HUT TNI ke 73
Ketika Pilot Jagoan TNI AU ini Marah Lihat Jenderal-jenderal Makan Daging, Namun Prajurit Cuma Tempe
Leo berjasa besar membangun kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di era 1950 dan 1960an.
Penulis: Andreas Eko Prasetyo | Editor: Andreas Eko Prasetyo
Dua tahun kemudian dia kembali dikirim ke Rusia untuk mempelajari jet tempur MiG 15 dan 17.
Baca: Saat Para Prajurit TNI AU Bangga dan Senang Ditampar Oleh Sosok ini Bila Berbuat Kesalahan
Baca: Ada Kuota Untuk Kaum Disabilitas di CPNS 2018, Waldi: Kecuali Untuk Tuna Netra
Pesawat terbaik pada masa itu. Lalu dia ke Mesir untuk mempelajari aneka teknik pertempuran.
Karir Leo melesat secepat pesawat jet yang dikemudikannya. Mulai dari komandan skadron pesawat pancar gas hingga menjadi Panglima Angkatan Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara tahun 1962.
Usianya saat itu baru 35 tahun dan sudah menjadi jenderal bintang satu.

Komodor Leo Wattimena juga dikenal egaliter dan selalu memperhatikan para prajuritnya lebih dulu. Saat mempersiapkan misi penyerbuan Irian Barat,
Leo melihat para prajurit cuma diberi makan tempe. Padahal mereka akan diterjunkan di belantara Irian dan belum tentu pulang dengan selamat.
Sementara itu, Leo melihat para jenderal yang cuma duduk-duduk di belakang meja enak-enak makan daging ayam.
Leo marah besar. Dibuangnya jatah makanannya sebagai bentuk protes untuk anak buah yang mau bertempur.
Itulah Leo, pilot dan komandan jagoan yang sangat peduli pada prajurit rendahan.
Setelah Presiden Soeharto berkuasa, satu per satu Jenderal yang dianggap sebagai saingan atau membahayakan dikirim sebagai Duta Besar. Istilah Orde Barunya Didubeskan.
Baca: Kopassus di Mata Dunia dengan 6 Kehebatannya yang Buat Militer Negara Lain Jadi Ciut
Baca: Soeharto Minta Pasukan Tangguh ke LB Moerdani Untuk Lindungi Presiden Filipina dari Kudeta
Mayjen Hartono, komandan Kko TNI AL (kini Marinir), dikirim sebagai Duta Besar di Korea Utara. Sementara Marsekal Muda Leo Wattimena menjadi Duta Besar di Italia.
Mayjen Sarwo Edhie Wibowo awalnya juga hendak dibuang ke Moscow, namun tidak jadi. Belakangan Sarwo didubeskan di Korea Selatan.
Semangat Leo langsung hilang. Menjadi Dubes berarti harus berpisah dengan pesawat tempur kesayangannya.
Seumur hidup yang dicita-citakan Leo hanya menjadi pilot tempur bukan diplomat berdasi.
Setelah masa dinasnya habis, Leo kembali ke Indonesia.
Kondisi kesehatannya terus memburuk. Dia meninggal dunia dalam usia 47 tahun. Jenazah Marsekal Muda yang berani itu dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Nama Leo Wattimena diabadikan sebagai nama Lapangan Udara di Moro.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: