Penculikan Anak
Fakta Orang Rimba Jambi, di Balik Tudingan Penampungan Penculikan Bilqis Anak Makassar
Antropolog dari Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, memaparkan fakta tentang Suku Anak Dalam di Jambi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Kasus penculikan anak lintas provinsi, balita Makassar bernama Bilqis Ramadhany (4) yang ditemukan di kawasan Suku Anak Dalam di Mentawak, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, menjadi pembicaran pubik
Wilayah Merangin ini dikenal sebagai tempat tinggal komunitas adat Orang Rimba atau Suku Anak Dalam. Temuan tersebut memicu berbagai tudingan dan stigma negatif di media sosial, seolah-olah kelompok masyarakat adat tersebut terlibat dalam aksi penculikan.
Ada banyak fakta terkait Suku Anak Dalam yang belum dipahami masyarakat umum.
Saksi Kata Tribun Jambi menghadirkan Antropolog dari Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, yang selama puluhan tahun berkecimpung dalam konservasi lingkungan dan pendampingan komunitas adat di Jambi serta wilayah Sumatera lainnya.
Berikut petikan wawancara Robert Aritonang bersama Jurnalis Tribun Jambi:
Tribun Jambi:
Selamat siang Bang Robert.
Robert Aritonang:
Selamat siang.
Tribun Jambi:
Bang Robert, publik banyak yang belum paham tentang siapa sebenarnya Suku Anak Dalam, atau Orang Rimba. Bisa dijelaskan, seperti apa mereka dan bagaimana keberadaannya di Jambi?
Robert Aritonang:
Istilah suku anak dalam itu sebenarnya muncul sejak tahun 1970-an.
Ini adalah sebutan umum untuk masyarakat adat di Jambi yang hidup di dalam hutan dan sangat bergantung pada sumber daya hutan.
Secara etnis, ada tiga kelompok utama: Orang Rimba, Batin Sembilan, dan Talang Mamak.
Yang disebut dalam pemberitaan baru-baru ini adalah kelompok Orang Rimba.
Mereka disebut demikian karena seluruh aspek kehidupan dan budaya mereka sangat terkait dengan hutan atau rimba.
Tribun Jambi:
Apa yang membedakan ketiga kelompok adat tersebut, Bang?
Robert Aritonang:
Perbedaannya ada pada pola hidup.
Orang Rimba memiliki mobilitas tinggi. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain sambil membawa seluruh keluarga dan perlengkapan hidupnya.
Sedangkan Batin Sembilan dan Talang Mamak, biasanya berpindah untuk mencari sumber penghidupan, tetapi memiliki pangkalan tetap, semacam dusun di dalam hutan.
Tribun Jambi:
Apakah pola hidup berpindah itu masih dijalankan hingga sekarang?
Robert Aritonang:
Masih, meskipun semakin sulit.
Dalam budaya mereka dikenal istilah melangun, yaitu berpindah tempat setiap kali ada anggota kelompok yang meninggal.
Mereka meninggalkan lokasi itu karena dianggap tabu untuk tinggal di tempat kematian.
Selain itu, ada juga merayau, yaitu berpindah karena alasan ekonomi. Misalnya saat musim buah jernang atau mencari satwa tertentu.
Namun kondisi ini dulu bisa dilakukan karena hutan masih luas.
Sekarang, ketika hutan sudah banyak berubah menjadi perkebunan, cara hidup seperti itu makin sulit.
Tribun Jambi:
Berapa jumlah populasi Orang Rimba saat ini dan di mana mereka tersebar?
Robert Aritonang:
Populasi mereka sekitar 5.500 jiwa yang tersebar di lima kabupaten, yaitu Batanghari, Sarolangun, Merangin, Tebo, dan Bungo.
Sekitar 40 persen masih hidup di kawasan hutan, sementara 60 persen lainnya sudah tidak berhutan dan tinggal di sekitar perkebunan atau permukiman.
Tribun Jambi:
Termasuk kelompok (Sikar) yang disebut-sebut dalam kasus (penculikan anak Bilqis Ramadhany) di Merangin itu?
Robert Aritonang:
Ya, betul. Kelompok Sikar itu dulunya hidup di hutan, tetapi kini tinggal di sekitar areal perkebunan sawit PT SAL, hanya sekitar 500 meter dari pabrik.
Dulu, wilayah itu adalah hutan, pada tahun 1980-an, namun kini sudah menjadi kawasan perkebunan.
Tribun Jambi:
Artinya terjadi perubahan besar dalam pola hidup mereka?
Robert Aritonang:
Sangat besar. Semua aspek kehidupan Orang Rimba dulu bergantung pada hutan, dari berburu, mencari bahan makanan, hingga ritual adat. Sekarang habitat mereka hilang.
Kalau dulu mudah mendapatkan protein dari hasil buruan seperti kijang atau babi hutan, kini itu hampir mustahil.
Bahkan, sejak tiga tahun terakhir, virus babi membuat populasi babi hutan menurun drastis.
Akibatnya, sebagian dari mereka kini bertahan hidup dengan mengumpulkan berondolan sawit dari kebun perusahaan atau masyarakat sekitar untuk dijual.
Tapi, itu pun sering menimbulkan konflik sosial.
Tribun Jambi:
Berarti tekanan sosial terhadap mereka makin tinggi?
Robert Aritonang:
Benar. Mereka hidup dalam posisi sangat marginal, terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.
Sebagian memang sudah mulai memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), tapi masih banyak kendala administrasi karena sifat hidup mereka yang berpindah-pindah.
Padahal, memiliki dokumen kependudukan sangat penting agar mereka bisa mengakses layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
Tribun Jambi:
Lalu bagaimana Bang Robert melihat munculnya stigma yang mengaitkan Orang Rimba dengan kasus penculikan anak (Bilqis) ini?
Robert Aritonang:
Saya melihat ini sebagai bentuk salah paham publik.
Kelompok seperti Orang Rimba justru sedang berada dalam posisi lemah.
Mereka kehilangan hutan, kehilangan sumber hidup, dan kini malah disudutkan oleh tudingan yang belum tentu benar.
Kita jangan sampai menghakimi kelompok yang sudah rentan.
Karena sejauh saya mengenal mereka, tidak ada kebiasaan atau perilaku seperti itu dalam budaya Orang Rimba.
Tribun Jambi:
Apakah Warsi masih melakukan pendampingan terhadap kelompok tersebut?
Robert Aritonang:
Pendampingan masih dilakukan, tapi terbatas.
Kami tidak bisa menjangkau seluruh komunitas karena mereka tersebar di lima kabupaten.
Namun, komunikasi tetap berjalan melalui fasilitator dan tokoh adat atau tumenggung di masing-masing wilayah.
Tribun Jambi:
Bagaimana kondisi mereka pasca pemberitaan ini, Bang?
Robert Aritonang:
Mereka dalam keadaan tertekan dan ketakutan.
Setelah kasus ini mencuat, banyak masyarakat sekitar memandang mereka dengan curiga.
Biasanya, dalam kondisi seperti ini, mereka akan memilih pindah ke tempat lain untuk menghindari tekanan sosial.
Tribun Jambi:
Sebagai antropolog yang lebih dari 25 tahun mendampingi masyarakat adat di Jambi, apa pesan Bang Robert untuk publik?
Robert Aritonang:
Pertama, publik harus memahami bahwa Orang Rimba adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk hidup layak dan bermartabat.
Mereka perlu dibantu, bukan disalahkan.
Kedua, negara harus hadir lebih kuat, memastikan hak dasar mereka terpenuhi, yaitu pendidikan, kesehatan, pemukiman, dan pengakuan identitas hukum.
Mereka bukan ancaman bagi masyarakat, melainkan warisan budaya yang mencerminkan keberagaman bangsa.
Tribun Jambi:
Terima kasih Bang Robert atas pencerahannya.
Semoga wawancara ini bisa membuka pemahaman yang lengkap untuk publik dan meluruskan stigma terhadap Suku Anak Dalam dan komunitas Orang Rimba. (Tribun Jambi/Asto)
Tentang Suku Anak Dalam di Jambi:
- Suku Anak Dalam merupakan sebutan bagi orang yang tinggal di hutan dan memiliki cara hidup tertentu.
- Ada tiga Suku Anak Dalam di Jambi, yaitu Orang Rimba, Talang Mamak, dan Bathin Sembilan.
- Tiap suku memiliki kebiasan tersendiri dan tempat hidup yang berbeda.
- Saat ini, kondisi 40 persen Orang Rimba di Jambi hidup masih di hutan, tapi 60 persen sudah tercerabut dari akar kehidupan awalnya.
Baca juga: Fakta Kelam Kenzie Balita Bungo Diculik, Mirip Penculikan Anak Bilqis
Baca juga: Bupati Merangin Panggil 15 Temenggung Suku Anak Dalam Pascapenculikan Bilqis, Soal Adopsi Anak
Baca juga: Sosok Dua Warga Jambi Sindikat Penculik Bilqis di Makassar, Ternyata Sudah 9 Kali Jual-Beli Anak
| Fakta Kelam Kenzie Balita Bungo Diculik, Mirip Penculikan Anak Bilqis |
|
|---|
| Beredar Video Bilqis dan Warga SAD Jambi Menangis saat Polisi Menjemput di Mentawak |
|
|---|
| Cerita Bilqis Soal Kehidupan di SAD Jambi usai Diculik dari Makassar, Ada Bayi-bayi Lainnya |
|
|---|
| Bupati Merangin Panggil 15 Temenggung Suku Anak Dalam Pascapenculikan Bilqis, Soal Adopsi Anak |
|
|---|
| Ingat Kenzie? Balita yang Diculik di Bungo Jambi, 3 Tahun Tak Diketahui Keberadaannya |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/Antropolog-dari-Kelompok-Konservasi-Indonesia-KKI-Warsi-Robert-Aritonang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.