Saksi Bisu dari Ruang Forensik Korban G 30S PKI, Tak Ada Cukil Mata dan Aksi Iris Pakai Silet

Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik pemerintah militer ramai-ramai memuat kekejaman perisitwa penculikan enam

Editor: Suci Rahayu PK
Intisari
Monumen Pancasila Sakti yang dibangun di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur 

Penganiayaan benda tumpul: empat jari kanan.

S. Parman

Luka tembak masuk: 1 di dahi kanan, 1 di tepi lekuk mata kanan, 1 di kelopak atas mata kiri, 1 di pantat kiri, 1 paha kanan depan.

Luka tembak keluar: 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di perut kiri, 1 di paha kanan belakang.

Luka tidak teratur: 2 di belakang daun telinga kiri, 1 di kepala belakang, 1 di tungkai kiri bawah bagian luar, 1 di tulang kering kiri.

Kekerasan tumpul: tulang rahang atas dan bawah.

D.I Panjaitan

Luka tembak masuk: 1 di alis kanan, 1 di kepala atas kanan, 1 di kepala kanan belakang, 1 di kepala belakang kiri.

Luka tembak keluar: 1 di pangkal telinga kiri.

Kondisi lain: punggung tangan kiri terdapat luka iris.

P. Tendean

Luka tembak masuk: 1 di leher belakang sebelah kiri, 2 di punggung kanan, 1 di pinggul kanan.

Luka tembak keluar: 2 di dada kanan.

Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan, 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di puncak kepala.

Kondisi lain: lecet di dahi dan pangkal dua jari tangan kiri.

Membuat putri jenderal marah

Salah satu anggota tim forensik yang berusaha membeberkan apa yang sebenarnya terjadi pada para jenderal yang menjadi korban G30S adalah dr. Lim Joe Thay.

Lim tak pernah risau karena puluhan tahun tidak bisa mengungkapkan kebenaran. Ia masih bisa bercerita pada murid-muridnya di bangku kuliah kedokteran forensik. Terkadang ia prihatin, karena ada bagian keping sejarah yang salah dan tak pernah berusaha diluruskan, tapi terus beredar di masyarakat.

Meski sudah beberapa media mencoba mengungkap kasus tersebut, tapi tidak ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk meluruskannya.

Tapi, suatu saat Arsip Nasional RI pernah menghubunginya untuk meminta konfirmasi terkait apa yang dia dapat di bangsal forensik malam itu.

Lim termasuk yang paling keras soal laporan ini. Ia menuliskan apa yang didapat meski “tak berguna” karena tekanan rezim.

Laporannya baru benar-benar terpakai saat seorang Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, saat menulis “How Did the Generals Die?” yang ia muat di jurnal Indonesia pada 1987.

Akibat kegigihannya itu, Lim juga pernah ditelepon oleh salah satu putri korban. Lim dimarah-marahi karena dianggap berusaha menghilangkan kenyataan telah terjadi penyiksaan terhadap para jenderal.

Lalu munculnya quote sakti itu dari dr. Lim, “Meluruskan fakta sejarah tidak akan mengurangi derajat kepahlawan para Pahlawan Revolusi.”

Belakangan, Lim baru mengetahu kenapa putri jenderal itu marah, karena si putri membaca sebuah artikel majalah yang keliru mengutip kalimat Lim. Akibatnya, Lim kena semprot.

(Tjahjo Widyasmoro/Intisari)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved