Saat Komandan Kompi Kopassus ini Harus Memangku Jasad Prajurit Terbaiknya di Medan Perang
Tiba-tiba ada teriakan meminta pertolongan medis. Seorang prajurit terkena tembakan di kepala.
TRIBUNJAMBI.COM - Kapten Pasukan (Psk) Yudi Bustami, pemimpin Kompi C YonGab nekat mengevakuasi anggotanya yang terkena tembakan di kepala, meski Yudi harus menjadi 'Tameng Hidup' dari tembakan musuh
Peristiwa haru ini berawal dari konflik di Ambon tahun 1999
Dikutip dari buku 'Biografi Marsma (Purn) Nanok Soeratno, Kisah Sejati Prajurit Paskhas' yang ditulis Beny Adrian dan diterbitkan PT Gramedia
Konflik Ambon menjadi catatan kelam bagi Indonesia.
Konflik SARA ini meletus dan mengakibatkan korban jiwa.
Baca: Anggap Remeh Indonesia, Belanda Terkejut Saat Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Lakukan Infiltrasi Udara
Baca: 3 Pemuda Ini, Coba Selundupkan Sabu Ke dalam Lapas Muara Sabak, Ini Akibatnya
Situasi semakin buruk, saat gudang senjata Brimob dijarah dan sejumlah oknum anggota TNI maupun Polri yang desertir bergabung dalam kerusuhan berdarah itu.
Mabes TNI kemudian mengirimkan batalyon elite yang terdiri dari Sat Bravo 81 Kopassus, Denjaka Marinir dan Bravo Paskhas.
Mereka ditugaskan selalu bergerak untuk menghentikan baku tembak di titik-titik konflik sekaligus mencegahnya agar tak meluas.
Kompi C YonGab bergerak ke Saparua.
Di sebuah desa, pasukan ini terlibat baku tembak yang sengit dengan kelompok perusuh.
Kapten Psk Yudi Bustami yang memimpin kompi itu mengingat, dari gaya menembak dan perlawanan mereka diketahui bahwa kelompok perusuh merupakan orang-orang yang terlatih.
Tiba-tiba ada teriakan meminta pertolongan medis. Seorang prajurit terkena tembakan di kepala.
Korban tertembak adalah Serda Asrofi, Komandan Regu dari Kopassus.
Baca: Anggota RPKAD ini Nekat Bertahan di Tumpukan Jenazah Rekannya Demi Hindari Prajurit Belanda
Asrofi awalnya berlindung di balik tembok.
Dia tertembak sedetik setelah melongokan kepalanya untuk melihat situasi.
Rupanya, penembak jitu sudah mengincar posisi pasukan ini.
Peluru menghantam helm kevlarnya.
Mengenai pelipis kiri, hingga tembus ke pelipis bagian kanan.
Yudi segera memerintahkan tindakan evakuasi.
Saat itu masih terdengar erangan kesakitan dari Serda Asrofi.
Yudi meyakini nyawa sersan pemberani ini masih bisa diselamatkan, karena ada kapal TNI AL yang masih standby di perairan Saparua.
Baca: Sering Buat Tentara Asing Bergidik, Aksi Gigit Ular Berbisa dari Kopassus Ada Trik & Doa Khususnya
Bukan perkara mudah melakukan evakuasi di tengah pertempuran.
Empat personel yang mengangkut tandu darurat tentu bakal jadi santapan empuk tembakan para perusuh.
Yudi melakukan tindakan berani.
Dia berlari di belakang tandu untuk menjadi tameng hidup bagi para prajuritnya yang memegang tandu.
Saat tandu berhenti sejenak di bawah sebuah pohon Ketapang, tepat di perbatasan Kampung Sori Muslim dan Kristen, Kopda Asep memeriksa kondisi Serda Asrofi.
Tarikan nafasnya makin lemah. Tamtama medis itu lalu berbisik pada Yudi.
“Komandan, ini tidak akan sampai di kapal,” kata Asep.
Yudi mencoba bersikap bijak. “Mari doakan yang terbaik,” ujarnya lirih.
Baca: Sering Buat Tentara Asing Bergidik, Aksi Gigit Ular Berbisa dari Kopassus Ada Trik & Doa Khususnya
Tubuh Asrofi terkulai melemah di pangkuan Asep yang dengan telaten merawat rekannya itu.
Suasana haru, di dalam hati masing-masing terucap doa pada Tuhan, agar prajurit terbaik itu bisa selamat dan kembali ke rumah menemui keluarganya.
Namun, hari itu takdir berkata lain, TNI kehilangan seorang prajuritnya di medan tugas Tanah Saparua.
Tepat di bawah Pohon Ketapang itu, Serda Asrofi gugur di pangkuan Kopral Asep Darma.
Yudi menolak memakamkan Serda Asrofi di desa Muslim atau Kristen.
Yudi lebih memilih untuk membawa pulang jenazah anak buahnya itu.
Kejadian itu menyadarkan warga dua desa, bahwa tak ada keberpihakan YonGab di Ambon.
Bahkan, salah seorang prajuritnya harus gugur karena mendamaikan kelompok yang bertikai.
Kompi C terus berada di Saparua selama tiga minggu lamanya.
Baca: Update CPNS 2018 - Ukuran dan Format Dokumen di sscn.bkn.go.id, Pendaftaran Sisa 3 Hari
Mereka meneruskan tugas untuk merazia senjata api dan mendamaikan konflik SARA yang membuat Ambon berdarah.
Kisah Pilu Operasi Kopassus di Kota Dili
TNI menggelar operasi lintas udara terbesar untuk menguasai Kota Dili, Timor Portugal pada 7 Desember 1975
Operasi ini menorehkan pengalaman tersendiri di benak para prajurit yang bertugas saat itu
Dikutip dalam buku Hari "H": 7 Desember 1975, Reuni 40 Tahun Operasi Lintas Udara di Dili, Timor Portugis yang disunting Atmadji Sumarkidjo dan diterbikan penerbit Kata.
Operasi tersebut menerjunkan hampir 270 orang Prajurit Para Komando dari Grup I Kopasandha (kini Kopassus TNI AD) dan 285 prajurit Yonif 501.
Banyak kelemahan dari operasi penyerbuan itu, seperti salah satunya data intelijen yang salah.
Data intelijen menyebutkan bahwa musuh yang menjaga Kota Dili hanya sekelas dengan Hansip dan itu merupakan salah besar.

Cukup banyak korban jiwa yang gugur dalam misi tersebut.
Kopasandha kehilangan 19 prajurit, sedangkan dari Yonif 501 gugur 35 orang.
Pasukan Grup I Kopasandha bertugas sekitar empat bulan di Timor Timur.
Mereka diterjunkan mulai 7 Desember 1975 hingga 31 Maret 1976.
Pasukan inilah yang melewati masa-masa terberat di awal Operasi Seroja.
Hampir tidak ada hari yang dilewatkan tanpa penyergapan dan tembak menembak.
Akhirnya, mereka pun ditarik pulang ke Home Base di Cijantung dengan menumpang kapal KM Tolanda.
Sesampainya di Tanjung Priok, puluhan truk sudah menunggu untuk membawa mereka pulang ke Cijantung yang berada di Jakarta Timur.
Baca: Layanan Indosat Ooredoo di Wilayah Gempa Palu dan Donggala sudah Bisa Digunakan sejak 1 Oktober
Kapten Bambang Mulyanto mengingat perjalanan itu terasa sangat lama.
Para prajurit sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan keluarga yang sudah ditinggalkan empat bulan lamanya.
Kapten Bambang menceritakan tiba di asrama Kopasandha, Cijantung, terlihat ibu-ibu, anak-anak, dan masyarakat berdiri berbaris di sepanjang jalan.
Mereka melambai-lambaikan tangannya menyambut para pahlawannya masing-masing yang telah kembali dari medan perang.
Pada saat truk berhenti, berhamburanlah mereka mencari suami, ayah, keluarga atau teman mereka.
"Ada satu hal yang membuat saya menitikkan air mata ketika menyaksikan putra almarhum Koptu Samaun berlari kian kemari mencari ayahnya yang sudah gugur dan dikebumikan di Timor Timur," kenang Kapten Bambang sedih.
Baca: Ada 6 Orang Dilaporkan Terkait Gratifikasi di Wilayah Muarojambi
Rupanya sang ibu tak berani menceritakan pada anaknya bahwa sang ayah sudah gugur.
Karena itulah bocah malang itu masih berlari-lari ingin menyambut ayahnya yang hilang.
Kopral Satu Samaun gugur pada tanggal 7 Desember 1975 di tengah pertempuran merebut Kota Dili.
Dia mendapat kenaikan pangkat anumerta menjadi sersan dua.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: