Berita Nasional
Apakah Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta Bersaudara, Mengapa Bisa Pecah
Sebenarnya, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah satu saudara, dari Wangsa Mataram.
Ringkasan Berita:
- Apakah Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta Bersaudara, Mengapa Bisa Pisah
- Pada awalnya, berdiri Kerajaan Mataram (Islam) di Kotagede Yogyakarta.
- Kemudian, kerajaan ini pecah menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
- Pecahnya kerajaan itu saat Perjanjian Giyanti (1755).
TRIBUNJAMBI.COM - Sebenarnya, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah satu saudara, dari Wangsa Mataram.
Semua berawal dari berdirinya Kerajaan Mataram (Islam) pada 1586.
Lantas mengapa Mataram bisa pecah menjadi dua, Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta?
Berikut artikel yang ada di Gramedia Blog:
Sejarah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta yang terjadi pada akhir abad ke-16, dimana terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram.
Kerajaan ini berpusat di daerah Kotagede (sebelah tenggara Kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura, dan Surakarta.
Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin tersertaganggu akibat intervensi pihak Belanda.
Akibatnya, timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya.
Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Babad Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti di sinilah sangat memengaruhi jalannya sejarah peradaban Jawa.
Isi perjanjian yang juga melibatkan Belanda ini telah membelah wilayah Mataram Islam yang memunculkan dua kerajaan, yaitu Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Purwadi (2006) dalam buku bertajuk Sejarah Kanjeng Sultan Hamengkubuwana IX menyebut Perjanjian Giyanti dengan Babad Palihan Nagari yang ditandatangani tanggal 13 Februari 1755.
Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (dalam ejaan van Ophuijsen menjadi Gijanti).
Saat ini, desa tersebut terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, dekat Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan Perjanjian Giyanti, wilayah milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak (yang mengalir dekat Candi Prambanan) dikuasai oleh Susuhunan Pakubuwana III atau penguasa Kesunanan Surakarta, sedangkan wilayah yang berada di sebelah barat Sungai Opak dikuasai oleh Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I.
Perjanjian Giyanti (1755)
Perjanjian Giyanti muncul akibat polemik internal yang terjadi di kalangan anggota keluarga istana Kesunanan Surakarta atau yang menjadi pewaris Wangsa Mataram Islam saat itu.
Perjanjian ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Mataram yang sepenuhnya independen.
Nantinya, muncul dua kerajaan baru sebagai pengganti Kesunanan Kartasura, dan menjadi awal dari Sejarah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta.
Terdapat tiga tokoh utama yang terlibat dalam konflik saudara ini, yaitu Pangeran Prabasuyasa atau Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa (nantinya bergelar Adipati Mangkunegara I).
Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi merupakan kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV yang menjadi penguasa Mataram periode 1719–1726.
Raden Mas Said merupakan salah satu cucu dari Amangkurat IV atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Ayah Raden Mas Said yang bernama Pangeran Arya Mangkunegara adalah putra sulung dari Amangkurat IV.
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said sama-sama merasa berhak mendapatkan bagian dari kekuasaan Kesunanan Kartasura setelah Amangkurat IV wafat.
Namun, Belanda justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa sebagai raja.
Pangeran Prabasuyasa kemudian bergelar Susuhunan Pakubuwana II (1745–1749) dan memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta.
Inilah yang membuat Kesunanan Surakarta berdiri sebagai bentuk paling baru dari kerajaan turunan Mataram.
Raden Mas Said lantas mengobarkan perlawanan terhadap Belanda untuk menuntut haknya sebagai pewaris kuasa Mataram.
Sartono Kartodirdjo (2005) dalam Sejak Indische sampai Indonesia mengungkapkan jika Pangeran Arya Mangkunegara seharusnya menjadi penguasa Mataram sebagai penerus dari Amangkurat IV.
Namun, lantaran kerap menentang Belanda dan difitnah oleh Patih Danureja, dia diasingkan ke Ceylon, Sri Lanka dan meninggal dunia di Cape Town, Afrika Selatan.
Hal inilah yang mungkin menyebabkan Raden Mas Said berjuang mati-matian melawan Belanda.
Dia bahkan pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang Sragen.
Namun, bukan hanya Raden Mas Said yang merasa berhak atas takhta, Pangeran Mangkubumi juga berhasrat serupa.
Dia bahkan sempat menemui pejabat Belanda di Semarang pada 1746 dan meminta agar dirinya diangkat menjadi raja, tetapi permintaan itu ditolak.
Penolakan itu membuat Pangeran Mangkubumi marah dan bergabung dengan Raden Mas Said untuk bersama-sama melawan Pakubuwana II dan Belanda.
Pakubuwana II sendiri wafat pada 20 Desember 1749. Pangeran Mangkubumi kemudian mengklaim diri sebagai raja baru, tetapi Belanda segera mengangkat putra mendiang Pakubuwana II, yaitu Raden Mas Suryadi sebagai Susuhunan Pakubuwana III di Kesunanan Surakarta.
Sepeninggal Pakubuwana II, perlawanan terhadap Belanda dan Surakarta semakin meningkat.
Pangeran Mangkubumi memimpin pasukannya dari sebelah timur Surakarta, sedangkan angkatan perang pimpinan Raden Mas Said menyerang dari utara.
Belanda yang merasa kewalahan kemudian menjalankan siasat adu domba antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Utusan Belanda menghubungi Pangeran Mangkubumi secara diam-diam.
Mereka menjanjikan separuh wilayah Mataram yang dikuasai oleh Pakubuwana III kepada Pangeran Mangkubuwi, apabila menghentikan perlawanannya.
Pada 13 Februari 1755, Belanda dan Pangeran Mangkubumi bertemu.
Pertemuan inilah yang nantinya menghasilkan Perjanjian Giyanti, yang membagi Mataram menjadi dua bagian.
Pangeran Mangkubumi akhirnya melepaskan diri dari Raden Mas Said.
Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan yang intinya membagi Mataram menjadi dua bagian.
Berdasarkan perjanjian itu, kawasan milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak dikuasai oleh Pakubuwana III dengan kedudukan tetap berada di Surakarta, sedangkan wilayah yang berada di sebelah barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi kemudian mendeklarasikan berdirinya kerajaan baru bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dia menjadi raja pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.
Isi Perjanjian Giyanti
Secara garis besar, isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kesunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengkubuwana I.
Sebelumnya, Kesunanan Surakarta telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan Pakubuwana II sebagai calon pengganti Kesunanan Kartasura yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan Amangkurat V.
Perjanjian Giyanti memuat 10 pasal, antara lain:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun kepada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendara Raden Mas Sundara.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia kepada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Susuhunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Pasal 9
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditandatangani oleh N. Hartingh, W.H. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
Perlu ditambahkan, Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer] dengan persetujuan residen/gubernur ialah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya [bukan di tangan Sultan). (*)
Baca juga: Daftar Nama Keluarga PB III Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang Meninggal Dunia
Baca juga: Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Mangkat, PB XIII Dimakamkan di Imogiri
| Daftar Nama Keluarga PB III Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang Meninggal Dunia |
|
|---|
| Respon PDIP Soal Pemberian Gelar Pahlawan ke Soeharto, Hasto Singgung Catatan Keras Mahfud MD |
|
|---|
| Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Mangkat, PB XIII Dimakamkan di Imogiri |
|
|---|
| BLT Kesra 900 Ribu November 2025, untuk Jambi Cek cekbansos.kemensos.go.id |
|
|---|
| Alasan Unik Megawati Soekarnoputri Tak Punya HP: Takut Diintai Orang yang 'Nggak Bener' |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/MATARAM-Kompleks-Makam-Raja-raja-Mataram-Kotagede-Yogyakarta.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.