Penculikan Anak

Suku Anak Dalam Jambi, dari Strategi Jokowi hingga Hilangnya Bilqis Ramadhany

Sejumlah pembenci Jokowi saat itu menilai foto Presiden bertemu perwakilan SAD Jambi sangat informal adalah sekadar strategi kehumasan. 

Editor: asto s
Istimewa
Algooth Putranto, Community Director Evident Institute. 

Suku Anak Dalam Jambi, dari Jokowi hingga Bilqis Ramadhany

Oleh: Algooth Putranto
Community Director Evident Institute

SEJARAH sedang memutar ulang kisah Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi ketika Bilqis, balita yang diculik di Makassar, akhirnya ditemukan di Jambi setelah sepekan hilang. 

Kabar beredar Bilqis dijual kepada warga Jambi dan disembunyikan di sebuah kebun yang dihuni komunitas SAD.

Penulis menyebut terjadi putar ulang sejarah karena hampir satu dekade lalu, SAD Jambi menjadi perhatian nasional setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menemui langsung sejumlah pemimpin suku (Tumenggung) SAD korban kebakaran hutan di Jambi.

Sejumlah pembenci Jokowi saat itu menilai foto Presiden bertemu perwakilan SAD dengan sangat informal adalah sekadar strategi kehumasan. 

Tak sedikit yang percaya, para SAD itu hanyalah para aktor yang didandani dan dinarasikan sebagai SAD.

Butuh waktu tak sebentar bagi penulis untuk mengkonfirmasi kisah foto Jokowi dan SAD tersebut. 

Beruntung, dalam sebuah kesempatan menjelang akhir studi doktoral, penulis bertemu Tumenggung Grip, salah satu Tumenggung di daerah Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Menumpang motor milik Mijak Tampung, salah satu mantan murid Sokola Rimba yang didirikan Butet Manurung mengajar di hutan Bukit Duabelas, Jambi, penulis bertemu Tumenggung Grip di akhir bencana Covid19.

Bertemu langsung Tumenggung Grip membuat penulis berkesempatan mendapatkan sejumlah fakta primer.

Mulai struktur SAD yang sebetulnya lebih tepat merupakan kelompok masyarakat jenis kawanan (band), keyakinan (believe) hingga budaya rimba yang jadi bagian dari ruang ideologi (sphere) SAD yang eksotik sekaligus menyedihkan.

Sebagai band, kelompok masyarakat ini jumlahnya hanya beberapa lusin individu saja, sehingga tidak memerlukan banyak bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan kelompoknya.

Umumnya band mengandalkan sumber daya yang ada di sekitar tempat hidupnya. Jadi tanpa hutan, mereka sama saja dengan tiada.

Sebagai contoh, Melangun yakni tradisi berpindah tempat secara massal yang dilakukan oleh masyarakat SAD ketika salah satu anggota keluarga meninggal dunia, dengan tujuan untuk menghilangkan rasa sedih dan kesialan yang diyakini akan menular jika tetap tinggal di tempat lama.

Tanpa hutan yang luas dan asri akibatnya tradisi ini akan sulit terlaksana.

Bahkan sering, pada akhirnya, masyarakat yang sedang melakukan tradisi Melangun menjadi konflik perebutan ruang (space) dengan perusahaan Sawit atau Kayu atau bahkan dengan masyarakat di luar SAD.

Bagaimana tidak menjadi konflik, SAD tidak memiliki konsep space yang kaku dan mengikat oleh hukum kepemilikan. 

Sementara, bagi masyarakat SAD, hutan dan seisinya adalah sphere yang lentur. Tempat mereka bertukar ide yang setara dan saling menghormati (rekognisi).

Dalam konsep ini masyarakat SAD memiliki sejumlah aturan tak tertulis yang mereka patuhi tanpa banyak bertanya.

Konsep dan amanah kepatuhan ini berjalan sangat lama dalam masyarakat SAD dengan masing-masing Tumenggung sebagai pemegang otoritas dari kesepakatan tersebut.

Kerentanan Sosial SAD 

Sayang memang, nasib SAD tak mendadak jadi lebih baik usai ditemui Presiden Jokowi pada 2014 secara langsung. 

Selaku Presiden, Jokowi hanya bisa bertindak dalam kerangka otoritas pemerintah yang mendasarkan diri pada aturan hukum yang rigid.

Sebagai contoh, masyarakat SAD kerap bermasalah dalam hal Kewarganegaraan atau status hukum yang menunjukkan hubungan antara individu dengan suatu negara, yang mencakup hak dan kewajiban hukumnya, serta keanggotaan dalam suatu bangsa.

Dalam bahasa paling mudah, banyak masyarakat SAD tidak terdata dalam administrasi kependudukan, mulai dari pencatatan peristiwa penting (kelahiran, kematian, pernikahan) hingga pelayanan dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

Kondisi ini membuat SAD rentan tidak mendapatkan layanan sosial dari pemerintah.

Contoh layanan kesehatan, layanan pendidikan hingga layanan perlindungan hukum ketika sesuatu hal menimpa mereka.

Kerentanan administrasi ini pula yang membuat mereka mudah dimanfaatkan oleh oknum sebagai boneka dalam pelanggaran hukum.

Contoh kasus pemilih siluman saat Pemilihan Umum, kasus tambang ilegal hingga kasus bodong.

Soal mobil bodong ini bahkan sudah menjadi rahasia umum dan menjadi hantu bagi banyak  pengusaha rental mobil di Jambi.

Sudah banyak kejadian mobil rental digadaikan ke permukiman warga Suku Anak Dalam (SAD). Kejadian ini terus berulang tanpa ujung penyelesaian.

Dalam skala yang lebih besar, adalah konflik kepemilikan hutan yang puluhan tahun tak terselesaikan. 

Pada akhir Agustus 2019, sejumlah SAD dari suku Bathin Sembilan melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara untuk bertemu Presiden Jokowi.

Pangkal aksi jalan kaki itu terkait dengan upaya protes SAD dan petani Jambi terkait dengan konflik lahan seluas 3.550 hektare yang sudah berlangsung sejak tahun 1980-an antara SAD-Petani dengan perusahaan sawit.

Malangnya, dalam aksi itu, satu perempuan tewas akibat kelelahan. 

Aksi jalan kaki ratusan kilometer selama 43 hari itu berujung ketukan ke pintu Istana Negara, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, KPK, Kemenkopolhukam, Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung. Sayang, konflik ini tak berujung.

Kembali soal kisah sedih Bilqis, balita yang diculik di Makassar.

Saat menyusun tulisan ini, penulis sulit untuk memercayai narasi bahwa SAD membeli balita yang kabarnya tidak terawat.

Ini fakta yang sulit untuk dipertemukan dengan kondisi SAD secara umum berjuang untuk hidup mereka.

Belum lagi, dalam kepercayaan kepercayaan SAD, jual beli anak masuk ke dalam pelanggaran ‘Empat Dipucuk’ yang merupakan pelanggaran hukum adat yang paling tinggi dalam masyarakat tersebut. Lagi-lagi ini mengherankan.

Menurut penulis, kasus  Bilqis, balita yang diculik seharusnya menjadi momentum bagi kepolisian dan aparat hukum untuk dapat membongkar tindak pidana yang dilakukan individu, jangan terjebak pada diksi ‘suku’.

Saya sangat sepakat dengan harapan Mijak Tampung yang kini menjadi advokat bahwa ketika ada kasus yang melibatkan aktor SAD, negara harus mampu tuntas menyelesaikan.

Hal ini penting untuk memutus rantai kekalahan aparatur negara seperti polisi, jaksa, hakim oleh oknum yang mengatasnamakan adat.

Tentu saja, pasca penyelesaian kasus Bilqis, negara harus benar-benar hadir untuk memastikan SAD mendapatkan hutan yang lestari. 

Karena secara budaya SAD adalah masyarakat yang sangat tergantung pada kelestarian hutan dan alam.

Sekadar memiliki hunian tanpa hutan yang lestari tempat SAD menggantungkan hidup membuat mereka resah.

Tanpa hutan yang lestari, sistem hidup SAD hilang. Kondisi ini membuat sejumlah komunitas SAD tercerabut dari budayanya sehingga rentan melakukan tindak kejahatan. (*)

Baca juga: Nurul: Kami Ikuti Jalur Temenggung SAD Jambi, Kisah Penjemputan Bilqis yang Tak Terungkap

Baca juga: Tipu Daya Mery Ana Titip Bilqis Anak Penculikan ke Suku Anak Dalam Jambi, Ambil Rp 85 Juta

Baca juga: Cerita Temengung Sikar Jemput Bilqis di Bukit 12, Suku Anak Dalam Jambi Ditipu Mery Ana Pakai Surat

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved