Jenderal Sudirman Hanya Bisa 'Menimang' Anaknya 7 Bulan, ''Aku wis rila yen dipundut Sing Kagungan'
Karena curiga, maka jam lima pagi Pak Dirman dan Kolonel Bambang Supeno masuk ke hutan berjalan kaki.
TRIBUNJAMBI.COM - Sebuah patung Jenderal Sudirman didirikan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di Jalan Malioboro.
Patung itu menggambarkan Sudirman tidak dalam pakaian kebesaran Panglima Besar, melainkan dalam pakaian yang dikenakan dalam perang gerilya.
Ciri khas pakaian itu adalah “iketwulung" (ikat kepala hitam) dan mantel tebal hijau keabu-abuan.
Dengan mengenakan mantel ini, Pembantu Letnan Herukeser, satu di antara pengawal Pak Dirman berhasil menipu Belanda di desa Karangnongko daerah Kediri.
Menurut catatan Kapten Suparjo, ajudan Pak Dirman, ketika Bapak Panglima Besar dengan rombongannya sedang istirahat di sebuah rumah di Desa Karangnongko, datanglah pada waktu malam, seorang yang tak dikenal pura-pura mencarinya.
Karena curiga, maka jam lima pagi Pak Dirman dan Kolonel Bambang Supeno masuk ke hutan berjalan kaki.
Setelah matahari terbit Kapten Suparjo menyuruh Pembantu Letnan Heru, yang bentuk badannya sama dengan Pak Dirman, supaya mengenakan mantel yang selalu dipakai oleh Bapak Pangiima Besar.
Baca: Kisah Cinta Anggota Kopassus yang Selalu Bawa Bekal Buatan Istri dari Rumah, Romantis dan Hormat
Baca: Saat Komandan Kompi Kopassus ini Harus Memangku Jasad Prajurit Terbaiknya di Medan Perang
Baca: Pria Bercelana Olahraga Kejar Truk RPKAD, Lerai Bentrokan Dua Pasukan Elite
Dan dengan disaksikan orang banyak, “Pak Dirman" ditandu menuju ke arah selatan dan berhenti di sebuah rumah. Kemudian dengan diam-diam Kapten Suparjo dan Letnan Heru meninggalkan rumah ini, yang sorenya ternyata diserang oleh tiga buah pesawat pemburu Belanda dengan memuntahkan peluru senapan mesin.
Dengan mengenakan pakaian gerilyanya dan memegang tongkat, Pak Dirman tidak beda tampaknya dengan bapak-bapak pensiunan, yang sedang berjalan-jalan menghirup udara sejuk di pagi hari.
Akan tetapi, air mukanya bukanlah air muka seorang tua yang sudah merasa lega karena sudah tidak mempunyai beban dan tanggungan Iagi, melainkan wajah seorang bapak yang sedang tenggelam di dalam suasana prihatin, namun penuh keyakinan akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang menjadi sumber keprihatinan itu.
Apa yang tergambar pada air muka ini, kadang-kadang terwujud juga dalam peristiwa.
Dalam perjalanannya menuju Yogya setelah gencatan senjata, Pak Dirman nampak berwajah rawan ketika menginjak perbatasan Solo-Yogya.
Para pemikul tandu lekas-lekas meletakkan tandunya di tanah, karena para pengiring khawatir jangan-jangan Pak Dirman terserang sakit.

Ternyata beliau menangis, bersedih hati, karena terpaksa meninggalkan anak-anaknya, yang pada waktu itu masih berada di daerah pertempuran.
Terhadap anak buahnya, Pak Dirman memang seorang Bapa dan teman seperjuangan yang penuh tanggung jawab.