hampir menyerah. Hartinah dengan lembut berkata, “Aku dulu menikah dengan tentara, bukan dengan sopir. Jadilah tentara yang bermartabat.”

Pepatah bahwa di belakang pria hebat pasti ada wanita yang tangguh sepertinya memang benar adanya.

Dalam otobiografinya, Soeharto menulis ia dan sang istri selalu menjaga ketentraman rumah tangga dengan cinta dan pengertian.

Tak bisa dipungkiri, cinta kasih dan dukungan yang diberikan Hartinah menjadi pendorong karir Soeharto sebagai presiden.

Laiknya pasangan lain, cemburu dan cekcok suami istri juga dialami Soeharto. Namun baik Soeharto maupun Hartinah bisa menempatkan kecemburuan secara bijak.

"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto," demikian tulis kata Pak Harto.

Baca: Peziarah Akan Diusir Bila Tak Ikuti 10 Aturan ini Saat Berkunjung ke Makam Soeharto

Selama 49 tahun mereka hidup berdampingan. Sampai Hartinah berpulang pada 1996. Dan, 12 tahun kemudian, Soeharto menyusul wanita terkasihnya untuk kembali bersama. (YPM)

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved