Tahukah Kamu! Ternyata Bukan Semen yang Digunakan Nenek Moyang Dahulu Untuk Rekatkan Bangunan
Pertama kali ditemukan di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, dekat teluk Napoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
Baca: Lihat Tingkah Ivan Gunawan yang Aneh Setelah Cita Citata Bocorkan Perasaan Ayu Ting Ting
Dinamai begitu karena warna hasil akhir olahannya mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang sekarang banyak dipajang di toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan dua bahan utama, batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak mengandung silika (sejenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida (alumina) serta oksida besi.
Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai terbentuk campuran anyar.
Selama proses pemanasan, terbentuklah campuran padat yang mengandung zat besi. Nah, agar tak mengeras seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan dihaluskan hingga berbentuk partikel-partikel kecil mirip bedak.
Baca: Sejak Lahir Tidak Pernah Bertemu Sang Ayah, Pertemuan Dramatis Mereka Pun Jadi Viral
Lazimnya, untuk mencapai kekuatan tertentu, semen Portland berkolaborasi dengan bahan lain. Jika bertemu air (minus bahan-bahan lain), misalnya, memunculkan reaksi kimia yang sanggup mengubah ramuan jadi sekeras batu.
Jika ditambah pasir, terciptalah perekat tembok nan kokoh. Namun untuk membuat pondasi. bangunan, campuran tadi biasanya masih ditambah dengan bongkahan batu atau kerikil, biasa disebut concrete alias beton.
Beton bisa disebut sebagai mahakarya semen yang tiada duanya di dunia. Nama asingnya, concrete - dicomot dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya bersama-sama, dan crescere (tumbuh).
Maksudnya kira-kira, kekuatan yang tumbuh karena adanya campuran zat tertentu. Dewasa ini, nyaris tak ada gedung pencakar langit berdiri tanpa bantuan beton.
Baca: Tidak Akui Pernah Menikah dengan Kriss Hatta, Hilda Vitria Ungkap Alasannya Pilih Billy Syahputra
Meski bahan bakunya sama, "dosis" semen sebenarnya bisa disesuaikan dengan beragam kebutuhan.
Misalnya, jika kadar aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan bahan bangunan lainnya bisa menghasilkan bahan tahan api. Ini karena sifat alumina yang tahan terhadap suhu tinggi.
Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena campurannya bisa mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.
Manusia modern memang tak bisa berkelit dari semen. Barangkali itu sebabnya, meski harga jualnya di pedalaman Papua bisa Rp 300.000,- - Rp 700.000,- per zak (di Pulau Jawa cuma puluhan ribu saja), semen tetap saja dicari. (Icul/dari berbagai sumber – Intisari Agustus 2001)