EDITORIAL

Hate Speech

Meski sudah beberapa pelaku berurusan dengan hukum akibat hate speech di media sosial, namun sepertinya belum membuat jera sebagian pihak.

Editor: Duanto AS

LAGI-LAGI pelaku ujaran kebencian menemui batu sandungannya. Meski sudah beberapa pelaku berurusan dengan hukum akibat hate speech di media sosial, namun sepertinya belum membuat jera sebagian pihak.

Adalah pemilik akun bernama Nunik Wulandari di Facebook, celoteh penuh kebencian di media sosial tampaknya akan berujung jeruji besi.

Nunik dilaporkan Ketua Aliansi Masyarakat Luat Pahae (AMPL) Lamsiang Sitompul ke Polda Sumut karena diduga menghina Presiden Republik Indonesia (RI) dan Suku Batak di media sosial.

Selain Nunik, unggahan (upload) gambar serta kata-kata pada media sosial Facebook juga disuguhkan pemilik akun bernama Andi Redani Putribangsa yang mengandung unsur dugaan penghinaan harkat martabat dan harga diri, yang juga dianggap mempermalukan komunitas Suku Batak.

Belum lagi usai proses pemeriksaan terhadap Ahmad Taufik (41), tersangka hate speech kasus kerusuhan di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara awal Agustus ini. Meski tidak diharuskan mendekam di balik jeruji besi karena mengalami sakit stroke ringan, namun proses hukum terhadapnya tetap akan dilanjutkan.

Hate speech, apa lagi yang berisi ajakan/imbauan memang mengundang bahaya jika tidak diatasi, apalagi dibiarkan terus-menerus. Pada kasus Tanjung Balai, selain Ahmad Taufik, beberapa pelaku penebar kebencian di medsos di Sumatera Utara juga ditangkap di sana.

Berkaca dari kasus sebelumnya, polisi menilai posting-an di medsos seperti yang dilakukan Taufik justru semakin menyebarkan konflik. Contohnya saat pertandingan sepakbola di Gelora Bung Karno dan demonstrasi sopir taksi di Senayan.

Muara dari ujaran kebencian tidak hanya mengancam keselamatan manusia juga sudah cukup banyak aset pribadi/infrastruktur yang rusak sehingga merugikan seseorang maupun pemerintah secara materil. Pada kasus Tanjung Balai beberapa rumah ibadah dan tempat tinggal musnah terbakar, untungnya tidak ada korban nyawa dalam kasus itu.

Namun, dalam kasus pertandingan sepakbola di Gelora Bung Karno seorang pedagang justru tewas diamuk massa karena dianggap sebagai pendukung lawan.

Ujaran kebencian terhadap daerah/adat tertentu juga pernah terjadi di Yogyakarta dua tahun lalu.
Florence Sihombing, mahasiswi S2 UGM yang memaki Kota Yogyakarta melalui Path itu akhirnya meminta maaf kepada masyarakat dan Raja Keraton Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Untuk presiden RI, Joko Widodo yang kerap menjadi sasaran hate speech juga pernah dilaporkan ke polisi. Namun tersangka kemudian dimaafkan, dan kasus hukumnya tidak berlanjut. Magician Deddy Corbuzier juga pernah memperkarakan pemilik akun twitter yang menghinanya dan proses hukumnya tetap berlanjut.

Penyesalan memang selalu datang belakang. Hampir semua pelaku hate speech pada akhirnya menyampaikan penyesalan dan mengucapkan maaf kepada pihak-pihak yang telah dirugikan akibat ujarannya.

Namun, hukum tetaplah hukum yang harus ditegakkan, sehingga bisa memberi efek jera kepada personal untuk lebih berhati-hati ke depannya dalam menggunakan media sosial.(*)

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved