Seks Itu yang Penting Rasanya Bukan Gayanya
TRIBUNJAMBI.COM-Dalam sebuah guyonan, seks seperti slogan iklan sebuah merek sepatu olahraga, "Just do it!" Lakukan saja, tak usah
Karena cara pandangnya ini, cara mereka mengukur kepuasan seksual pun berbeda dengan cara kebanyakan orang. "Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tapi saya kira banyak kok perempuan yang menikmati hubungan seks dalam bentuk disayang-sayang, dibelai, dipeluk, dicium, tidak harus dibuat orgasme," katanya. Karena pandangan seperti ini, mereka berdua tidak mempermasalahkan ejakulasi dini, misalnya. "Kalau cuma urusan nyium, mbelai, sama meluk 'kan tidak harus dalam keadaan ereksi, ha ha ha .... Yang penting 'kan sama-sama senang. Gitu aja kok repot," katanya sambil ketawa.
Revolusi seks
Bagi sebagian orang, pandangan Ari di atas mungkin dianggap terlalu kolot. Terlalu puritan. Apa pun sebutannya, yang jelas Ari tidak seorang diri. Masih banyak orang yang memandang urusan seks secara konservatif — jika istilah ini tepat. Golongan ini terutama diwakili oleh mereka yang masih berusaha berpegang pada nilai-nilai tradisional, terutama agama.
Bahkan, menurut dr. Andik Wijaya, M.Rep.Med., ahli kedokteran reproduksi dari Yada Institute dan Draw Clinic, Surabaya, pandangan konservatif semacam ini merupakan pilihan baik dalam kaitannya dengan kehidupan berumah tangga. Ia menyebut pandangan ini dengan istilah "perilaku seks yang sesuai dalam desain awalnya". Desain awal? Seks punya desain awal? Andik menjawab tegas, "Punya!"
Dalam konteks hubungan pria-wanita, desain awal seks adalah ikatan dua orang dalam institusi perkawinan heteroseks monogami. Dalam konteks gaya bercinta, desain awal seks adalah kontak dua alat kelamin laki-laki dan perempuan dalam posisi face-to-face. Itu tak lain karena secara anatomis, posisi alat kelamin manusia berbeda dengan hewan mamalia lainnya. Pada hewan, alat kelamin mereka sedemikian rupa sehingga kalau melakukan kontak seksual, pejantan harus melakukan penetrasi dari belakang. Bukan face-to-face.
Ini berbeda dengan manusia. Alat kelaminnya terletak di bagian depan tubuh. Sehingga, kalau melakukan hubungan seksual, posisi yang paling sesuai secara anatomis adalah berhadap-hadapan. Perkara sekarang masyarakat mengenal aneka macam gaya bercinta, kata Andik, itu disebabkan oleh pengaruh film-film porno. "Dalam sejarahnya, perilaku seksual manusia seperti ini tidak terjadi begitu saja. Semua bermula dari revolusi seks yang terjadi tahun 1948," katanya.
Menurutnya, sebelum peristiwa revolusi seks ini, aneka gaya bercinta yang bukan face-to-face belum membudaya di masyarakat. Revolusi seks ini awalnya terjadi di Amerika Serikat (AS) lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Pemicunya adalah buku Sexual Behavior in the Human Male tulisan Alfred Kinsey, seorang biolog dan seksolog asal Indiana University, AS.
Lewat buku itu, Kinsey menawarkan pandangan baru tentang seks. Pandangan ini berseberangan dengan pandangan konservatif masyarakat waktu itu yang masih menabukan banyak aktivitas seks. "The only unnatural sex act is that which you can not perform," kata Kinsey. Satu-satunya aktivitas seksual yang tidak alami adalah aktivitas yang tidak bisa dilakukan manusia. Artinya, kalau manusia bisa melakukannya, berarti itu masih terhitung wajar dan natural. Batas yang dipakai oleh Kinsey bukan norma-norma yang dipegang masyarakat pada masa itu. Tak ada batas tabu. Yang ia kenal hanya batas natural dan tidak natural.
Ini kemudian memicu perilaku seksual permisif di masyarakat. Karena batasannya hanya perkara bisa dan tidak bisa dilakukan, maka semua jenis aktivitas yang semula tabu menjadi tidak lagi. Bukan hanya perkara gaya bercinta, tapi juga termasuk hubungan seks di luar institusi pernikahan dan bahkan hubungan seks sejenis. Sepanjang bisa dilakukan, itu masih terhitung natural.
Revolusi seks yang dipicu oleh buku ini lalu semakin mendapat dukungan ketika Hugh Hefner menerbitkan majalah Playboy tahun 1953. Sejak itulah mulai marak film-film yang mengeksploitasi seks. Inilah yang menjadi cikal-bakal perilaku seksual permisif, termasuk budaya gaya bercinta yang — kata Andik — tidak sesuai dengan desain awal seks.
Menurut Andik, posisi standar berhadap-hadapan merupakan posisi hubungan seksual yang terbukti paling efektif menumbuhkan ikatan emosional antara suami-istri. Posisi ini memungkinkan pasangan saling mencium, memandang, dan memeluk dalam kontak fisik yang paling dekat. Dalam poisisi itu, kegiatan seks bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan dimensi relasi, selain rekreasi tentunya.
Menurut Andik, dimensi relasi dan rekreasi ini adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangannya, semua pembicaraan tentang seks tidak bisa dilepaskan dari dimensi relasi dalam institusi pernikahan. Aktivitas seks adalah bentuk penyatuan dua diri. Bukan hanya bersetubuh (menyatukan dua tubuh), tapi juga menyatukan dua emosi. Inilah yang membuat manusia unik di antara mamalia lain.
Andik menjamin, asalkan masing-masing pasangan menanamkan pola pikir tentang desain awal seks ini, keduanya tidak perlu takut jenuh dengan gaya hubungan seks yang monoton. Sebab, kegiatan seks yang demikian akan selalu disertai cinta dan kasih sayang. Gairah seksual mungkin bisa hilang seiring dengan bertambahnya usia pasangan, tapi cinta tidak mengenal kata monoton.
Walhasil, bagi mereka yang memandang seks sesuai dengan desain awalnya seperti Ari dan Andik, hubungan badan ibarat slogan iklan rokok: "Yang penting rasanya, Bung! Bukan gayanya".
(M. Sholekhudin|Intisari)