Berita Jambi

AJI Jambi Desak Media Hentikan Stigmatisasi SAD

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi mengecam keras praktik pemberitaan yang mengaitkan isu penculikan anak dengan Suku Anak Dalam

Penulis: Rifani Halim | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
ist
Masalah Baru di Kasus Bilqis, Suku Anak Dalam Minta Ganti Rugi Rp 85 Juta, Ada Pajero Jadi Jaminan 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi mengecam keras praktik pemberitaan yang mengaitkan isu penculikan anak dengan Suku Anak Dalam (SAD) tanpa verifikasi, tanpa data yang memadai, dan tanpa mempertimbangkan dampak sosial terhadap komunitas adat tersebut.

AJI Jambi menilai tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap Kode Etik Jurnalistik, terutama terkait kewajiban menguji kebenaran informasi, menghindari prasangka, serta melindungi kelompok rentan dari stigma pemberitaan.

Hasil kajian akademisi UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Ade Novia Maulana, terhadap 650 artikel berita, unggahan media sosial, dan diskusi publik periode 3–16 November menunjukkan bahwa pemberitaan telah merusak citra komunitas SAD. Sentimen publik terhadap SAD berubah drastis dalam waktu singkat.

Pada 3 November, sentimen negatif terhadap SAD berada di angka 25 persen, sementara mayoritas publik (65 persen) masih bersikap netral. Namun, sentimen negatif melonjak hingga 88 persen ketika muncul pemberitaan yang mengaitkan keberadaan balita berinisial B (4) dengan komunitas SAD, setelah polisi menyebut anak tersebut ditemukan di lokasi permukiman SAD. Sentimen netral turun tajam hingga 9 persen.

Baca juga: Buruh di Jakarta Tuntut Kenaikan UMP 2026 Jadi Rp6 Juta

Perubahan kembali terjadi setelah B dikembalikan ke Makassar dan investigasi menunjukkan tidak ada keterlibatan langsung SAD dalam dugaan penculikan. Dua hari kemudian, sentimen negatif dan positif berada pada posisi seimbang, masing-masing 38 persen. Pada 16 November, sentimen positif meningkat menjadi 55 persen, sementara sentimen negatif turun menjadi 18 persen.

Transformasi ini menunjukkan bahwa publik responsif terhadap klarifikasi dan fakta. Namun, menurut AJI Jambi, kerusakan citra SAD tetap memiliki dampak jangka panjang karena membentuk persepsi kolektif masyarakat.

Salah satu narasi yang memperkuat stigma adalah pernyataan Polrestabes Makassar yang menyebut balita B "dibeli" seharga Rp80 juta untuk “memperbaiki keturunan”. Padahal, berdasarkan keterangan para temenggung SAD, mereka adalah korban penipuan sindikat penculikan anak.

Di sisi lain, analisis framing menunjukkan pemberitaan media turut membentuk persepsi negatif. Terdapat 53 artikel yang menggambarkan SAD sebagai kelompok primitif atau terbelakang (framing “keterbelakangan”), 46 artikel yang mengarahkan publik pada dugaan keterlibatan SAD dalam penculikan (framing “kecurigaan”), dan 30 artikel yang mengekspolitasi mereka sebagai objek antropologis (framing “eksotisasi”).

Framing yang menempatkan SAD sebagai korban diskriminasi (framing “viktimisasi”) baru muncul signifikan pada 14–16 November, dengan 35 artikel. Namun jumlah tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan gelombang pemberitaan negatif sebelumnya.

AJI Jambi juga menilai aparat kepolisian kurang memahami bahwa SAD merupakan kelompok rentan. Pernyataan Polrestabes Makassar mengenai motif “memperbaiki keturunan” maupun pernyataan Polda Jambi tentang risiko aparat “ditembak” saat penyelamatan B dinilai memperkuat stigma dan ketakutan publik terhadap SAD.

Faktanya, situasi di permukiman SAD tidak mencekam seperti digambarkan dalam sejumlah pemberitaan. Setelah melalui proses perundingan, komunitas SAD justru menyerahkan kembali Bilqis kepada orang tua kandungnya secara sukarela.

Berdasarkan fakta dan dampak pemberitaan di atas, maka sikap AJI Jambi sebagai berikut:

1. Menyerukan kepada seluruh jurnalis dan media lokal maupun nasional, untuk menghentikan praktik pemberitaan yang diskriminatif, lalu memperkuat proses verifikasi, serta menempatkan kemanusiaan dan akurasi sebagai fondasi utama kerja jurnalistik.

Jurnalisme tidak boleh menjadi alat penyebar ketakutan atau pun penghasil stigma. Sudah saatnya media kembali pada marwahnya: melayani publik dengan integritas, empati, dan itikad baik.

2. AJI Jambi mendorong pemerintah dan Dewan Pers, untuk memastikan hak-hak komunitas adat seperti SAD dilindungi, tidak hanya dari ancaman fisik tetapi juga dari kekerasan simbolik melalui narasi pemberitaan dan konten digital. Sehingga membutuhkan mekanisme pengawasan ketat dan sanksi terhadap media yang terbukti menyebarkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Sumber: Tribun Jambi
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved