Seks Itu yang Penting Rasanya Bukan Gayanya

TRIBUNJAMBI.COM-Dalam sebuah guyonan, seks seperti slogan iklan sebuah merek sepatu olahraga, "Just do it!" Lakukan saja, tak usah

Editor: ridwan

TRIBUNJAMBI.COM-Dalam sebuah guyonan, seks seperti slogan iklan sebuah merek sepatu olahraga, "Just do it!" Lakukan saja, tak usah banyak berteori. Tentang cara dan gayanya, ikuti saja slogan iklan sebuah produk deodoran, "Sentuhan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda." Urusan tentang kapan dan di mana dilakukan, seks juga bisa disamakan dengan slogan iklan sebuah produk minuman bersoda, "Kapan saja, di mana saja."

Menurut guyonan-guyonan di atas, seks akan membimbing pelakunya menjadi lebih kreatif dalam semua hal, termasuk dalam gaya bercinta. Sekalipun urusan seks hanya berkisar pada alat kelamin, kita mengenal aneka macam gaya bercinta. Bukan hanya posisi "standar" pria di atas wanita, tapi juga aneka posisi "non-standar", misalnya woman on top (perempuan di atas), posisi miring, gaya monyet memanjat pohon kelapa, doggy style (penetrasi dari belakang), dan entah apa lagi.

Bahkan, variasi gaya bercinta zaman sekarang tidak berhenti pada sebatas kontak antara dua alat kelamin saja. Kini masyarakat juga mengenal seks oral bahkan anal. Semua itu membuktikan bahwa kegiatan seks memang bisa membuat pelakunya kreatif mengembangkan aneka gaya dan variasi posisi.

Bisa dikatakan, saat ini sebagian besar orang menerima aneka gaya bercinta di atas sebagai sebuah kewajaran. Asalkan dilakukan dengan istri atau suami sendiri, semua gaya sah-sah saja, tak perlu merasa bersalah jika melakukannya. Setidaknya fakta ini bisa kita lihat dari media massa. "Saya dan suami suka melakukan hubungan seks di tangga. Enak lo, ada sensasi gimanaaa gitu," kata seorang ibu tanpa malu-malu di sebuah koran online. "Kalau mau mencoba seks di dalam mobil, pakai doggy style aja," kata seorang anggota forum diskusi kepada anggota lain yang sedang minta saran.

Pendek kata, urusan gaya bercinta seks masyarakat zaman sekarang sudah mencapai "puncak kreativitas" yang bagi sebagian orang mungkin masih dianggap tabu. Ini juga sisi lain dari pandangan masyarakat terhadap seks. Namun, tidak semua orang bisa menerima aneka gaya di atas ranjang itu sebagai sebuah kewajaran, sekalipun dilakukan dengan istri atau suami sendiri. "Saya tidak bisa membayangkan melakukan hubungan seks dengan menyuruh istri saya nungging seperti di film-film porno," kata Ari, seorang suami yang tak malu mengaku konservatif dalam urusan seks.

Kebetulan istrinya juga punya pandangan yang sama dalam hal seks. Sama-sama konservatif. Karena berpandangan konservatif, ia menganggap aneka posisi yang ditampilkan di film-film porno itu sebagai sebagai gaya yang "terlalu neko-neko". Ia merasa cukup hanya dengan gaya standar, laki-laki di atas perempuan. "Gitu aja sudah enaknya bukan main, kok neko-neko," katanya sembari tersenyum. Kalaupun melakukan variasi, hanya terbatas pada gaya tukar posisi: perempuan di atas laki-laki. Itu saja. Itu pun tidak sering dilakukan, hanya kalau merasa cara itu lebih nyaman.

Nikmat lahir batin
Ia tidak menolak anggapan seks sebagai bentuk mencari kepuasan biologis. "Saya juga mencari kenikmatan dari hubungan seks. Hanya saja, kenikmatan seks bagi saya itu bukan semata-mata kenikmatan biologis, tapi juga kenikmatan ... apa ya namanya?" katanya, malah bertanya. "Pokoknya, kenikmatan lahir batinlah," tiba-tiba saja ia melanjutkan tanpa menunggu jawaban.

Menurut dia, sah-sah saja suami istri melakukan aneka hubungan seks dengan berbagai gaya. "Mau berdiri, nungging, jumpalitan, terserah," ujarnya enteng. Meski begitu, ia menganggap hubungan seks yang dilakukan semata-mata karena nafsu biologis biasanya kurang memberi tempat bagi pemenuhan kebutuhan psikis.

Menurut dia, kebiasaan berhubungan seks yang semata-mata karena nafsu biologis akan menyebabkan hubungan suami istri menjadi mudah renggang ketika salah satu dari pasangan tidak lagi menarik secara seksual. Hal ini, kata dia, terutama harus diwaspadai oleh pihak laki-laki. "Laki-laki itu 'kan hot terus, bergairah terus, sementara perempuan itu makin tua makin berkurang daya tarik seksualnya," katanya berteori.

Pada saat fisik perempuan tidak lagi menggairahkan secara seksual, hubungan badan akan hambar karena laki-laki sudah terbiasa semata-mata memanjakan nafsu biologisnya. "Padahal ikatan suami istri itu 'kan ikatan seumur hidup. Kita harus bersedia menerima bagaimanapun kondisi pasangan sampai tua," lanjutnya.

Itu sebab, menurutnya, suami istri lebih baik membiasakan diri menikmati seks bukan semata-mata sebagai urusan biologis, tapi juga melibatkan hubungan emosional. "Saya termasuk orang yang percaya hubungan seks semacam ini bisa dilakukan. Saya kira pleasure lahir batin itu kualitasnya setingkat lebih tinggi daripada pleasure lahir saja," katanya.

Agar kepuasan lahir batin itu diperoleh, Ari memperlakukan kegiatan seks sebagai gabungan antara nafsu biologis dan bentuk kasih sayang. Jika sedang berhasrat, ia akan mengajak istrinya dengan cara seperti seseorang yang sedang minta izin. Ia berusaha memahami kalau saat itu istrinya sedang tidak mood untuk berhubungan badan. Ia tidak sependapat dengan pandangan bahwa istri harus selalu menuruti apa saja kemauan suaminya di atas ranjang, sekalipun ia tidak suka. "Kalau laki-laki memaksa, itu 'kan namanya bukan kasih sayang," katanya.

Ia sudah mulai menerapkan cara pandang ini sejak awal menikah. Pada saat malam pertama, ia mengaku tidak langsung melakukan hubungan badan karena ia tahu istrinya belum siap. "Malam-malam pertama, kami tidur dengan ‘pakaiain sipil’ lengkap," katanya berseloroh. Ia bersedia menahan diri sekalipun pada saat itu ia mengaku nafsunya sudah sampai di ubun-ubun. Yang mereka lakukan pertama-tama adalah ngobrol dulu, menyamakan persepsi tentang seks. "Setelah kami sama-sama menyamakan ‘gelombang’, barulah kami ...," katanya sambil menganggukkan kepala tanpa melanjutkan kalimatnya yang belum selesai.

Tiap kali melakukan hubungan seks, mereka tidak pernah lupa membaca doa lebih dulu. "Kalau mau makan, saya biasanya lupa mbaca doa. Tapi kalau untuk urusan yang satu ini, saya tidak pernah lupa berdoa," katanya sembari terkekeh-kekeh. Cara seperti itu menurutnya bisa membuat mereka berdua menikmati hubungan seks sebagai bentuk kasih sayang.

"Di dalam ajaran agama, hubungan seks suami istri itu 'kan termasuk ibadah," lanjutnya. Bagi dia, seks tidak bisa dipisahkan antara urusan rekreasi, relasi, bahkan religi. Dua aspek terakhir, relasi dan religi, menurutnya, hampir tidak mungkin diikutsertakan kalau hubungan seks dilakukan dengan gaya yang neka-neka. "Saya tidak menganggap itu buruk. Ini hanya perkara selera," ucapnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved