Kisah Pemberian Hukuman Kompeni Ternyata Sama Sadisnya dengan Hukuman dari Raja Mataram
Hukuman dera dengan cambuk rotan atau cambuk bergerigi adalah soal biasa yang dapat disaksikan penduduk hampir setiap hari.
Akan tetapi lebih sering sang Raja mengutus salah seorang punggawanya melaksanakan eksekusi itu. Sebagai bukti bahwa eksekusi telah dilaksanakan, punggawa tadi biasanya akan membawa kepala si korban ke hadapan Raja.
Anehnya, seringkali seorang terhukum yang menerima putusan Raja yang dibawa punggawa tadi sama sekali tidak menolak atau memberontak, meskipun ia seorang Bupati atau Pejabat Tinggi lainnya.
Baca: Inilah Jumlah Kerugian Harta Benda Buntut Kerusuhan Antara Warga Seleman dan Pentagen Kerinci
la akan pasrah dan rela ditikam untuk kemudian dipenggal kepalanya, seolah-olah memang telah menjadi suratan nasibnya menjalani hukuman itu.
Kitapun yang sering mendengar atau membaca dongeng-dongeng sedemikian itu jadi terbiasa pula, meskipun tuduhan yang ditimpakan oleh Raja hanya soal sepele saja. Hati kita baru "tergugah" bila cara melaksanakan eksekusi itu begitu kejam menurut pandangan sekarang.
Misalnya saja, nasib yang dialami seorang pegawai VOC bernama Antonio Paulo. la ditawan di Jepara tahun 1631 bersama dengan 24 orang temannya.
Baca: Soal Vaksin MR, MUI: Kami Tidak Pernah Bilang Haram. Hanya Belum Ada Sertifikasi Halalnya
Pada tahun 1634 ia dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung dengan jalan melemparkannya ke dalam kandang buaya. Ketika tahun 1646 dilakukan pertukaran tawanan antara VOC-Mataram, ternyata ke 24 orang rekan Antonio Paulo tidak ada lagi.
Kemungkinan besar mereka juga menjadi umpan hewan-hewan ganas tadi.
(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1976)
SUMBER LAINNYA: Intisari online
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: